Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip
Novel Sosiologis

Berita Tempo Plus

Sebelum Sastra Profetik Kuntowijoyo Lahir

Novel pertama Kuntowijoyo belum mengandung unsur sufisme. Tokoh utamanya orang tua yang kontemplatif.

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari karya Kuntowijoyo. Tempo/Charisma Adristy
Perbesar
Novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari karya Kuntowijoyo. Tempo/Charisma Adristy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Novel pertama Kuntowijoyo belum mengandung unsur sufisme seperti karyanya belakangan.

  • Novel Kuntowijoyo sering memunculkan tokoh kakek-kakek yang kontemplatif.

  • Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari adalah roman perang tanpa heroisme.

DULGAPAR menjadi tokoh istimewa dan sentral dalam novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari karya Kuntowijoyo. Kakek tua itu diduga tewas seusai ledakan jembatan di sekitar Desa Ngawonggo, Klaten, Jawa Tengah, semasa perang kemerdekaan di tengah kerinduan menunggu anak semata wayangnya, Rahman, yang pergi pada saat perang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alih-alih mengglorifikasi perjuangan kemerdekaan dan gegap gempita nasionalisme, novel itu justru menggambarkan bahwa perang sangat kejam. Perang membuat orang-orang terluka, tercerai-berai dari keluarga, dan mendatangkan kematian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kuntowijoyo menulis novel yang terbit pada 1966 itu ketika masih belia, 23 tahun. Dalam novel perdananya itu, dia sudah menunjukkan kekhasannya: memunculkan orang-orang tua yang menjalani hidup secara kontemplatif.

Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 18 September 1943. Dia menggambarkan detail suasana perdesaan di Klaten, tempat dia dibesarkan, dalam novel itu. Latar cerita ia mulai dari Stasiun Ceper melalui penggambaran gemuruh suara kereta api dan getaran rel. “Kereta api akan datang. Setiap orang, sebentar-sebentar melihat apakah kereta telah nampak. Tapi yang tampak bukanlah asap kereta api. Di kampung sebelah utara orang membakari sampah yang tertimbun selama ini,” tulis Kuntowijoyo di bagian awal novel.

Kuntowijoyo juga menggambarkan pemandangan persawahan, jalan, jembatan, dan kerbau yang merumput sambil ditunggangi bocah berkolor. Yang menonjol adalah konflik antartokoh, misalnya Kakek Dulgapar dengan Bakri dan Kusen. Dua orang yang terakhir itu tentara Indonesia yang disuruh Letnan Harun meledakkan jembatan yang dibangun Dulgapar agar tak dilalui serdadu Belanda. Dulgapar malah dituduh sebagai pengkhianat karena menghalangi rencana keduanya.

Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari adalah novel Kuntowijoyo yang sempat “hilang” dari khazanah sastra Indonesia karena puluhan tahun tak diketahui keberadaannya. Kini karya itu diterbitkan kembali oleh Penerbit Buku Baik dan Pabrik Tulisan.

Mahfud Ikhwan menyebutkan karya ini melengkapi karya-karya Kuntowijoyo sebelumnya. Mahfud adalah novelis yang meneliti karya sastra Kuntowijoyo saat kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tempat Kuntowijoyo lama mengajar. Dia juga banyak membaca karya Kuntowijoyo, yang turut mempengaruhinya dalam penulisan novelnya yang terkenal, Kambing dan Hujan.

Novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari karya Kuntowijoyo. Tempo/Charisma Adristy

Menurut Mahfud, novel Kuntowijoyo itu juga menarik karena terbit pada 1966 di tengah situasi politik Indonesia yang diwarnai tragedi 1965. Namun, kata dia, novel itu tidak sematang karya-karya Kuntowijoyo kemudian. “Tidak sematang Pasar, Khotbah di Atas Bukit yang fenomenal, atau Dilarang Mencintai Bunga-bunga yang juga menceritakan kakek-kakek tua,” ucapnya kepada Tempo di Bantul, Senin, 24 Februari 2025.

Meskipun demikian, Kuntowijoyo belia sudah meletakkan fondasi dalam penulisan karya sastranya, yakni karakter tokoh yang ia bangun. Karya pertama Kuntowijoyo ini, Mahfud mengungkapkan, mempunyai kekhasan, yaitu cerita yang dekat dengan pribadinya. Kuntowijoyo mengisahkan kampung kakeknya di Ngawonggo, Kecamatan Ceper.

Konflik berlatar perang juga ditulis penulis lain, seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan Nugroho Notosusanto, yang menggambarkan revolusi pada 1940-1960-an. Kuntowijoyo dalam karya ini menunjukkan bahwa perang tidak hitam-putih, melukai manusia, dan apa pun bentuknya membuat manusia menderita. Contohnya cerita tentang tokoh utama, Dulgapar, yang disakiti gerilyawan yang meledakkan jembatan. “Pak Kunto tidak membicarakan kolonialisme dan kemerdekaan sebagai sesuatu yang gegap gempita,” ujar Mahfud.

Mahfud juga tak melihat unsur sosial-politik yang kuat dalam karya itu. Selain itu, tak muncul pesan-pesan tentang sufisme—ciri khas yang melekat pada Kuntowijoyo dalam karya sastranya belakangan. Ini berbeda dengan kandungan puisi ataupun cerita pendek Kuntowijoyo yang banyak diterbitkan di media massa setelah publik mengenalnya sebagai intelektual Muhammadiyah. Mahfud mencontohkan puisi Kuntowijoyo berjudul “Makrifat Daun, Daun Makrifat”.

Karya Kuntowijoyo yang kuat mengandung kritik sosial dan politik, menurut Mahfud, adalah novel Mantra Penjinak Ular, yang menyentil kekuasaan Orde Baru yang otoriter di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. “Dia menyampaikannya dengan halus,” tutur Mahfud. Mahfud menduga Kuntowijoyo menulis novel pertamanya berdasarkan ingatan dan catatan peristiwa sejarah yang ia dengar dan baca sebagai mahasiswa yang tengah mempelajari sejarah.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Faruk HT, menyambut baik terbitnya novel pertama Kuntowijoyo yang lama “hilang” itu. Novel tersebut, menurut dia, memperkaya khazanah sastra Indonesia dan tidak lepas dari kepekaan Kuntowijoyo terhadap fakta sejarah. Setelah novel itu, Kuntowijoyo banyak mengangkat tema realitas melalui novel-novel dengan unsur sosiologis dan antropologis yang kuat.

Menurut Faruk, unsur sosiologis dalam setiap karya Kuntowijoyo mendapat pengaruh dari guru besar sejarah UGM, Sartono Kartodirdjo, pelopor penulisan sejarah Indonesia dengan pendekatan multidimensi dan ilmu-ilmu sosial. Faruk mencontohkan novel Khotbah di Atas Bukit yang kental dengan unsur filsafat dan sufisme. “Puisi-puisinya pada 1980-an juga sangat sufistik,” katanya.

Istri Kuntowijoyo, Susilaningsih di rumahnya, Kelurahan Condongcatur, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 20 Februari 2025. Tempo/Shinta Maharani

Kekhasan karya Kuntowijoyo, menurut Faruk, adalah bersifat transendental dan humanistis. Kuntowijoyo sangat islami dan, bagi dia, agama harus bersifat transformatif dalam gerakan sosial. Kuntowijoyo pun populer setelah memperkenalkan gagasan tentang sastra profetik dalam acara Temu Budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 1986. Sebelumnya, dia mengemukakan gagasan tentang perlunya sastra transendental dalam acara Temu Sastra pada 6-8 Desember 1982 di TIM.

Kuntowijoyo menganjurkan perlunya ilmu-ilmu sosial profetik karena ilmu sosial mengalami kemandekan dan hanya menjelaskan fenomena sosial. Ilmu sosial tidak berusaha mentransformasikan realitas sosial, padahal realitas sosial selalu berkembang. Bagi dia, sastra profetik tidak hanya menyerap dan mengekspresikan sesuatu, tapi juga berbicara tentang realitas sosial.

Istri Kuntowijoyo, Susilaningsih, 78 tahun, mengatakan suaminya tak pernah menceritakan novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari kepadanya. Keduanya menikah pada 1969, tiga tahun setelah novel itu terbit bersambung dalam surat kabar Djihad di Jakarta. Susilaningsih menuturkan, suaminya hampir setiap hari, pada pagi, siang, dan sore, menghabiskan waktu dengan mengetik tulisan di meja kerja.

Kuntowijoyo biasanya menyusun poin-poin dulu sebelum menulis. Novel Pasar (1972), misalnya, ditulis sebelum dia berangkat ke Amerika Serikat untuk mengambil studi master of art di bidang sejarah Amerika di University of Connecticut pada 1973-1975. Dia kemudian meraih gelar doctor of philosophy di bidang ilmu sejarah dari Columbia University, Amerika Serikat, pada 1980.

Pada 1980-an, Kuntowijoyo pulang ke Indonesia dan mulai terlibat dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah bersama tokoh seperti Amien Rais, Ichlasul Amal, dan Ahmad Watik Pratiknya. Namun dia lebih dikenal sebagai pemikir dan sastrawan daripada aktivis.

Kuntowijoyo meninggal pada 22 Februari 2005 di usia 62 tahun setelah menderita sakit akibat meningoencephalitis. Saat mulai sakit pada 1992, Kuntowijoyo justru produktif menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke media massa. Dia selalu meminta istrinya membaca tulisannya sebelum dikirim. “Pak Kunto berkarya sampai akhir hayatnya,” kata Susilaningsih.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Sebelum Sastra Profetik Lahir

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus