Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
emerintah mengucurkan Bantuan Langsung Tunia Bahan Bakar Minyak (BLT BBM) sebagai pengalihan subsidi BBM sejak 1 September 2022. Dana yang digelontorkan mencapai Rp24,17 Triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BLT BBM ini diberikan dua hari sebelum Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada Sabtu, 3 September 2022. Rinciannya, Pertalite yang sebelumnya Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter. Solar subsidi dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, dan untuk non-subsidi Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden menjelaskan, kenaikan harga BBM merupakan pilihan untuk mengalihkan subsidi BBM agar lebih tepat sasaran, untuk masyarakat yang lebih membutuhkan sesuai peruntukannya. “Mestinya uang pemerintah itu diberikan untuk subsidi bagi masyarakat kurang mampu. Subsidi harus menguntungkan masyarakat kurang mampu,” kata Jokowi.
Kebijakan BLT BBM telah diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani usai rapat bersama Presiden pada Senin, 29 Agustus lalu. Ia menegaskan skema bansos pengalihan subsidi BBM diharapkan dapat membantu masyarakat yang rentan agar daya belinya tetap terjaga. Kementerian Sosial bertugas menyalurkan dan mengawal BLT ini.
Bantalan sosial ini terdiri atas tiga skema. Pertama, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan diberikan kepada kelompok keluarga yang rentan terhadap perubahan harga. Rencananya diberikan kepada 20,65 juta kepala keluarga. Anggaran yang dialokasikan sebesar Rp12,4 triliun. Setiap kepala keluarga akan menerima total Rp600.000 dengan pencairan menjadi empat kali, masing-masing Rp150 ribu.
Skema kedua yakni bantuan subsidi upah (BSU). Akan disalurkan kepada 16 juta pekerja. Syarat penerima adalah pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp3,5 juta per bulan. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp9,6 triliun. Setiap pekerja penerima bantuan akan menerima Rp600 ribu.
Sedangkan skema ketiga adalah subsidi transportasi angkutan umum yang diberikan melalui pemerintah daerah sebagai penyalur. Total anggaran sebesar Rp22,1 triliun, diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Transportasi publik yang termasuk dalam daftar penerima bantuan subsidi transportasi angkutan umum antara lain angkutan umum, ojek, dan nelayan.
Tokoh-tokoh publik.
Alhasil, bantalan sosial yang telah digelontorkan pemerintah sebelum kenaikan harga BBM terjadi mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menyambut baik rencana penyesuaian harga BBM diimbangi dengan jaminan pemerintah untuk mengucurkan bansos, agar ekonomi masyarakat tetap terjaga. Menurut dia, pemerintah memang harus menyesuaikan harga BBM agar terhindar dari krisis dan kebangkrutan negara seperti yang terjadi di Amerika Serikat terpaksa berkali-kali menerapkan aturan ketat terhadap warganya karena likuiditas keuangan terganggu.
Sedangkan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud menuturkan penyesuaian harga BBM diberlakukan demi kemaslahatan dan kebaikan masyarakat. Pasalnya, BBM bersubsidi yang selama ini berlaku tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh golongan yang tidak seharusnya menikmati subsidi. “Ini sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu mengutamakan kemaslahatan rakyat banyak,” katanya.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, jelas diatur bahwa Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni Pertalite merupakan BBM bersubsidi. Namun pada kenyataannya, kendaraan roda empat pribadi justru mencapai 70-80 persen yang menggunakan Pertalite. Jadi, porsi terbanyak pengguna Pertalite bukan sepeda motor atau kendaraan umum yang semestinya mendapatkan BBM bersubsidi.
Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, disebutkan bahwa dari total alokasi kompensasi Pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN, sebesar 86 persen atau Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14 persen atau Rp13,1 triliun dinikmati dunia usaha. Namun, dari nilai yang dinikmati rumah tangga, ternyata sebesar 80 persen dinikmati rumah tangga mampu.
Begitu juga dengan Solar, dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4 triliun, sejumlah 11 persen atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yaitu 89 persen atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha.
Dengan fakta di atas, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai keputusan pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM ke bantuan sosial sudah tepat. Subsidi energi yang selama ini dikucurkan, Agus melanjutkan, semakin membengkak sementara penggunaan subsidi tidak tepat sasaran.
Ia pun tidak mempermasalahkan besaran bansos yang akan diberikan pemerintah, karena pada hakikatnya setiap jenis bantuan pasti memiliki manfaat. “Besaran mau berapa saja tetap bisa kurang, kan tujuan pemerintah memberikan bantuan agar yang miskin tidak bertambah miskin,” ucap Agus yang juga memberi catatan agar Kementerian Sosial memastikan data yang dimiliki sudah diperbarui sehingga penyaluran bansos tepat sasaran.
Ekonom Faisal Basri menuturkan, pengalihan subsidi BBM sudah seharusnya dilakukan. Situasi geopolitik, perang Rusia-Ukraina yang memicu krisis energi dan kelangkaan minyak bumi menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat. Konsumsi BBM Indonesia kira-kira 1,4 juta barel per hari. Sebanyak 700 ribu barel di antaranya adalah dari impor dan dibayar menggunakan mata uang dolar. “Jadi kita beli US$ 18 miliar atau sekitar 267 triliun rupiah,” kata Faisal.
Uang negara yang berasal dari rakyat itu, ujarnya melanjutkan, dihabiskan untuk membeli bahan bakar dan subsidinya justru dinikmati golongan kaya. Akan lebih baik jika anggaran subsidi dipakai untuk pembangunan di sektor lain. “Jangan cengeng dan selalu berpikir harga BBM naik, besok bagaimana cara beli bensin untuk ke kampus. Saya dulu pakai mobil besar lalu harga bensin naik, ya saya jual mobil dan pakai mobil lebih kecil. Tapi sekarang lebih sering pakai transportasi umum. Sudah nyaman kok pakai angkutan umum,” tutur Faisal.
Indonesia sudah semestinya belajar dari negara lain. Misalnya Timor Leste justru lebih bijak mengelola cadangan minyaknya kendati menjadi negara eksportir migas. Harga BBM di negara tersebut, Faisal melanjutkan, cenderung lebih mahal dari Indonesia. “Mereka enggak mau kasih subsidi suka-suka. Mereka sisihkan 30 persen dari pendapatan minyaknya itu dalam bentuk oil fund,” ucapnya.
Dengan penetapan harga minyak yang lebih sesuai dengan harga pasaran, dan tidak sembarangan memberikan subsidi energi, pemerintah Timor Leste mampu memanfaatkan dana yang diperoleh dari penjualan minyak mentah itu untuk kepentingan masyarakat lebih luas. “Dana minyak itu untuk beasiswa, sekolah, bangun infrastruktur, EBT (energi baru dan terbarukan) energi solar, dan sebagainya,” kata Faisal.
Menurut Kepala BIN Budi Gunawan, pengalihan subsidi merupakan keputusan tepat di tengah tekanan ekonomi yang dialami hampir semua negara di dunia. Intelijen akan memastikan pengalihan subsidi ini tepat sasaran dan diterima oleh masyarakat yang kurang mampu.
“Data analisis intelijen ekonomi menunjukkan situasi global masih akan memberikan tekanan ekonomi ke seluruh negara. Pemerintah telah menyiapkan bantalan sosial untuk menolong masyarakat yang membutuhkan. Pengalihan subsidi ini juga akan mendorong proses transisi energi Indonesia menuju energi berkelanjutan yang mandiri,” kata KABIN.
TIM INFO TEMPO