Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darurat Perangai Ilmiah Kala Pandemi

Menciptakan budaya ilmiah dengan penguatan perangai ilmiah oleh para aktor menjadi keniscayaan untuk mewujudkan kebijakan berbasis bukti. Pemerintah wajib bersikap rendah hati dan mau merangkul semua kalangan.

24 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi Covid-19 menggunakan tes swab antigen dan PCR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah 1,5 tahun Indonesia bergelut melawan Covid-19. Tanda-tanda pandemi berakhir belum menampakkan ‘hilal’-nya. Situasi kian runyam ketika sirkulasi hoaks menjadi konsumsi masyarakat, dan menimbulkan keterbelahan. Sejumlah tokoh publik ikut mempertontonkan opini yang membuat masyarakat bingung. Lemahnya perangai ilmiah disinyalir menjadi musabab kegelisahan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perangai ilmiah, atau scientific temper adalah perangai (watak) guna menggali kebenaran dan pengetahuan baru yang melibatkan sikap keterbukaan seseorang untuk berani mengubah pendapat lamanya berdasarkan bukti baru, berpijak pada fakta yang dapat teramati, dan memiliki kedisiplinan menggunakan nalar. Hal ini juga berarti menolak gagasan tanpa pembuktian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sederhananya, perangai ilmiah merupakan sikap yang berlandaskan pengetahuan atau sains. Konsep ini dicetuskan oleh Jawaharlal Nehru pada 1946 dan menjadi fundamental duty dalam konstitusi negaranya, India. Konsep itu pula yang membuat India banyak melahirkan ilmuwan selama sekian dekade. Patut disayangkan, perangai ilmiah mendadak luntur ketika Covid-19 menyerang negara tersebut. Bahkan India menjadi negara dengan tingkat infeksi terburuk dan melahirkan varian Delta yang kini mengancam berbagai negara di dunia.

Indonesia kini mengalami kondisi serupa. Bedanya, negara ini belum memiliki perangai ilmiah sebagai pedoman hidup layaknya India atau negara-negara barat yang lebih maju peradabannya. Ekonom dari Universitas Padjajaran, Bandung, Prof. Arief Anshory Yusuf menyebutkan bahwa perangai ilmiah belum menjadi budaya yang melekat bagi orang Indonesia. “Perangai ilmiah harus dibangun oleh semua pemangku kepentingan, dengan ilmuwan sebagai guardian-nya. Tapi perangai ilmiah bukan monopoli ilmuwan saja, semua masyarakat juga harus menguasai,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 22 Juli 2021.

Sayangnya lemahnya perangai ilmiah, ucap Arief, juga masih terlihat di kalangan akademisi. Indikatornya tampak pada minimnya publikasi jurnal hasil penelitian, yang menandakan ekosistem riset kita juga masih di bawah harapan. Padahal, jurnal menjadi tonggak terciptanya sebuah produk ilmu pengetahuan yang akan menjadi pijakan pada penelitian selanjutnya. Melalui serangkaian jurnal yang diterbitkan dari berbagai penelitian menghasilkan penyempurnaan hingga menjadi kajian sains itu sendiri. Minimnya perangai ilmiah ini berakibat pada absennya budaya ilmiah dalam membuat kebijakan. “Harusnya dalam pembuatan kebijakan, semua ilmuwan harus ditanya. Minimal ada scientific review dari literatur dan jurnal,” imbuh Arief.

Kendati demikian, bukan berarti perangai ilmiah tidak dikembangkan selama pandemi. Dia menilai pemerintah memberi porsi cukup baik pada data-data berbasis sains. Asosiasi ilmuwan mendapat peran sebagai pemberi edukasi kepada masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi satu dari aktor-aktor penerapan perangai ilmiah.

“IDI kerap dipanggil untuk jadi narasumber. Itu sudah cukup bagus. Karena kalau dalam keilmuan, harus ilmiah yang menentukan. Kalau bicara asosiasi, biasanya merupakan komunitas epistemik berdasarkan disiplin ilmu, dan IDI sebagai asosiasi sudah berperan,” ujar Arief.

Bagaimanapun, dia menyoroti perangai ilmiah yang belum terimplementasi total, baik pada pemerintah maupun masyarakat. Untuk diketahui, sebuah ilmu hasil terapan sains yang menjadi landasan perangai ilmiah, sejatinya mengikuti kaidah baku yang telah ditetapkan oleh otoritas sains dunia. Contoh, kelayakan obat atau vaksin menjalani beberapa tahapan, salah satunya uji klinis. Ironis, pada sejumlah kasus, tahapan ini dieliminasi karena politik kepentingan. Alih-alih berpegang pada uji klinis, justru mengandalkan testimoni sebagai legitimasi pembenaran.

“Ini sebenarnya juga masalah political will atau visi penguasa. Political economy menjadi salah satu hasilnya, terlihat dari misalnya, anggaran riset yang jumlahnya relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran lainnya. Inilah yang menurut saya yang membuat pertumbuhan kita stagnan di 5 persen. Negara maju pertumbuhannya bergantung pada produktivitas, yang akarnya ada pada riset,” ucap Arief.

Akibatnya, muncullah inkonsistensi yang justru membuat masyarakat bingung. Ditambah pula dengan mencuatnya tokoh publik yang bersikap kontra terhadap fakta bahaya Covid-19. Misalnya Vokalis grup Superman Is Dead, Jerinx, dokter Lois yang tidak percaya keberadaan virus mematikan ini, benturan keimanan terhadap pembatasan beribadah, kepercayaan pada paranormal dan anggapan mistis terkait cara melenyapkan pagebluk, hingga teori konspirasi tentang vaksin sebagai agenda tersembunyi global, menambah daftar penyebab terbelahnya masyarakat. Padahal perangai ilmiah yang mendasari terbentuknya ekosistem pengetahuan yang kuatlah yang akan menghasilkan bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan publik yang tepat guna.

Dengan berbagai opini tersebut, bagaimana cara mengedukasi masyarakat agar tetap percaya pada kaidah sains? Apakah ada cara mengoreksi kondisi runyam ini, yang dapat disebut sebagai darurat perangai ilmiah?

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi satu dari aktor-aktor penerapan perangai ilmiah.

Saatnya Pemerintah Rendah Hati

Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia, Sudirman Said, mengutarakan pendapatnya. Menurut dia, perangai ilmiah memiliki pengaruh penting pada cepat atau lambatnya penyelesaian pandemi. Mengedukasi masyarakat dapat dilakukan jika pemerintah menerapkan kebijakan secara konsisten.

“Kebijakan disusun berdasarkan sains, data, pengetahuan. Maka, penerapannya harus konsisten, dalam arti semua pihak mengikuti dan tidak berubah-ubah supaya masyarakat punya kepercayaan. Semakin konsisten suatu kebijakan, maka akan dicerna baik-baik oleh masyarakat. Pemerintah harus memberikan  kebijakan yang konsisten secara berulang sehingga masyarakat semakin paham. Konsistensi, keserentakan, dan keseragaman merupakan bagian dari sikap ilmiah,” ujar Sudirman.

Mantan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Periode 2014-2016 ini juga memberikan rekomendasi agar Indonesia bisa segera keluar dari krisis pandemi, lalu kembali melanjutkan pembangunan. “Tapi yang perlu diperiksa ke dalam adalah, apakah instrumen pengelola kebijakan, orang-orang yang mengelola, sumber informasi yang dipakai untuk menyusun kebijakan sudah konsisten. Kesamaan orang, institusi, sumber informasi, dan pola, akan memberi kita proses belajar yang baik. Sebaliknya, jika berubah-ubah, maka kita cenderung akan terus mencari hal baru,” ungkap Sudirman.

Sudirman menekankan pentingnya menghidupkan atau menguatkan sisi luhur kepemimpinan, yaitu ungkapan-ungkapan yang bernada kerendah hatian, bernada merangkul, membuka diri, menyampaikan informasi secara jujur, karena inilah yang akan membuat masyarakat respek.

Membuka diri berarti mau bekerja sama dengan berbagai kalangan, termasuk oposan yang berseberangan. Saat ini, pelibatan aktor non-negara terbilang masih sangat minim dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang berbasis pengetahuan yang justru sangat dibutuhkan masyarakat dalam situasi pelik seperti saat ini. “Padahal kebijakan yang baik harus melibatkan tiga pilar: pemerintah, komoditas ekonomi, dan masyarakat sipil, termasuk kelompok profesi dan akademisi,” tambahnya.

Sudirman menceritakan keterlibatannya di awal pandemi termasuk pertemuan-pertemuan yang dilakukan dengan BNPB. Saat itu pelibatan banyak unsur sangat terasa, bahkan dalam metamorfosis satgas sekarang juga ada wakil-wakil dari masyarakat, sebagai proses menjangkau berbagai kalangan oleh otoritas. Memang tantangannya ada di awal pandemi dulu muncul, suasana demokrasi sedang mengalami tantangan. Kebebasan berbicara mendapat tekanan, dan pendapat kampus ataupun para ahli kurang didengar, serta bully di media sosial sedang tinggi. Akibatnya, ketika kebutuhan muncul untuk mendengarkan pendapat ahli yang kritis sekalipun, suasana tersebut belum cukup terbangun.

Untuk itu Sudirman menilai ada dua hal yang perlu dilakukan. Pemerintah sebagai pemimpin orkestra kebijakan perlu menjangkau para ahli yang bisa memberikan pandangan. Sementara di sisi lain, masyarakat sipil juga sudah waktunya membuka komunikasi dengan para pengambil kebijakan agar sinergi itu dapat terjadi. “Sudah waktunya kita libur politik terlebih dahulu. Sadari, musuh kita bersama itu adalah Covid-19. Jangan ada lagi kebenaran-kebenaran yang terus didiskon,” ujar Sudirman.

Berfokus pada gerakan positif seperti itu, kata Sudirman, juga dapat memupuk perangai ilmiah dalam diri orang Indonesia. Justru inilah saat paling tepat bagi pemerintah bangkit dan memimpin dalam keterpaduan sehingga dapat keluar dari pandemi ini. Perspektif teknokratik dalam bentuk kebijakan pemerintah perlu dibarengi dengan pelibatan aktor pengetahuan secara institusional menjadi salah satu kunci. “Kalau ini bisa diorkestrakan oleh para pemimpin, potensi kita sangat luar biasa. Dengan potensi yang ada, tinggal suasana ini mesti dibangun oleh sikap kenegarawanan, dan kita semua dalam kesadaran yang sama, bahwa musuh kita satu, yakni Covid-19,” kata Sudirman.

Tim Info Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus