Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Kasus KDRT Lesti Kejora, Warganet: Stockholm Syndrome?

Warganet beranggapan perubahan perilaku Lesti Kejora terhadap Rizky Billar sebagai Stockholm syndrome. Apakah jenis sindrom ini?

18 Oktober 2022 | 10.05 WIB

Lesti Kejora dikabarkan telah melahirkan secara cito caesar/Foto: Instagram/Rizky Billar
Perbesar
Lesti Kejora dikabarkan telah melahirkan secara cito caesar/Foto: Instagram/Rizky Billar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Perubahan terhadap sikap Lesti Kejora yang melunak terhadap suaminya, Rizky Billar yang menjadi tersangka kejahatan tersebut membuat warganet mengaitkannya dengan stockholm syndrome. Melansir webmd.com, kondisi ini digambarkan sebagai sikap melunak korban terhadap terduga pelaku kejahatan.

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami penyanyi dangdut Indonesia, Lesti Kejora, menuai perhatian dari warganet di Indonesia. Pasalnya, keputusan Lesti Kejora yang memilih untuk mencabut laporan KDRT dan berujung damai sangat disayangkan oleh warganet. Terlebih, Lesti Kejora memaafkan kesalahan Rizky Billar, suami yang telah melakukan KDRT kepada diriya beberapa waktu lalu.

Baca: Polisi Temukan Unsur Kekerasan dalam LaporanKDRT yang Dialami Lesti Kejora

Memahami Stockholm Syndrome 

Sikap melunak dari korban muncul karena adanya kontak dekat dan rasa ketergantungan tinggi terhadap pelaku terduga kejahatan menyebabkan korban rentan mengalami sindrom stockholm. Korban yang terjebak dalam ketergantungan, secara tidak sadar dipaksakan memaknai tindakan kebaikan yang langka atau kecil di tengah kondisi yang mengerikan sebagai perlakuan yang baik.

Dikutip my.clevelandclinic.org, stockholm syndrome merupakan wujud mekanisme pertahanan diri atas situasi abusif. Istilah sindrom stockholm muncul pertama kali pada 1973 oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog asal Stockholm, Swedia.

Dikutip britannica.com, kala itu, terjadi perampokkan di bank Stockholm yang menyebabkan para karyawan mengalami penyanderaan selama enam hari. Selama proses penyanderaan, para korban justru merasa simpati terhadap para pelaku sehingga ketika dimintai keterangan, beberapa pegawai bank justru menolak. Bahkan, para korban membantu mengumpulkan uang untuk membela pelaku.

Pada abad ke-21, pemahaman mengenai stockholm syndrome telah meluas yang tidak hanya lagi berkutat pada tindakan perampokan, tetapi juga melibatkan peristiwa abusif lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga, tawanan perang, pelacur yang dibeli, dan anak-anak yang dilecehkan. American Psychiatric Association (APA) mengategorikan stockhom syndrome sebagai Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental.

Seseorang yang mengalami sindrom ini memiliki gejala-gejala yang menyertainya, seperti kebingungan, rasa malu terhadap pelaku, insomnia, dan merasa bersalah terhadap pelaku. Selain itu, penderita sindrom ini akan mengalami gejala-gejala berikut setelah berinteraksi dengan pelaku:

  • Perasaan positif terhadap para penculik atau pelaku kekerasan.
  • Simpati untuk keyakinan dan perilaku penculiknya.
  • Perasaan negatif terhadap polisi atau figur otoritas lainnya

NAOMY A. NUGRAHENI 

Baca juga: Rahwana, Sinta dan Stockholm Syndrome

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus