Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama: Iblis. Alamat: Jalan Iman Gang Barokah No. 666. Agama: Rahasia. Nasionalisme: Malaikat. Gender: Non-gender.”
Joko Kamto, berperan sebagai iblis, dengan kocak memperkenalkan dirinya. Stamina dan keluwesan aktingnya mampu menghidupkan lakon Emha Ainun Nadjib: Tikungan Iblis, yang berlapis-lapis, penuh ceramah, dan melelahkan. Inilah pentas reuni Teater Dinasti asal Yogyakarta, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal pekan lalu.
Teater Dinasti pernah menjadi fenomena pada masanya. Berdiri pada 1977, ia menjadi perintis teater realis politik terkemuka dari Yogyakarta. Lakonnya Patung Kekasih dan Sepatu Nomer Satu pernah dilarang dipentaskan. Sayang, menjelang akhir 1980-an, Dinasti mati suri. ”Problem organisasi dan masalah personal anggota menjadi penyebab,” ungkap Indra Trenggono, pengamat teater.
Bermula dari diskusi di tengah pengajian Emha Ainun Nadjib dan putranya, Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto), awak Dinasti berkeinginan berkumpul kembali. Emha ketiban pulung membuat naskah. Tikungan Iblis menurut Indra tidak menempuh proses yang normal. Biasanya ada naskah kemudian dibahas oleh grup dan dipentaskan. Namun kali ini naskah dibuat adegan per adegan. ”Ini mirip dengan proses kreatif Shakespeare saat membuat pementasan, dibuat dengan bagian per bagian,” ungkapnya.
Penyutradaraan pun dilakukan oleh duet Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno. Dinasti berupaya modern dalam pentas reuni ini. Mereka memasukkan unsur multimedia. Dan kita melihat aktor senior dan pendiri teater Dinasti yang telah tua-tua, seperti Fajar Suharno, Tertib Suratmo, dan Bambang Sosiawan, yang boleh dikatakan vakum selama 20 tahun itu, olah aktingnya cukup terjaga.
Cerita bermula dari kedatangan iblis ke RT 3 RW 5. Tamu tak diundang itu meresahkan tetua RT, Prawito (Novi Budianto), karena latihan sandiwara warga RT untuk hari Kebangkitan diganggunya. Tamu itu pun membuat geram Prawito gara-gara burung Garuda yang dijanjikan berubah wujud menjadi emprit! Terjadilah dialog-dialog panjang antara tetua RT, warga RT, dan iblis membicarakan esensi keberadaan iblis sampai soal Republik Indonesia yang kehilangan harga diri.
Pola pemanggungan Teater Dinasti segera dapat kita kenali. Amat dimengerti jika orang mengatakan gaya pemanggungan Dinasti amat mempengaruhi gaya teater Yogya lain pasca-Dinasti, seperti Teater Gandrik. Kita melihat tiga malaikat yang mengomentari ulah tingkah manusia berdiri di level lebih tinggi daripada para aktor lain atau pergantian terang-gelap lampu saat menyorot dua kelompok yang tengah berdialog di panggung. Semua itu cara pengadeganan yang biasa kita temui di pertunjukan Gandrik. Jujuk Prabowo, sutradara pertunjukan ini, misalnya, kini dikenal sebagai sutradara Gandrik. Novi Budianto juga eks Gandrik. Selanjutnya tak ada bentuk-bentuk baru.
Teater Dinasti pernah menyatakan diri bahwa pementasan teater mereka lebih menekankan penyadaran sosial dan tidak sekadar mengejar bentuk-bentuk estetis panggung. Maka tidak mengherankan jika dari mulut iblis dan malaikat keluar diskusi-diskusi pintar dan cerdas mengenai harkat manusia dan identitas bangsa. Kadang banyak sindiran yang sudah stereotipe dan klise. Betapapun demikian, ceramah-ceramah iblis itu tergolong sukses. Graha Bhakti Budaya penuh dipadati penonton bukan hanya dari kalangan teater.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo