Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hari Suroto menanggapi adanya usulan soal serangga, khususnya ulat sagu, yang disebut bisa menjadi alternatif sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hari, rencana itu tidak efektif karena ulat sagu merupakan produk sekunder dari pohon sagu dan jumlahnya terbatas. Bahkan, hingga saat ini belum ada yang membudidayakan ulat sagu. Selain itu, kata Hadi, tidak semua orang bisa makan ulat sagu. “Mungkin ada yang alergi makan ulat sagu karena kandungan lemaknya yang tinggi,” kata dia kepada Tempo, Senin, 3 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari menjelaskan, ulat sagu hanya bisa dimakan mentah atau dimasak dengan cara dibakar saja, yaitu dipanggang di atas perapian atau dicampur dengan tepung sagu, kemudian dibungkus daun dan dipanggang. Ulat sagu tidak bisa dimasak dengan direbus.
Kata Hari, untuk menu MBG lebih baik disajikan makanan khas Papua yang berasal dari pati sagu daripada ulat sagu. “Untuk dapat menghasilkan 100 kilogram tepung sagu, dibutuhkan 12 tahun untuk pohon sagu baru bisa dipanen. Hal ini lebih efektif daripada 12 tahun pohon sengaja ditebang hanya untuk menghasilkan ulat sagu yang hanya berjumlah ratusan ekor saja.”
Hari menjelaskan, ulat sagu merupakan makanan unik dan populer di pesisir utara dan selatan Papua. Larva dari sejenis kumbang penggerek ini dikonsumsi oleh penduduk setempat sebagai sumber protein tambahan.
Ukurannya kurang lebih 4 cm, warnanya putih dengan kepala hitam. Ulat ini bersarang di bagian dalam batang sagu (empulur sagu). Ulat-ulat sagu memiliki kandungan protein tapi sebagian besar adalah lemak. Seratus gram ulat sagu mengandung 181 kalori dengan 6,1 gram protein dan 13,1 gram lemak.
“Jadi, ulat sagu merupakan produk pangan sekunder dari pohon sagu. Produk primernya yaitu karbohidrat dari pati sagu,” kata Hari. Ulat sagu ini diperoleh dari membiarkan batang pohon sagu yang tumbang. Nantinya, batang pohon ini akan menjadi media kumbang untuk menyimpan telurnya, yang akhirnya akan menjadi larva atau ulat sagu.
“Batang pohon sagu yang menjadi media ulat sagu berkembang biak, merupakan batang sagu yang masih ada pati sagunya. Jika batang pohon sagu yang tua roboh, dia nanti akan kering dan kumbang tidak tertarik untuk menaruh telurnya,” tambah Hari.
Satu batang pohon sagu dapat menghasilkan 90 hingga 100 kg pati sagu. Sementara pohon sagu jika ditebang dan dibiarkan di alam dapat menghasilkan ratusan ekor ulat sagu.
Adapun pohon sagu alam di Papua rata-rata bisa dipanen setelah umur 12 tahun. Jika lebih dari itu umumnya akan mati dan tumbang. Pohon sagu yang mati dan tumbang, tidak menarik bagi kumbang. Kumbang hanya mencari batang pohon sagu yang masih ada patinya. “Jadi, dapat disimpulkan dalam satu pohon sagu, lebih banyak pati sagu yang dihasilkan daripada jumlah ulat sagu,” kata Hari.
Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional atau BGN Dadan Hindayana mengungkapkan bahwa serangga bisa menjadi alternatif sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dia menjelaskan bahwa menu MBG dirancang berdasarkan potensi lokal, sehingga daerah tertentu dapat memanfaatkan serangga yang sudah umum dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
“Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein," kata Dadan dalam pemaparannya di Rapimnas Perempuan Indonesia Raya, Sabtu, 25 Januari 2025.
Sukma Kanthi berkontribusi dalam tulisan ini.