Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

FISIP Universitas Brawijaya Minta Bamsoet Jadi Dosen

Bamsoet dinilai mampu menjembatani sekaligus memberikan pengetahuan kepada mahasiswa.

9 Agustus 2022 | 18.12 WIB

FISIP Universitas Brawijaya Minta Bamsoet Jadi Dosen
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO NASIONAL – Jajaran dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya meminta Ketua MPR Bambang Soesatyo menjadi dosen. Permintaan tersebut disampaikan saat mendatangi langsung ke Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mereka memandang Bamsoet mampu menjembatani sekaligus memberikan pengetahuan kepada mahasiswa, antara keilmuan sosial dan politik dari sisi teori, dengan realitanya di lapangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sebuah kehormatan diundang bergabung dalam keluarga besar Universitas Brawijaya. Mempersiapkan lahirnya para ilmuan sosial dan politik yang tidak hanya kuat secara teori, melainkan juga kuat secara praktik. Tidak hanya memiliki pengetahuan tentang ilmu sosial dan politik, melainkan juga memiliki pengetahuan tentang wawasan kebangsaan," ujar Bamsoet.

Jajaran Fisip Universitas Brawijaya yang hadir antara lain, Dekan Fisip Sholih Muadi, Wakil Dekan III Bambang Dwi Prasetyo, Ketua Badan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (BP2M) Moch. Fauzie Said, Staf Ahli Dekan Akhmad Muwafik, Ketua Bidang Kerjasama BP2M Novy Setia Yunas, dan Ketua Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat BP2M Irawan Saputra.

Sebelumnya, Bamsoet diminta menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, mengajar materi kuliah seputar ekonomi dan kewirausahaan. Saat ini ia dipercaya menjadi dosen tetap dengan perjanjian di kampus FISIP Universitas Terbuka, mengajar dua mata kuliah.

Bamsoet mengapresiasi dukungan jajaran FISIP Universitas Brawijaya terkait pentingnya Indonesia memiliki Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penunjuk arah pembangunan. Dukungan ini sejalan dengan aspirasi dari berbagai kalangan intelektual lainnya seperti Forum Rektor Indonesia hingga Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta sejumlah organisasi kemasyarakatan, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu.

"MPR RI dalam dua kali masa jabatan, periode 2009-2014 dan periode 2014-2019, telah membuat dua Keputusan MPR RI yang pada prinsipnya merekomendasikan penyusunan PPHN. MPR RI periode 2019-2024 telah menyelesaikan rekomendasi tersebut dengan menyelesaikan rancangan PPHN. Sekaligus memiliki terobosan hukum agar PPHN bisa dihadirkan melalui Konvensi Ketatanegaraan, yang akan dibahas lebih lanjut oleh Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk dalam Rapat Paripurna MPR RI pada awal September 2022," tutur Bamsoet.

Saat Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola pembangunan berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5-10 tahun. Dampak negatifnya menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya.

"Untuk menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan berbagai tantangan zaman ke depan, Indonesia perlu memiliki rencana pembangunan jangka panjang, sebagaimana negara-negara besar dunia lainnya. Tiongkok, misalnya, pada periode tahun 1970an/1980an telah memiliki rencana pembangunan hingga tahun 2050, yakni pada saat usia kemerdekaan Tiongkok memasuki usia ke-100 tahun. Sasaran pembangunannya terdiri dari tiga tahap, Tiongkok yang sejahtera, Tiongkok yang maju, dan Tiongkok yang modern. Tiga tahap tersebut memakan waktu 100 tahun dari mulai kemerdekaan Tiongkok pada 1 Oktober 1949 hingga perayaan ulang tahun ke-100 pada 1 Oktober 2050," kata Bamsoet.

Selain membahas PPHN, Bamsoet mengajak kalangan pendidikan tinggi untuk mengkaji urgensi menghadirkan kembali utusan golongan dalam keanggotan MPR RI. Sebagaimana telah diaspirasikan oleh berbagai kalangan seperti PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu. Berbagai kalangan menilai, kehadiran utusan golongan bisa menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural.

"Kehadiran utusan golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir. Termasuk golongan yang karena aturan undang-undang, hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan. Karenanya, wacana menghadirkan kembali utusan golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh," kata Bamsoet. (*)

 



Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus