Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksanaan Asian Games ke-18 pada tahun 2018 di Jakarta dan Palembang tinggal 19 hari lagi. Setelah 56 tahun, Indonesia akhirnya bisa menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia ini lagi.
Baca: Asian Games 2018 Diprediksi Dongkrak Ekonomi, Begini Hitungannya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia bisa menjadi tuan rumah lagi setelah Vietnam menyatakan tidak mampu, ditinjau dari segi keuangan. Sebelumnya, Indonesia memang diposisikan sebagai cadangan untuk tuan rumah Asian Games ke-18 ini.
Baca: Asian Games 2018: Akses ke Jakabaring Dipercantik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat olahraga dan mantan pengurus PSSI, Eddi Elison, mengutip sambutan Bung Karno, Presiden Indonesia yang pertama, pada pengukuhan Kontingen Indonesia Asian Games IV-1962 yang dilakukan di Bandung, sebagai berikut.
Baca: Asian Games 2018: Gulat Jalani Fase Akhir Latihan di Sukabumi
“Buat apa toh sebenarnya kita ikut-ikutan Asian Games? Tak lain tak bukan ialah sebenarnya kita ini harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tadinya gilang gemilang, nama kita yang tadinya tertulis di dalam kitab suci yang tertinggi di India, Jabadiuk-Swarna Dwipa (Jawa-Sumatera). Nama kita yang ditulis di kitab-kitab kuno sekarang itu, inde annalen van de geschledenis van Tiongkok, saudara-saudara, Silifitoze (Sriwijaya). Nama-nama kita yang sampai sekarang masih disebut oleh orang-orang di sekeliling kita dengan nama Majapahit,” kata Bung Karno.
Menurut Eddi Elison, jika Bung Karno begitu antusias ingin melaksanakan Asian Games 1962 tentunya dapat dimaklumi. Pasalnya, 10 tahun setelah merdeka, nama Indonesia menggelar di pentas politik dunia karena keberhasilan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955.
Pada 8 Februari 1960, Eddi melanjutkan, Bung Karno menancapkan tiang pancang pertama Stadion Utama di Senayan, Jakarta, yang kini bernama Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Saat itu, Bung Karno dengan tegas menyatakan, “Berapa pun biaya yang harus dikeluarkan tidak menjadi masalah, demi harga diri dan martabat Indonesia diakui dunia.”
Stadion Utama yang saat itu didesain menampung l00.000 penonton merupakan stadion pertama dengan atap bertemu gelang di Asia dan yang kedua di dunia setelah Brasil.
Uni Soviet yang membangun stadion saat itu belum punya stadion demikian. Kemudian, secara berturut-turut berbagai sarana berdiri hanya dalam waktu dua tahun seperti stadion renang (8.000 penonton), tenis (5.200), Stadion Madya (30.000). Istora (l0.000), basket (2.500), juga Hotel Indonesia, Gedung TVRI, Semanggi, Wisma Hasta (untuk pers), dan perkampungan olahraga di Senayan.
Pada pelaksanaan Asian Games IV, kontigen Indonesia menduduki posisi kedua setelah Jepang dengan perolehan 2l medali emas, 26 perak, dan 30 perunggu. Ini prestasi yang mungkin sulit diulangi pada Asian Games tahun ini.
Perbedaan jadi tuan rumah Asian Games 1962 dan 2018:
-Pada 1962, seluruh pembangunan mulai dari awal dan berpusat di Jakarta. Sedangkan pada 2018, melanjutkan pembangunan dari yang sudah ada dan berpusat di Jakarta dan Palembang.
-Pada 1962, pengalaman Indonesia di arena internasional masih baru. Sekarang, sudah sarat pengalaman. Tapi, persaingan, terutama di kancah olahraga, jauh lebih berat.
Baca: Asian Games 2018: Atlet Korea Utara dan Selatan Latihan Bersama
-Jumlah peserta 1962 hanya 17 negara dan tahun ini ada 45 negara. Jumlah cabang olahraganya dulu 13 dan kini 40.