Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK menggeledah Bank Indonesia untuk mencari bukti kasus korupsi dana corporate social responsibility (CSR).
Sempat menyatakan sudah menetapkan dua tersangka, lembaga antirasuah meralat pernyataannya.
Menurut mantan penyidik KPK, praktik bancakan dana CSR oleh politikus juga terjadi di berbagai BUMN.
PENYIDIK Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Bank Indonesia di Jalan M.H. Thamrin, Gambir, Jakarta Pusat, pada Senin malam, 16 Desember 2024. Penggeledahan itu berhubungan dengan dugaan kasus korupsi corporate social responsibility (CSR) atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). Sehari berselang, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan mengatakan penggeledahan dilakukan di beberapa ruangan. "Di antaranya ruangan Pak Gubernur BI (Perry Warjiyo)," ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudi mengatakan KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus korupsi CSR BI ini. Kendati demikian, dia tak menyebutkan siapa terduga pelaku rasuah itu. Menurut sejumlah sumber Tempo di kalangan penegak hukum, dua tersangka itu adalah anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 berinisial S dan HG. BI merupakan salah satu mitra kerja Komisi XI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Tempo meminta konfirmasi soal dua tersangka ini, Rudi justru meralat pernyataannya. Dia menyatakan belum ada penetapan tersangka secara formal dalam kasus ini. "Mohon maaf, kemarin saya belum menyampaikan bahwa dalam perkara ini, kami melakukan sidik umum. Saya tidak ingat kalau formalnya belum," kata Rudi kepada Tempo pada Rabu, 18 Desember 2024.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu juga menyatakan belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini. Dia menjelaskan, KPK mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum tanpa nama tersangka karena masih perlu mendalami kasus ini. Dia pun berjanji akan mengumumkan tersangka kasus rasuah ini apabila bukti-bukti tersebut sudah lengkap. "Jumlahnya mungkin bisa lebih dari dua tersangka," tutur Asep.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu. TEMPO/Imam Sukamto
Sumber Tempo yang mengetahui pengusutan kasus ini menyatakan KPK tengah menyelidiki keterlibatan nyaris semua anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 dalam kasus korupsi CSR BI ini. Dia menceritakan, para anggota Dewan dianggap terlibat karena mereka pernah menyuruh para tenaga ahlinya mengikuti pertemuan khusus dengan pejabat struktural BI di sebuah hotel untuk membahas mekanisme pengajuan dana CSR dan sebagainya.
Sumber ini pun mengatakan korupsi ini bahkan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Soal S dan HG yang sudah diputuskan menjadi tersangka, menurut dia, karena keduanya paling menonjol melakukan manipulasi. Keduanya menggunakan yayasan yang pengurusnya merupakan orang dekat mereka untuk mengajukan CSR tersebut. Tak hanya itu, menurut dia, dana CSR itu pun digunakan tak sesuai dengan peruntukannya. Hanya 50 persen dari anggaran CSR itu yang mengalir ke masyarakat. Selebihnya, digunakan untuk kepentingan pribadi.
Asep tak membantah ataupun mengiyakan informasi yang Tempo dapatkan itu. Dia hanya menyatakan penyidik masih terus mendalami kasus ini. “Kalau sudah lengkap, nanti kami rilis," ucap Asep.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo membantah ihwal adanya penyelewengan dalam penyaluran CSR tersebut. Dia mengatakan PSBI telah sesuai dengan tata kelola dan ketentuan. Salah satunya, menurut dia, yayasan penerima PSBI harus sah secara hukum dan memiliki program kerja yang konkret. “Juga ada pengecekan dan laporan pertanggungjawabannya oleh yayasan itu,” kata Perry dalam pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur BI, kemarin.
Perry menjelaskan, pemberian CSR dilakukan melalui satuan kerja di kantor pusat ataupun kantor-kantor perwakilan. Sedangkan Dewan Gubernur tiap tahun hanya membuat besaran alokasinya melalui tiga bidang program. "Pertama adalah bidang pendidikan melalui beasiswa. Kedua adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat, UMKM, ataupun yang lain-lain. Ketiga adalah untuk ibadah sosial," ujarnya.
Besaran alokasi tersebut, Perry melanjutkan, diajukan oleh satuan kerja, lalu diputuskan dalam rapat dewan gubernur setiap tahun. Sementara itu, pelaksananya merupakan tanggung jawab satuan kerja. Meski demikian, Perry menyatakan pihaknya menghormati proses hukum yang sedang dijalankan KPK. BI, kata dia, akan mendukung upaya penyidikan dan bersikap kooperatif. “Ini juga sudah kami tunjukkan selama ini, baik dari pemberian keterangan oleh para pejabat kami maupun penyampaian dokumen-dokumen yang telah disampaikan,” kata Perry.
Tempo juga berupaya meminta konfirmasi perihal kasus ini kepada tiga pemimpin Komisi XI DPR periode 2019-2024, yaitu Kahar Muzakir, Dolfie Othniel Frederic Palit, dan Amir Uskara. Namun ketiganya belum merespons pesan dan panggilan telepon Tempo hingga berita ini ditulis.
Empat Kasus Korupsi di Bank IndonesiaKorupsi dana corporate social responsibility (CSR) yang sedang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah yang pertama kali mendera Bank Indonesia. Berdasarkan penelusuran Tempo, sebelumnya ada empat kasus korupsi di bank sentral tersebut. Berikut ini kasusnya. 1. Kasus Suap Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI periode 1999-2004 terbongkar setelah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Agus Condro Prayitno, buka suara. Agus saat itu mengaku menerima 10 lembar cek pelawat dengan total nilai Rp 500 juta untuk memilih Miranda S. Goeltom. Sebanyak 39 anggota DPR periode 1999-2004 pun menjadi tersangka dalam kasus ini. Agus akhirnya mendapat vonis 1 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Miranda mendekam di penjara selama 3 tahun dan harus membayar denda Rp 100 juta. 2. Kasus Bank Century Bekas Deputi Gubernur Senior BI Budi Mulya menjadi tersangka dalam kasus korupsi penyelamatan Bank Century pada 2008. Perkara ini menyangkut pemberian dana talangan (bailout) sebesar Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century. Pada 2015, Budi mendapat vonis 15 tahun penjara di tingkat kasasi. Robert Tantular, pemegang saham terbesar Bank Century, juga sempat mendapat vonis 21 tahun penjara. Namun dia hanya menjalani 10 tahun hukuman karena mendapat fasilitas bebas bersyarat pada Juli 2018. 3. Kasus Aliran Dana BI ke DPR Kasus ini berawal dari dana sebesar Rp 100 miliar yang dikumpulkan melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) pada 2003. Duit yang seharusnya digunakan untuk pendidikan itu diselewengkan. Salah satu penyelewengan itu untuk menyuap anggota DPR. Penyuapan ini di antaranya guna memuluskan revisi Undang-Undang Bank Indonesia dan menyelesaikan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Perkara ini menyeret dua petinggi BI. Mereka adalah eks Gubernur BI, Burhanudin Abdullah; dan eks Deputi Gubernur BI sekaligus besan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan. Keduanya mendapat vonis 3 tahun penjara di tingkat kasasi. 4. Korupsi Cessie Bank Bali Kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali yang merugikan negara sebesar Rp 546 miliar menyeret mantan Gubernur BI, Syahril Sabirin, ke dalam penjara. Awalnya Syahril mendapat vonis 3 tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pernah menerima permohonan banding Syahril dan putusan itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Namun Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 2008 dan berujung pada vonis 4 tahun penjara bagi Syahril. Selain membelit Syahril, kasus ini menjerat pemilik PT Era Giat Prima, Djoko S. Tjandra. Djoko pernah mendapat vonis bebas, tapi MA memutuskan menghukumnya 2 tahun penjara di tingkat PK pada 2009. Pernah kabur selama 11 tahun, Djoko S. Tjandra tertangkap pada Juli 2020. |
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan praktik korupsi dana CSR seperti ini merupakan rahasia umum. Dia menilai pengalokasian dana CSR untuk para anggota Dewan bisa saja berhubungan dengan berbagai agenda antara BI dan DPR. Misalnya, upaya memuluskan anggaran BI agar disetujui oleh Komisi XI DPR. "Bukan cuma anggaran, tapi juga undang-undang yang memperkuat daya tawar Bank Indonesia, OJK, dan ini bisa juga terkait dengan pemilihan komisioner yang membutuhkan restu DPR," ujar Bhima lewat sambungan telepon pada Rabu, 18 Desember 2024.
Bhima menyatakan dana CSR itulah yang kemudian digunakan anggota parlemen untuk mengamankan konstituen di daerah pemilihan masing-masing. "Jadi, kalau kita lihat, memang sudah menjadi rahasia umum bahwa ada simbiosis mutualisme yang menguntungkan secara gelap," tuturnya.
Menurut dia, hubungan gelap seperti itu akhirnya mengakibatkan fungsi checks and balances atau pengawasan dan keseimbangan tak berjalan semestinya. Dia pun mendukung langkah KPK membongkar kongkalikong seperti ini. Apalagi, menurut Bhima, dana CSR merupakan yang paling rentan diselewengkan karena lebih sulit diawasi BPK.
Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito sependapat dengan Bhima. Dia menilai penyelewengan dana CSR bukanlah modus baru dalam korupsi. Lakso menjelaskan, dana CSR tidak tercatat sebagai transaksi komersial suatu entitas sehingga kadang-kadang tidak ada sistem pengawasan seperti di sektor lain yang rawan, misalnya pengadaan barang dan jasa. Apalagi dana CSR BI itu diberikan kepada yayasan.
Menurut Lakso, penggunaan yayasan dan organisasi sosial sebagai sarana untuk mengumpulkan biaya politik bagi politikus memang sering terjadi. "Selain untuk tujuan penyamaran (layering), hal tersebut untuk memudahkan pengalokasian sesuai dengan kepentingan politik karena secara entitas biasanya organisasi sosial," katanya.
Karena itu, dia menilai perlu aturan yang jelas ihwal relasi dan interaksi antara institusi negara, badan usaha milik negara (BUMN), serta lembaga lain dan aktor politik. Tanpa regulasi tersebut dan pengawasan yang solid, Lakso hakulyakin korupsi, termasuk lewat dana CSR, untuk membayar biaya politik terus terjadi.
Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengungkapkan tiga modus korupsi dana CSR. Pertama, pengajuan proyek fiktif. Kedua, anggaran tanggung jawab sosial itu digunakan untuk layering suap. Ketiga, dana CSR tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya. "Misalnya proposalnya A berubah jadi B," tutur Yudi saat dihubungi secara terpisah.
Karena itu, Yudi menilai perlu ada evaluasi sehubungan kasus korupsi CSR BI ini. Menurut dia, ke depan perlu mitigasi agar tindakan rasuah seperti itu tak terulang. Misalnya, membuat prosedur pengajuan proposal, standard operating procedure (SOP), dan sebagainya. "Jangan sampai, sekali lagi, dana CSR menjadi praktik terselubung untuk menyalurkan uang suap hasil korupsi," kata Yudi.
Rekan Yudi sesama mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, juga menilai praktik bancakan dana CSR oleh politikus bukanlah hal baru. Praktik tersebut, menurut dia, juga terjadi di berbagai BUMN. “Teman-teman anggota DPR yang pesan mata anggaran itu lewat CSR," ujarnya.
Berdasarkan pengalamannya menelusuri kasus sejenis, Praswad menyatakan modusnya adalah organisasi masyarakat atau organisasi sosial yang terafiliasi dengan anggota DPR akan mengajukan proposal. Kemudian, organisasi itu juga akan mengajukan proposal ke lembaga-lembaga negara yang memiliki anggaran CSR. Nantinya si anggota DPR akan meminta lembaga itu menyetujui permohonan dana CSR tersebut. "Itu sudah ada kesepakatan sebelumnya," kata Praswad. ●
Sultan Abdurrahman dan Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo