Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UNESCO berang terhadap proyek pembangunan jalan Trans Papua yang menerabas Taman Nasional Lorentz.
UNESCO menyatakan proyek jalan yang mengular sepanjang 190 kilometer itu menjadi biang meluasnya kerusakan lingkungan.
Izin usaha pertambangan (IUP) pun mulai bertebaran di kawasan Lorentz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) berang terhadap proyek pembangunan jalan Trans Papua yang menerabas Taman Nasional Lorentz. UNESCO menyatakan proyek jalan yang mengular sepanjang 190 kilometer itu menjadi biang meluasnya kerusakan lingkungan salah satu situs warisan dunia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi masyarakat sipil Auriga Nusantara menguatkan temuan UNESCO tersebut dengan membeberkan adanya deforestasi, pembalakan liar, dan jejak obral konsesi izin pertambangan di sekitar jalan Trans Papua, Taman Nasional Lorentz, Papua. "Kami menemukan pembangunan jalan Trans Papua di Taman Nasional Lorentz lebih panjang ketimbang catatan UNESCO," kata peneliti dari Direktorat Data Auriga Nusantara, Aditya Adhyaksa, kepada Tempo, kemarin.
Data penampangan Delineasi Citra Satelit dengan resolusi tinggi yang dihimpun Auriga Nusantara di Taman Nasional Lorentz menemukan bahwa panjang jalan Trans Papua mencapai 205,04 kilometer. Jalan tersebut terbagi dalam dua ruas, yakni ruas Enarotali-Mulia-Wamena sepanjang 59,12 kilometer dan ruas Wamena-Habema-Keyam-Mumugu 145,92 kilometer. Jalan tersebut belum sepenuhnya terhubung. Ada beberapa bagian ruas jalan di sejumlah kabupaten yang masih terputus.
Aditya menambahkan, lembaganya juga menemukan jejak izin obral konsesi izin usaha pertambangan (IUP) di Taman Nasional Lorentz pada akhir 2020. Catatan dia menunjukkan ada sembilan korporasi yang mendapat izin konsesi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk tahap eksplorasi seluas 522.210 hektare. Dari jumlah luas tersebut, 156.189 hektare di antaranya berada di dalam Taman Nasional Lorentz. Namun izin itu lenyap dari data ESDM pada 2021 karena masa izin telah berakhir.
Prajurit Satgas Pembangunan Jalan Trans Papua Denzipur 12/OHH Nabire dan Denzipur 13/PPA Sorong Zeni TNI AD (POP 1) mengoperasikan alat berat untuk mendorong truk menaiki tanjakan dalam pembangunan jalan di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, Papua, 2016. ANTARA/Sigid Kurniawan
Auriga Nusantara juga menemukan adanya deforestasi di kawasan Taman Nasional Lorentz. Luas penggundulan hutan di kawasan konservasi itu mencapai 7.644 hektare dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Luas deforestasi mengalami akumulasi lonjakan dari tahun ke tahun.
Pada 2001-2013, rata-rata deforestasi mulai dari 214 hektare hingga 422 hektare. Pada 2014, data penggundulan hutan melonjak drastis menjadi 689 hektare. Hal ini konsisten terjadi pada tahun-tahun berikutnya, termasuk pada 2017 seluas 674 hektare, sejalan dengan proses dimulainya pembangunan Trans Papua.
Sekretaris Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Heri Nurzaman, belum memberi konfirmasi ihwal temuan jejak korporasi di Taman Nasional Lorentz tersebut. Heri hanya membaca sejumlah pertanyaan dari Tempo ihwal status konsesi yang masuk di kawasan konservasi itu.
Adapun Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, juga tak menjawab sejumlah pertanyaan Tempo tentang deforestasi yang disebabkan oleh jalan Trans Papua di kawasan Taman Nasional Lorentz. Ia hanya membaca pesan yang dikirim ke nomor telepon selulernya.
Dokumen hasil sidang UNESCO pada 16-31 Juli 2021 memaparkan bahwa pembangunan Trans Papua telah merusak sejumlah zonasi di Taman Nasional Lorentz. Jalan tersebut melintang dan berpotensi merusak zona inti, zona rimba, dan zona lain yang semestinya mendapat perlindungan sesuai dengan nilai-nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV).
UNESCO juga memaparkan bahwa 0,4 persen dari zona pemanfaatan di kawasan konservasi itu telah dikembangkan pemerintah Indonesia untuk tujuan wisata. Pemanfaatan ini seharusnya memerlukan penilaian berdasarkan environmental impact assessment (EIA) atau analisis mengenai dampak lingkungan.
Sebelumnya, pada 2018, Indonesia menjelaskan ke UNESCO bahwa 35 persen wilayah konservasi masuk zona inti dan telah sesuai dengan nilai-nilai universal luar biasa. Di Taman Nasional Lorentz juga terdapat 36 persen zona rimba dan 0,5 persen masuk zona rehabilitasi.
Antropolog dari Georgetown University, Amerika Serikat, Veronika Kusumaryati, terbelalak melihat data deforestasi dan jejak obral konsesi yang masuk wilayah Taman Nasional Lorentz. Menurut dia, data tersebut menguatkan temuannya di lapangan ketika meneliti kondisi sosial masyarakat di sejumlah kabupaten di wilayah kawasan konservasi tersebut. "Sebelum Trans Papua, memang sudah ada jalan dan digunakan untuk akses pembalakan liar. Setelah ada Trans Papua, ia kian memperparah proses pembabatan hutan," tuturnya.
Veronika menyebutkan pembalakan kayu dimulai oleh pendatang dari luar Papua. Ketika proses pembabatan masif, penggundulan hutan di Taman Nasional Lorentz kemudian melibatkan warga asli Papua. Hal ini terjadi akibat adanya kompetisi ekonomi antara masyarakat adat dan pendatang. Kerusakan hutan kian parah setelah masuknya proyek jalan Trans Papua. "Jalan Trans Papua memperparah karena juga mengakomodasi kepentingan pertambangan," kata dia.
Veronika mengimbuhkan, selama ini wilayah Taman Nasional Lorentz juga dihuni oleh banyak suku dan masyarakat adat yang tak tersentuh program pemerintah. Mereka adalah masyarakat adat suku Damal, Amungme, Asmat, Nduga, Migani, Lani, dan berbagai suku lain yang tersebar di sejumlah kabupaten yang masuk kawasan konservasi.
Mereka hidup dengan berburu dan melakukan perjalanan jauh dari satu tempat ke tempat lain. "Di zaman kolonialisme Belanda, banyak di antara mereka menjadi guide peneliti di Gunung Cartenz puncak ekosistem dari Taman Nasional Lorentz," kata Veronika.
AVIT HIDAYAT | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo