Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis kandungan dan kebidanan Gita Pratama mengatakan sindrom ovarium polikistik (SOPK) atau kista ovarium bisa dialami wanita dengan berat badan normal. Tetapi, perjalanan penyakitnya berbeda dengan wanita obesitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendapat itu ia sampaikan dalam disertasi berjudul “Hubungan Kadar Kisspeptin, Neurokinin B dan Dinorfin terhadap Rasio LH/FSH serta Polimorfisme dan Metilasi DNA Gen KISS1 pada Pasien Sindrom Ovarium Polikistik Nir-obese” yang disampaikan melalui sidang Promosi Doktor Program Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, Senin, 17 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk sampai pada temuan ini, Gita mempelajari 120 orang perempuan berusia 18-35 tahun yang terdiagnosis SPOK di Klinik Yasmin RS dr. Cipto Mangunkusumo Kencana dengan indeks massa tubuh kurang dari 25. Para peserta studi menjalani serangkaian tes seperti pemeriksaan fisik, USG, dan pemeriksaan darah untuk melihat berbagai parameter hormonal dan metabolik.
Mereka juga menjalani pemeriksaan khusus untuk melihat polimorfisme dan mekanisme epigenetik (metilasi DNA) gen KISS1 di klaster Human Reproduction, Infertility and Family Planning (HRIFP) Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Universitas Indonesia.
SOPK merupakan kelainan endokrin yang mempengaruhi 5-20 persen perempuan usia reproduksi. SOPK ditandai adanya gangguan haid, peningkatan hormon androgen, serta infertilitas. Jika tidak ditangani secara tepat, dalam jangka panjang SOPK akan meningkatkan risiko diabetes tipe-2, sindrom metabolik, serta peningkatan angka kejadian kanker endometrium (dinding rahim). Salah satu penemuan penelitian terdahulu memperlihatkan obesitas sebagai salah satu faktor risiko.
“Meskipun obesitas salah satu faktor risiko yang kerap terjadi, lewat penelitian ini ditunjukkan 20-50 persen perempuan dengan SOPK mempunyai berat badan yang sebenarnya normal," papar Gita.
Merujuk pada penelitian, Gita memperkirakan proses perjalanan penyakit perempuan obesitas dan berat badan normal berbeda. Hormon yang mempengaruhi sistem reproduksi perempuan, yaitu luteinizing hormone (LH) yang berasal dari kelenjar hipofisis di otak, secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan berat badan normal yang mengalami SOPK dibandingkan wanita obesitas. LH memicu ovulasi atau pelepasan sel telur dan ovarium. Peningkatan LH yang maksimal memicu ovulasi.
"Hal tersebut menunjukkan gangguan hormonal pada otak (neuroendokrin) mungkin merupakan mekanisme terpenting pada pasien SOPK dengan berat badan normal,” tuturnya.
Masalah pada pasien obesitas
Pada penelitian ini, dia juga menemukan dua mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK yang berat badannya normal. Dua mekanisme ini berupa penurunan dinorfin yang diperkirakan akan mempengaruhi peningkatan GnRH secara langsung di otak dan peningkatan kadar hormon anti-Mullerian (AMH) yang selain secara langsung menyebabkan terhentinya pertumbuhan telur akibat penurunan enzim aromatase, juga secara langsung mempengaruhi peningkatan GnRH.
“Dengan demikian, kedua hormon ini diperkirakan merupakan kunci perkembangan penyakit pada pasien SOPK nir-obese," kata Gita.
Penelitian menunjukkan pasien SOPK obesitas mengalami perbaikan gejala dengan melakukan modifikasi gaya hidup, khususnya diet dan olahraga. Sementara pasien SOPK dengan berat badan normal lebih terkait dengan gangguan hormonal. Oleh karena itu, perbaikan gaya hidup belum bisa memberikan perubahan gejala signifikan.
Dia mengatakan penemuan ini akan menjadi awal bagi pengembangan tatalaksana pada pasien SOPK, khususnya wanita dengan berat badan normal berdasarkan kelainan yang mendasarinya, bukan hanya bersifat simtomatis atau mengobati gejala saja.
"Temuan inilah yang memicu kami untuk membuat penelitian yang dapat lebih memahami proses terjadinya penyakit (patogenesis) SOPK, khususnya pada pasien nir-obese (normal) sehingga diharapkan dapat mengembangkan tatalaksana yang tepat di kemudian hari,” jelas Gita.
Pilihan Editor: Begini 6 Mitos Kanker Ovarium yang Sering Dianggap Benar