Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Dalam berbagai kasus konflik kepemilikan tanah, terutama yang melibatkan aset negara, sering dipicu karena kesalahpahaman akan fungsi Grondkaart (kartu tanah/kartu ukur tanah/peta tanah). Menurut Prof. Djoko Marihandono, Ahli Sejarah dan Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, pemahaman akan Grondkaart harus dimasukkan dalam konteks jamannya. “Bukan dengan interpretasi Undang-Undang saat ini,” ujarnya dalam diskusi Ngobrol@Tempo dengan tema “Keabsahan Grondkaart di Mata Hukum” pada Kamis, 6 Desember 2018, di Ballroom Singosari, Hotel Borobudur, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun saat ini masih ada beberapa pihak yang salah dalam memahami dan menginterpretasikan Grondkaart tersebut,. Grondkaart adalah produk hukum yang menjadi bagian sistem hukum pada saat itu, dan namun produk hukum tersebut tetap berlaku sampai dengan saat sekarang ini. “Grondkaart merupakan produk hukum masa lalu yang bersifat tetap seperti halnya akta kelahiran atau pernikahan,” ujar Prof. Djoko. Tanah-tanah yang dibestemmingkan (diperuntukkan) untuk kepentingan negara akan diberikan Grondkaart sebagai alas hak kepemilikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Grondkaart, tambah Prof. Djoko, tentunya dilengkapi dengan arsip pendukungnya. “Grondkaart tidak berdiri sendiri dan merupakan bagian dari bundel pertanahan. Namun, untuk operasional Grondkaart dipisahkan dari arsipnya. Grondkaart dipegang operator arsip disimpan di pusat penyimpanan arsip,” katanya. Grondkaart sendiri hanya dimiliki oleh insitusi. “Tidak ada perorangan yang memiliki Grondkaart. Jadi Grondkaart itu bagian dari alas hak bukti kepemilikan mengenai aset yang dimiliki oleh pemerintah,” ujar Prof. Djoko.
Berdasarkan catatan sejarah, seiring dengan ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 yang intinya mengakui Kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah Kolonial Belanda menyerahkan semua aset pemerintah kepada pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat. Salah satu yang diserahkan adalah aset milik eks Kereta Api Belanda yang dikuasai oleh pemerintah (Staatspoorwegen/SS) yang sekarang diwarisi oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Salah satu dasar hukumnya adalah Pengumuman Menteri Perhubungan, Tenaga Kerja, dan Pekerjaan Umum Indonesia No. 2 Tahun 1950 yang menyebutkan mengalihkan semua aset itu kepada Djawatan Kereta Api (DKA) Republik Indonesia. Dengan demikian, terhitung sejak 6 Januari 1950 semua asset SS berada di bawah kewenangan dan kepemilikan DKA RI, yang sekarang dikelola oleh KAI.
Selain SS, pada jaman Belanda juga ada perusahaan kereta swasta. Terkait hal ini keluar Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda. “Hanya perusahaan Kereta Api swasta saja yang dinasionalisasi oleh pemerintah RI, sementara SS tidak ada nasionalisasi,” kata Prof. Djoko. Grondkaart yang dimiliki KAI dari tanah-tanah bekas SS maupun hasil nasionalisasi merupakan salah satu bagian dari bukti kepemilikan yang kuat dan sempurnah. (*)