Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Robot dan Lego ibarat cinta pertama Rio Cahyadi. Laki-laki kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini sejak kecil suka menonton film robot. Ketika masih kanak-kanak, Rio juga kesengsem pada permainan bongkar-pasang asal Denmark, Lego. Setelah mendapat penghasilan sendiri—harga Lego sangat mahal sehingga tidak enak jika harus minta dibelikan orang tua—Rio yang bekerja di sebuah bank milik pemerintah itu pun mewujudkan impiannya. Dia membangun robot Transformer dari Lego.
Robot abu-abu dalam pameran Lego di Mal f(x), di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, sepintas tak berbeda dengan berbagai bentuk robot Lego lainnya. Namun robot buatan Rio itu mampu bertransformasi menjadi helikopter tanpa harus dibongkar, mirip salah satu tokoh dalam film Transformers: Blackout. Kreasi Rio ini bisa dikatakan paling canggih di antara berbagai bentukan Lego—yang tak kalah rumitnya—yang dipamerkan selama satu bulan, hingga Minggu lalu.
Pembuatannya tidak mudah. Rio butuh sekitar empat bulan dan ratusan kali bongkar-pasang. ”Dalam sehari saya bisa membongkar hingga lima kali,” kata Rio, yang khusyuk merangkai Lego pada malam hari dari pukul 19.00 hingga 01.00 dini hari. Bila salah membentuk satu bagian, misalnya bagian kepala, lulusan Fakultas Teknik Universitas Gunadarma, Jakarta, ini harus membongkar semua bagian dan menyusun kembali dari awal.
”Karena bagian kepala itu harus bisa ditekuk masuk ke bagian dalam helikopter ketika bertransformasi,” katanya. Untuk menyempurnakan bagian kepala Blackout, Rio butuh seminggu. Saking asyiknya membangun Blackout, persiapan pernikahannya dengan Hesty Fitriyah pada 2007 sampai terbengkalai. ”Hingga kini pun selalu mendapat omelan istri karena menyusun Lego hingga terlalu malam,” tutur Rio sembari tertawa.
Apa boleh buat, namanya juga telanjur cinta pada Lego. Rio, dan banyak lagi penggila Lego, pasti merasakan protes, teguran, amarah, omelan, atau apa pun dari orang lain gara-gara terlalu tenggelam menyusun kepingan (brick) Lego. Namun semua itu mereka anggap sebagai harga yang pantas demi kreativitas mereka. ”Bagi kami, Lego bukan sekadar permainan, tapi merupakan penyaluran rasa,” kata Victor Indrabuana, 33 tahun, seorang penggila Lego, juga importir permainan tersebut. ”Jujur, Lego itu penghilang stres. Bila pikiran galau, saya bangun sesuatu dari kepingan Lego,” tambahnya.
Para pencinta Lego lain sepakat dengan pendapat Victor. Bagi mereka, keasyikan menyusun kepingan bukan dengan mengikuti pola yang tersedia dalam setiap kotak Lego, seperti membuat rumah, gedung, kota, pesawat, dan robot. Namun tantangannya adalah membangun bentuk baru di luar pola. Atau yang lebih menantang lagi adalah membentuk sesuatu berdasar imajinasi atau bentuk yang sama sekali lain. ”Misalnya ada teman yang menunjukkan sebuah gambar, dan menantang saya membangun kepingan Lego hingga seperti gambar tersebut,” kata Rio. ”Itu baru tantangan.”
Karena persamaan itulah, mereka berkumpul membentuk Klub Lego Indonesia. Ketika berdiri dua tahun silam, anggotanya hanya enam orang. Kini para penggila Lego sudah mencapai 300-an orang. Ada yang berdomisili di Singapura dan Australia. Terutama bagi yang tinggal di Jakarta, mereka berkumpul sebulan sekali. Anggotanya terdiri dari beragam usia, dan entah mengapa, sebagian besar adalah kaum Adam. ”Menurut kami, di setiap laki-laki selalu ada jiwa anak kecilnya. Hampir semua cowok punya mainan,” kata Victor sembari tertawa.
Kegiatannya? Ya, apa lagi jika bukan ”semuanya tentang Lego”: membahas bentuk baru, modifikasi, tukar-menukar brick, berbagi informasi tentang tempat penjualan diskon Lego. Pokoknya, urusan anak, istri, pacar, teman, pekerjaan, semuanya dilupakan sementara. ”Kami bertukar ilmu modifikasi untuk model yang baru, juga saling pamer teknik baru,” kata Cornelius David Radjali, 24 tahun, anggota Klub Lego Indonesia.
Di luar hal-hal teknis itu, para pencinta Lego itu mengakui, kepingan-kepingan yang pertama kali dibuat pada 1932 oleh Ole Kirk Christiansen—si pendiri perusahaan Lego Group—telah menjadi bagian dari hidup mereka. Lego, yang berasal dari bahasa Denmark yang berarti ”bermain dengan asyik”, telah membawa keasyikan sendiri pada penggemarnya. Mereka bilang, Lego itu antibosan. Jika bosan, bisa dibongkar. Bila salah membangun, juga bisa diacak-acak lagi, lalu disusun menjadi bentuk baru sama sekali. ”Itu never ending history,” kata Victor.
Menurut para pencinta Lego yang diwawancarai Tempo, mereka mulai kenal Lego di usia anak-anak. Dan mulanya mereka hanya melihat unsur keasyikan dalam bermain. Lalu muncul keuletan, mengasah logika berpikir—dengan menyusun sesuatu—kesabaran, berpikir alternatif, juga berpikir tiga dimensi. O ya, ada lagi: mereka menjadi mampu mengatur keuangan. Maksudnya, mereka berusaha keras menyisihkan uang untuk membeli Lego. ”Saya jadi berhemat. Sehari uang jajan saya Rp 20 ribu. Saya tabung untuk beli Lego,” kata Irvan Adi Ramadhan, anggota Klub Lego yang masih duduk di SMU kelas III.
Lego pun menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Ada yang ketika melamar pacarnya menggunakan Lego. Aditya membuat miniatur gereja plus sepasang orang di dalamnya. Dan hingga saat ini miniatur itu masih disimpan. Sedangkan penggemar Lego dari Bandung, bernama Daniel, membuat adegan pernikahannya menggunakan brick Lego.
Nah, salah satu yang paling total menerapkan ”prinsip” Lego dalam keseharian adalah Mariono Agus Moeliono. Laki-laki 48 tahun itu bekerja sebagai konsultan pendidikan anak, juga guru. Mariono, yang kini tinggal di Bandung, merasa sebagai korban kurikulum pendidikan yang buruk. ”Hanya menghafal melulu,” katanya.
Beruntung, Mariono diperkenalkan pada Lego oleh orang tuanya ketika dia masih berusia 10 tahun. Setelah itu, dia tidak pernah lepas dari Lego. Hingga Mariono menjadikan Lego sebagai sarana mendidik anak sejak usia play group, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. ”Permainan itu mengajari mereka merancang sesuatu dan memecahkan masalah,” katanya.
Mariono bukan sesumbar. Selama 38 tahun dia bermain bersama kepingan plastik itu. Dia juga sudah 14 tahun melakukan riset dan mengembangkan cara mendidik dengan Lego. Menurut dia, ada tiga manfaat bila terbiasa bergaul dengan Lego. Seseorang bisa terasah kemampuannya menghasilkan ide dengan cepat. Dia juga terlatih berpikir kritis. Jika bekerja kelompok, orang akan diajari bertoleransi dan bekerja tim. ”Karena, jika mereka bertengkar, jangan harap rangkaian Lego itu akan jadi,” katanya.
Pola pendidikan seperti itu dia terapkan di Pusat Pengembangan Anak Kuntum Mekar. Sejak empat tahun lalu, kurikulum Lego dia gunakan di TK dan SD Kuntum Cemerlang di Cipaku, Bandung. ”Intinya, otak kanan dilatih berimajinasi, otak kiri diasah untuk menganalisis.”
Lego memang bisa dijadikan teman bermain dan belajar. Kegunaannya juga terbukti banyak. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai alat melatih anak-anak autis. Kelemahannya cuma satu: mahalnya minta ampun.
Bina Bektiati, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo