Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pebulu tangkis Indonesia, Fajar Alfian, mendapat sorotan tajam dari warganet setelah ketahuan meninggalkan komentar di unggahan video akun Instagram @fakta.indo, kemarin. Atlet ganda putra badminton peringkat empat dunia bersama Muhammad Rian Ardianto itu mengomentari seorang perempuan yang tengah berorasi dalam demonstrasi di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 26 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan tersebut viral karena orasinya yang tajam dalam mengkritik para komisioner KPU, menarik perhatian Fajar hingga ia meninggalkan komentar pada unggahan tersebut. "Ibu sehat?" tulis Fajar. Dua jam kemudian, ia kembali menuliskan komentarnya. "Ibu juga kalo pinter pasang gigi dulu, Bu," tulisnya merujuk pernyataan orator itu yang meledek kecerdasan para komisioner.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, komentar yang bernuansa body shaming itu segera dihapusnya setelah mendapat reaksi keras dari warganet. Sayangnya, tangkapan layar komentarnya sudah lebih dulu menyebar di platform X. Akibatnya, Fajar—yang merupakan tunangan Firly Assyifa Camilien—menjadi sasaran kritik netizen karena komentarnya dianggap serupa dengan buzzer pemerintah. Nama Fajar pun sejak tadi malam bertengger di daftar trending topic di X.
Body shaming adalah fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak orang masih menganggapnya sebagai lelucon atau candaan biasa. Padahal, di balik ucapan tersebut, terdapat dampak psikologis yang lebih dalam bagi korban.
Apa itu body shaming?
Dilansir dari IHC Telemed, body shaming merupakan tindakan merendahkan atau mengejek seseorang berdasarkan penampilan fisiknya, seperti bentuk tubuh atau warna kulit. Tindakan ini bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Body shaming secara langsung terjadi ketika seseorang memberikan komentar negatif secara terbuka mengenai fisik orang lain. Sementara itu, secara tidak langsung, tindakan ini dapat berupa guyonan, sindiran, atau penyebaran meme yang mengejek tubuh seseorang melalui media sosial.
Beberapa contoh body shaming yang umum terjadi meliputi komentar tentang berat badan seseorang—baik terlalu gemuk maupun terlalu kurus—tinggi badan, serta warna kulit. Perilaku ini sejatinya termasuk dalam bentuk perundungan verbal atau bullying, yang dapat dialami oleh siapa saja, tanpa memandang usia maupun jenis kelamin.
Dampak Body Shaming
Dilansir dari Very Well Mind, banyak orang menganggap body shaming sebagai hal yang lumrah atau sekadar candaan. Namun, pelaku sering kali tidak menyadari dampak serius yang dapat dirasakan oleh korban.
Meskipun dilakukan tanpa niat jahat, komentar mengenai penampilan seseorang dapat menimbulkan efek negatif, terutama jika korban merasa tersinggung. Berikut beberapa dampak buruk dari body shaming:
1. Penurunan Harga Diri
Korban body shaming cenderung merasa tidak dihargai dan mulai meragukan penampilan mereka sendiri. Akibatnya, kepercayaan diri mereka menurun, disertai perasaan malu terhadap tubuh mereka.
2. Isolasi Sosial
Sering mendapat ejekan terkait fisik dapat membuat seseorang enggan bersosialisasi. Mereka mungkin merasa takut akan komentar negatif dan memilih untuk menjauh dari lingkungan sosial tertentu.
3. Gangguan Makan
Banyak korban body shaming mencoba mengubah bentuk tubuh mereka dengan cara yang tidak sehat, seperti melakukan diet ekstrem atau bahkan mengalami gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia. Kondisi ini dapat membahayakan kesehatan fisik maupun mental.
4. Depresi dan Kecemasan
Ejekan dan hinaan terkait penampilan fisik dapat memicu gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Korban sering kali merasa tertekan dan kesulitan mengelola emosi negatif yang mereka alami.
5. Dismorfia Tubuh
Dalam kasus yang lebih ekstrem, body shaming dapat menyebabkan gangguan dismorfia tubuh, yakni kondisi psikologis di mana seseorang terlalu terobsesi dengan kekurangan fisik yang sebenarnya tidak nyata atau sangat kecil. Hal ini dapat berdampak buruk pada kesejahteraan mental dan kehidupan sosial mereka.
Istiqomatul Hayati berkontribusi dalam penulisan artikel ini.