Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta – Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) saat ini dalam proses mengonsolidasi sumber daya baik dari segi manusia, infrastruktur, hingga anggaran riset untuk memajukan pengembangan inovasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia. Ini merupakan langkah besar yang harus dilakukan oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Pasalnya, ini merupakan amanat langsung dari Presiden Joko Widodo guna memecahkan masalah soal lambannya pengembangan riset, dan pembentukan pondasi ekonomi baru dari nilai tambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami targetkan untuk bisa melakukan konsolidasi sumber daya yang dimiliki pemerintah secepat-cepatnya untuk mendorong inovasi di semua lini. Ketika jadi besar diharapkan jadi pengungkit ekonomi riil,” kata dia saat diskusi bersama Tempo, Kamis 27 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Handoko menuturkan sebelum BRIN dibentuk, sangat dirasakan bahwa sumber daya untuk mendukung riset, teknologi dan inovasi, tersebar di penjuru Indonesia. Dengan alokasi dana penelitian dan pengembangan tersebar, maka akan sulit untuk merealisasikan Program-program Riset Inovasi Nasional (PRIN).
Lebih lanjut Handoko menyampaikan, jika memiliki ekosistem riset yang kuat dan menghasilkan inovasi yang mampu memberikan peningkatan kompetensi dari beberapa produk inovasi, maka BRIN akan menjadi fundamental ekonomi Indonesia dengan fokus dan berbasis pada sumber daya lokal.
Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, Handoko diberikan tanggung jawab paling lambat dalam dua tahun untuk melebur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menjadi satu di bawah naungan BRIN.
Kendati demikian, kata dia, proses konsolidasi tidak akan berjalan dengan mulus. Hal itu berkaca pada pengalaman sebelumnya ketika memimpin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI. Menurutnya, dalam menjalankan tahapan ini pasti akan terjadi dinamika dan proses ini memerlukan banyak konsolidasi. Sebab, banyak dari kawan-kawan peneliti yang akan bernaung di bawah BRIN belum punya pembanding. “Itu harga yang harus dibayar, dan menurut saya tidak masalah, karena itu bagian tanggung jawab kita,” kata Handoko.
Dia menerangkan ada berbagai hal telah dilakukan dalam hal konsolidasi ini, mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur dan anggaran. Handoko juga mengatakan saat ini pihaknya masih terus melakukan diskusi teknis terkait konsolidasi penelitian dan pengembangan di tingkat kementerian, karena ada berbagai aspek yang harus dibahas. “Saya pastikan akan masuk ke detail itu agar masalah terselesaikan,” ucapnya.
Hal sama pun berlaku untuk pengelolaan anggaran penelitian dan pengembangan di Kementerian. Sehingga Handoko berharap konsolidasi ini akan berjalan lancar dan segera rampung. Sehingga pada awal tahun 2022, semua dapat berjalan normal kembali. “Karena kita ingin semua staf akan full pada bulan ini bisa selesai,” kata dia.
Berdasarkan mandat dari Perpres Nomor 33 Tahun 2021, Tri Handoko mengungkapkan pemerintah Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa membentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), namun bukan menjadi suatu keharusan. Ia menjelaskan fungsi riset dan inovasi di daerah bisa ditempatkan pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) atau Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) yang sudah ada.
“Ini memang tidak wajib, karena akan vertikal di pemerintah daerah, tapi dalam melakukan aktifivtas riset mereka akan komunikasi dengan kami,” tuturnya.
Pria lulusan Universitas Hiroshima, Jepang ini mengatakan, dengan adanya fungsi BRIDA di daerah ini diharapkan dapat menyampaikan masalah atau solusi terkait pengembangan riset. Karena dengan begitu, BRIN sebagai lembaga riset yang terpusat dapat segera mendapatkan informasi dan mencarikan pemecahan masalah. Tapi tak menutup kemungkinan BRIDA dapat menjalankan riset. “BRIDA itu boleh melakukan riset tapi tidak wajib, tidak harus peneliti di situ bisa siapa,” ujarnya.
Selanjutnya, Handoko pun mengungkapkan hambatan utama pengembangan riset di Indonesia. Hambatan pertama, kata dia, adalah riset di Indonesia didominasi oleh pemerintah, yakni mencapai 80 persen. Padahal di negara maju sebaliknya, swastanya malah mendominasi riset karena sadar bahwa ini memberikan nilai tambah yang sangat besar.
Kemudian yang kedua, kata dia, masalah fundamental riset Indonesia adalah critical mass yang masih rendah, terkait dengan sumber daya manusia, infrastruktur, maupun anggaran. "Maksudnya critical mass itu kalau ditotal banyak, tapi negara kita besar, tersebar di mana-mana, akhirnya kapasitas dan kompetensi untuk berkompetisi dari setiap grup itu jadi turun jauh," ujarnya.
Dia melihat kontribusi dari sisi swasta terhadap riset di Indonesia masih rendah. Namun, kata dia, bukan berarti swasta salah. Hal itu karena dia menilai sektor riset merupakan sektor yang membutuhkan biaya tinggi atau high cost dan memiliki risiko tinggi atau high risk.
"Karena hasilnya belum tentu, riset hasilnya bisa gagal, dan sebagian besar riset pasti gagal," kata dia.
Untuk hal-hal yang memerlukan biaya dan risiko tinggi seperti itu, kata dia, pemerintah harus masuk. BRIN diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. "Jadi itu sebabnya dibentuk BRIN, karena kami diminta mengkonsolidasi sumber daya iptek dan sumber daya riset yang dimiliki pemerintah," kata dia.
Dengan sistem seperti itu, kata Handoko, pihak swasta dapat memanfaatkan sumber daya dan insfrastruktur yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga risiko yang akan ditanggung ketika terjadi kegagalan bisa ditekan seminimal mungkin. Diharapkan swasta semakin yakin dalam mengembangkan produk dengan muatan riset yang tinggi. “Secara alami, swasta akan menginvestai produk yang kaya akan riset,” ungkap dia.
Dia pun mendorong peran dan keterlibatan swasta dan juga komunitas dalam mendanai serta melakukan riset dan inovasi penelitian dan pengembangan sehingga ekosistem penelitian dan pengembangan di Indonesia semakin terbangun.
Handoko berharap BRIN dapat menjadi fasilitator dan enabler yang bertanggung jawab melakukan konsolidasi dengan berbagai penelitian dan pengembangan. “Sehingga dia bawa problem dan dikembangkan, dengan cara itu swasta semakin ramai masuk ke product develop dan bisa berkembang,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, riset dan inovasi diharapkan bisa berdampak positif pada perekonomian. Dengan demikian, riset dan inovasi bisa memberikan dampak kepada masyarakat dan memicu tumbuhnya investasi baru. “Bagaimana mempercepatnya? Disitu kita harus melibatkan talenta dari berbagai tempat termasuk orang asing, kalau perlu orang asing kita datangkan tidak peduli dari manapaun selama masih dikontrol,” kata Handoko.
BRIN bertanggung jawab untuk mengonsolidasikan berbagai penelitan dan pengembangan yang dilakukan pemerintah menjadi terpusat. Dengan begitu, ia ingin membangun platform-platform riset bertaraf global. Jadi dapat menarik talenta-talenta dari luar untuk datang ke Indonesia untuk melakukan riset di Indonesia. Sehingga secara otomatis peneliti dalam negeri mendapatkan transfer knowledge. “Itu juga salah satu multiplier effect,” tuturnya.
Strategi lain yang akan dilakukan laksana adalah, membangun kerja sama dengan lembaga-lembaga riset internasional. Karena dengan metode ini, kata Handoko, kerap digunakan oleh Negara-negara maju, dan menarik adanya invetasi langsung dalam pengembangan riset. “Kita akomodasi tetapi dalam kontrol kita dan otomatis mereka bawa funding, sehingga kita dapatkan data, instrumen, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Selanjutnya, Handoko berharap BRIN akan menjadi platform penciptaan SDM unggul di setiap bidang keilmuan, dan entrepreneur berbasis inovasi iptek, serta meningkatkan dampak ekonomi langsung dari aktivitas riset, dan menjadikan sektor iptek sebagai tujuan investasi jangka panjang serta penarik devisa.Karena menurutnya, riset juga berkaitan erat dengan proses bisnis.
Dengan membuat sektor iptek menjadi tujuan invetasi, diharapkan jadi roda penggerak roda ekonomi dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Karena platform dan insfrastruktur riset yang dimiliki Indonesia mempunyai karakteristik yang unik, serta punya nilai jual yang tinggi apabila dikelola dengan baik.
Tim Info Tempo