Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di media sosial facebook, sempat beredar surat terbuka yang ditulis seorang suporter sepak bola PSM Makassar kepada Ratu Tisha, sekretaris jenderal Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), setelah final pertemuan kedua Piala Indonesia di Stadion Andi Mattalatta, Mattoangin, Makassar, yang dijadwalkan pada Minggu, 28 Juli 2019, ditunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemicunya adalah insiden pelemparan dan penyerangan oleh sekelompok orang pada Sabtu, 27 Juli 2019, terhadap bus tim Persija Jakarta yang beranjak meninggalkan Stadion Andi Mattalata seusai menjalani latihan resmi. Kemudian, keesokan paginya, ada kabar Persija keberatan bermain karena beberapa pemainnya merasa tertekan dengan kejadian itu. Dan, lantas keluar surat dari Sekjen PSSI untuk menunda pertandingan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat terbuka, yang ditulis dengan menarik itu, sempat terbaca sebelum Ratu Tisha kemudian menulis surat penetapan pelaksaan final kedua Piala Indonesia yang tertunda itu pada 6 Agustus 2019 di tempat yang sama dan sudah dimenangi PSM Makassar dengan keunggulan agregat 2-1.
Dalam balutan tulisan bertema kekecewaan saat itu, karena final kedua Piala Indonesia ditunda, suporter PSM berkisah tempat tinggalnya tak jauh dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ia bilang masih sempat melihat Tisha berswafoto di bandara dengan rambutnya yang tergerai, sebelum memasuki pesawat yang membawanya pulang kembali ke Jakarta.
Ratu Tisha memang rupawan, tulis suporter PSM itu, tapi maaf ia juga punya kekasih secantik Sekjen PSSI itu.
Ketika Tisha hadir di Stadion Andi Mattalatta, 6 Agustus 2019, sejumlah suporter PSM meneriakinya. Terdengar kata-kata yang bermakna mengusirnya, bahkan ada yang bilang, “Mafia.”
Ketua Eksekutif PSM Makassar, Munafri Afrifuddin, ikut menenangkan massa yang kembali menyoraki Tisha saat Sekjen PSSI ini hendak menyerah trofi Piala Indonesia kepada sang juara, PSM.
Seperti selama ini, Ratu Tisha senantiasa tenang dalam situasi apapun dan “dingin”, sebagaimana ketika ia berlindung dari lemparan-lemparan oknum suporter yang mengamuk pada pertandingan perdana Liga 1 2019 antara tuan rumah PSS Sleman dan Arema FC di Stadion Maguwoharjo beberapa waktu lalu.
Komentar-komentar Tisha selalu bernuansa tenang, menjauhi polemik, dan pada beberapa bagian terkesan normatif. “Selamat buat PSM Makassar yang tampil sebagai juara. Pertandingan berjalan lancar dan sangat baik dari sisi penyelenggaraan,” katanya.
Tapi, ketika Tisha menulis dalam suratnya selaku Sekjen PSSI bahwa final kedua Piala Indonesia pada 28 Juli 2019 ditunda karena alasan keamanan, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan berkeberatan. Hal itu ditunjukkan Polda Sulses dengan menggelar konferensi pers pada Senin, 29 Juli 2019.
Tisha seakan bereaksi cepat dengan mengeluarkan surat keputusan PSSI tentang pelaksanaan final kedua Piala Indonesia 26 Agutus 2019 dengan beberapa permintaan soal standar keamanan kepada panitia PSM.
Betapapun kritik kepadanya dari sebagian pihak dan kedekatannya –dalam perjalanan kariernya di PSSI- dengan mantan pejabat sementara Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, yang kini dipenjara dalam kasus yang berkaitan dengan pengaturan skor, Ratu Tisha adalah sebuah talenta yang diperlukan untuk meremajakan kepengurus PSSI, yang dari waktu ke waktu terkesan didominasi “orang lama dan orang baru yang tapi sebenarnya lama” yang itu-itu juga.
Tisha bukan saja perempat pertama dalam sejarah persepakbolaan nasional yang bisa menjadi Sekjen PSSI, jabatan strategis di induk organisasi cabang olahraga yang paling populer di Indonesia dan dunia.
Pendidikan wanita kelahiran Jakarta 30 Desember 1985 bukan saja mentereng dari kategori normatif, ia lulusan SMA Negeri 8 Jakarta dan Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung, tapi juga dari segi ilmu sepak bola yang dipelajarinya selepas S1 di ITB.
Ratu Tisha Destria, betapapun kesan kontroversial yang dilekatkan kepadanya, sebenarnya adalah orang-orang yang dibutuhkan buat merevitalisasi PSSI yang sudah seperti rumah orang-orang kuno dengan penghuninya yang superkonservatif itu.
Sebab, orang seperti dia, awalnya masuk PSSI karena memang mencintai olahraga sepak bola dan bukan karena untuk kepentingan politik serta alat untuk menjadi penguasa.
Fenomena Ratu Tisha Destria ini mengingatkan kepada Arya Abhiseka, general manager bidang Liga Liga Primer Indonesia pada awal kemunculan LPI ini pada 2011.
Arya juga muda, enerjik, dan pintar seperti Ratu Tisha. Ia salah satu tokoh penting dari gerakan untuk mengubah wajah persepakbolaan nasional di bawah kepengurusan PSSI saat itu yang dinilai amburadul.
Tapi, Arya akhirnya harus terpental, bahkan penyebabnya adalah ia diduga korupsi dan kemudian dipecat dari jabatannya sebagai general manager tim nasional Indonesia.
Ratu Tisha, Arya, Chief Operatif Officer Madura United, Annisa Zhafarina yang lulusan Fakultas Ekonomi UI itu, dan sederet wanita dan pria muda di persepakbolaan nasional sebenarnya menjanjikan wajah baru PSSI yang dibutuhkan: wajah PSSI yang millinneal; yang melihat sepak bola sebagai industri ekonomi kreatif.
Tapi, celakanya –maaf- tak mudah buat deretan anak-anak muda ini untuk menjadi bagian perubahan PSSI yang revolusioner. Mereka setiap saat bisa terpeleset atau sengaja dipelesetkan dalam sebuah desain besar untuk terus menjadikan wajah PSSI –sebagai representasi wajah sepak bola Indonesia- tetap seperti sekarang.