Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA tahun yang lalu pernah saya baca cerita ini: di sebuah dusun di Jawa, pada suatu sore seorang peladang muncul di balai desa dengan menjinjing dua butir kepala manusia yang berlumuran darah: kepala istrinya dan kepala seorang pemuda yang tak dikenal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada lurah yang terkejut dan ngeri si peladang bercerita, dialah yang menyembelih. Ketika ia berjalan pulang dari memeriksa air sawah, ia lihat di balik sebuah semak tubuh istrinya telanjang terbaring di rumput, tertidur lelah dalam pelukan seorang anak muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naik darah, si peladang membacokkan sabitnya ke leher pasangan itu berganti-ganti....
Saya lupa detailnya; saya juga lupa cerita selanjutnya. Tapi tak akan terlalu sukar merekonstruksi kejadian itu dengan imajinasi. Si peladang bukan lelaki pertama yang membunuh pasangannya yang tak setia. Para arkeolog menemukan prasasti dari sekitar 4.000 tahun yang lalu, di mana tertulis Raja Hammurabi dari Babilonia memaklumkan undang-undang yang membenarkan, bahkan mengharuskan, pembunuhan istri yang selingkuh. “Jika istri seorang pria merdeka tertangkap sedang tidur dengan seorang pria lain, keduanya harus diikat dan ditenggelamkan....”
Sejarah berkembang dan berangsur-angsur, atau lebih tepat beringsut-ingsut, codex Hammurabi ditinggalkan manusia. Dengan catatan: tak semuanya. Posisi kaum lelaki yang sering disebut “patriarki” berlanjut. Juga pengertian “keadilan” sebagai pembalasan setimpal.
Prinsip ini pada dasarnya bersifat kalkulatif seperti dagang di pasar: satu mata yang ditusuk dalam konflik harus dibayar dengan satu mata orang yang menusuk.
Lex talionis ini bertahan setelah Hammurabi mati dan dewa yang disembah di Babilonia tak diakui lagi. Gaungnya bahkan tetap terdengar ketika Yahweh memaklumkan hukum Perjanjian Lama.
Baru sekian abad kemudian, “keadilan” berubah.
Di tahun-tahun awal abad Masehi, di sebuah bukit Palestina, Isa Almasih memaklumkan satu asas yang secara radikal berbeda. Keadilan tak bisa dikalkulasi. Ia bukan pembalasan yang simetris. Ia justru menyambut yang a-simetris. Jangan kau balas cungkil mata orang yang mencungkil matamu. Dan jika ada yang menampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu.
Saya bayangkan, di masa pasca-Hammurabi itu, mereka yang mendengar ajaran itu bingung. Bagi mereka (dan tak hanya bagi mereka), pesan revolusioner dari bukit itu absurd. Tapi bukannya tak menggugah. Bersama pengalaman, pelan-pelan orang sadar, bahwa Yesus hendak mengingatkan: selalu ada sisi lain—yang tak terduga-duga—dalam diri orang yang kita benci.
Kesadaran akan sisi lain itu datang dari sesuatu yang lebih kuat ketimbang keadilan: “cinta kasih” kepada sesama.
“Cinta kasih” itu punya daya getarnya sendiri.
Dengan itu kita melihat orang lain—seorang liyan—sebagai keanekaragaman yang tak habis-habisnya. Amarah dan dendam, sebagaimana kemesraan dan kerinduan, hanya momen-momen yang bisa datang dan pergi; benci dan cemburu bisa tak utuh. Kita tak bisa berlebihan dalam menilai.
Tapi apa boleh buat: pembunuhan seperti yang dilakukan si peladang dalam cerita di awal tulisan ini tak bisa hilang. Di sepanjang riwayat manusia, di mana saja.
Dalam The Civilization of the Renaissance in Italy, sejarawan terkenal Jacob Burckhardt mencatat bahwa di masa “pencerahan” Eropa, perempuan Jerman dihukum cambuk dan dikubur hidup-hidup bila ketahuan berzina.
Di masa lain, tempat lain: 1995, di India, Naina Sahni ditembak suaminya dengan revolver ketika si suami melihatnya sedang asyik bicara di telepon dengan seseorang. Naina tewas, jenazahnya dicincang dan dibakar dalam tandoor, oven tanah liat.
Sang suami dihukum seumur hidup dan kejahatannya jadi satu dari ratusan kasus crime of passion yang tiap tahun terjadi di India (apalagi di dunia). Orang, umumnya lelaki—tapi kadang-kadang juga perempuan—bertindak brutal seketika, dalam crime of passion: ledakan emosi yang tak terkendali karena dilecut rasa cemburu.
“Waspadalah, tuanku, akan rasa cemburu. Ia monster bermata hijau…”
O beware, my lord, of jealousy; It is the green-eyed monster....
Itu kata-kata Iago, sosok gelap dalam Othello Shakespeare, sebuah tragedi yang menyentuh ketika Othello, seorang “Moor” yang jadi panglima pasukan Venesia, membunuh istrinya yang setia karena fitnah. Ketika kemudian mengetahui bahwa Desdemona seorang istri yang setia, Othello bunuh diri. Ia tahu ia salah. “Monster bermata hijau” telah membuatnya buta dan kejam. Cinta mati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo