Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tinggi Permintaan Pasir Reklamasi

Banyaknya proyek reklamasi di dalam dan luar negeri memicu lonjakan permintaan pasir laut. 

 

30 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Suburnya proyek reklamasi mendorong tingginya permintaan pasir laut.

  • Singapura menjadi pengimpor pasir laut terbesar di dunia.

  • Kementerian Kelautan memproyeksikan jumlah sedimen mencapai 23,5 miliar kubik per tahun.

JAKARTA - Tingginya permintaan pasir laut diduga menjadi landasan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi anyar ini membuka keran ekspor pasir laut yang 20 tahun terakhir ditutup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Walau narasinya soal sedimentasi, kami menduga itu sebatas akal-akalan karena pasir laut punya daya tarik di tengah pembangunan berbagai megaproyek di dalam dan luar negeri," ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa konstruksi bangunan yang membutuhkan pasir laut adalah pembangunan berbagai pelabuhan, reklamasi lahan, bahkan jalan tol. Namun, Kiara mencatat, penambangan pasir laut selama ini masif dilakukan di berbagai daerah untuk memasok kebutuhan proyek reklamasi. Hingga 2018, Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat terdapat 41 wilayah pesisir yang tengah dan telah direklamasi. Proyek reklamasi tersebar dari Sumatera hingga Papua. Total luasan wilayah reklamasi kala itu sebesar 79.348,9 hektare dan jumlah nelayan yang terkena dampak sebanyak 747.363 jiwa.

Pernyataan Susan ini selaras dengan isi Pasal 9 PP Nomor 26/2023 yang menyebutkan sedimentasi laut bisa berupa pasir ataupun lumpur. Pasir laut, menurut pasal yang sama, dapat digunakan untuk proyek reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adapun lumpur dapat digunakan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. 

Tak hanya di dalam negeri, Susan yakin lahirnya aturan ini juga didorong oleh tingginya permintaan dari luar negeri. Masalahnya, ia mengatakan, data ketersediaan, permintaan, dan kebutuhan pasir laut hasil sedimentasi ini tidak jelas. Menurut dia, tidak ada lembaga yang bisa memastikan kebutuhan pasir dan tujuan penggunaannya. Jika dasar kebutuhan itu adalah investasi atau proyek, jumlahnya akan sangat dinamis dan tidak dapat dipastikan volume pasir yang diisap. "Apalagi tidak ada penetapan, tergantung permintaan pasar," kata dia. 

Senada dengan Susan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, Abdi Suhufan, mengatakan aturan pengelolaan sedimentasi itu hanya kamuflase untuk melegalkan kembali ekspor pasir laut. Apalagi kebutuhan pasir laut negara tetangga, seperti Singapura, cukup besar. "Permintaan pasar atas pasir laut saat ini dari Singapura," ujar dia.

Dugaan Abdi tersebut klop dengan pernyataan terbaru Presiden Joko Widodo. Kepada para pemimpin redaksi media massa, kemarin, ia mengatakan bakal mengizinkan ekspor pasir sedimentasi ke Singapura. Namun pasir yang diizinkan adalah yang berasal dari perairan Selat Malaka. Pengambilan pasir itu sekaligus untuk mengeruk jalur lalu lintas pelayaran internasional. “Selama ini pun sudah diekspor, tapi ilegal. Jadi, sekarang ini kami bikin menjadi legal." Jokowi mengimbuhkan, selama ini Singapura banyak mengimpor pasir dari Vietnam. Padahal, menurut dia, persediaan pasir di Selat Malaka sangat banyak.

Truk mengangkut pasir di area reklamasi lahan yang menghadap kawasan industri Tuas Singapura. Reuters

Kebutuhan Besar untuk Reklamasi

Menyitir penelitian yang dilakukan Vanessa Lamb, Melissa Marschke, dan Jonathan Rigg berjudul "Trading Sand, Undermining Lives: Omitted Livelihoods in the Global Trade in Sand" yang diterbitkan The Annals of the American Association of Geographers pada 2019, Singapura memang menjadi importir utama pasir dunia selama bertahun-tahun. Negeri Singa itu membutuhkan pasir tersebut untuk memperluas wilayah dengan melakukan reklamasi. Sebagai catatan, luas Singapura yang sekitar 581 kilometer persegi pada 1965 membesar menjadi 719 kilometer persegi pada 2015. Area Singapura direncanakan meluas sampai 30 persen pada 2030. 

Negara-negara yang menyumbang pasir bagi proyek reklamasi Singapura mulanya adalah Indonesia dan Malaysia. Indonesia kemudian melarang ekspor pasir laut pada 2003 dan ekspor pasir secara umum pada 2007. Malaysia baru melarang ekspor pasir laut pada 2019. Setelah adanya pelarangan dan pembatasan itu, sumber pasir Singapura beralih ke Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Vietnam. Sepanjang 2007-2016, Singapura mengimpor 80,22 juta metrik ton pasir dari Kamboja; 74,92 metrik ton dari Vietnam; 49,08 metrik ton dari Malaysia; 27,61 metrik ton dari Myanmar; 9,14 metrik ton dari Filipina; dan 1,73 metrik ton dari negara lain. Pada 2017, Kamboja juga melarang ekspor pasir secara permanen.

Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP, Wahyu Muryadi, berujar ekspor bukan tujuan utama terbitnya aturan anyar tersebut, melainkan untuk membersihkan sedimentasi yang diklaim merusak ekosistem laut karena menutupi terumbu karang dan jalur pelayaran. "Menurut kajian akademis, diperkirakan jumlah sedimentasi tak kurang dari 23 miliar kubik setiap tahun," kata Wahyu. 

Sedimentasi ini kemudian akan dimanfaatkan terutama untuk kepentingan nasional. Ia menyebutkan penentuan pemanfaatan sedimen tersebut akan dilakukan tim kajian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kelautan, serta Kementerian Perhubungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengingatkan bahwa kebijakan ekspor pasir laut ini dapat merugikan masyarakat karena bisa mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil hingga merusak ekosistem laut. Apalagi dengan kebutuhan reklamasi di dalam negeri yang cukup besar. Walhi mencatat, sampai 2040, ada lebih dari 3,5 juta hektare proyek reklamasi di dalam negeri. Angka itu berasal dari analisis Walhi terhadap dokumen tata ruang laut di 28 provinsi. 

"Masih ada provinsi lain yang belum mengesahkan tata ruang laut. Artinya, reklamasinya bisa lebih luas lagi, mencapai hampir 4 juta hektare," ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin.

CAESAR AKBAR | BUDI SETIARSO | VINDRY FLORENTIN | RIANI SANUSI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus