Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL – Saat ini, penjualan karbon atau carbon trading menjadi peluang bisnis baru bagi pembangunan negara khususnya kesejahteraan daerah. Menjadi salah satu cara menurunkan konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bumi dan mengurangi pemanasan global, carbon trading adalah kegiatan jual beli kredit karbon. Pembeli adalah mereka yang menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan, dan penjual adalah negara-negara yang memiliki hutan sebagai media penyerapan karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Indonesia saat ini telah memiliki peraturan perdagangan karbon yang diatur dalam Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Perdagangan karbon juga diatur dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 21 tahun 2022 tentang tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Memiliki julukan sebagai paru-paru dunia, Beberapa daerah di Indonesia memang memiliki banyak potensi untuk melakukan carbon trading. Salah satu pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Perdagangan Karbon untuk Pembangunan Daerah” yang digelar oleh Tempo Media, di Gedung Tempo Media, pada Kamis, 30 Mei 2024, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur yang mewakili Pj. Gubernur Jawa Timur, Nurkholis mengatakan, Jawa Timur memiliki luas hutan mangrove sebesar 27.221 hektare (ha) atau 48 persen dari hutan mangrove se-Jawa. Namun, pihaknya masih harus banyak belajar untuk mengubah karbon menjadi pendapatan bagi daerah.
“Nanti belajar. Ketika kami bergerak terkait dengan mangrove, kami bergerak terkait dengan rehabilitasi hutan dan sebagainya. Maksudnya jangan hanya ini sedekah oksigen. Mudah-mudahan ke depan kami diajari Pak bagaimana perdagangan karbon ini sehingga ada peluang baru,” ujarnya, saat menjadi pembicara di FGD, Kamis, 30 Mei 2024.
Menurutnya, FGD ini menjadi pemantik yang bisa menggugah pemimpin daerah khususnya di Provinsi Jawa Timur untuk memanfaarkan peluang bisnis baru agar bisa menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat ini di daerahnya, kata Nurkholis, pengelolaan hutan mangrove masih sebatas menjaga kelestarian alam dan meningkatkan ekonomi masyarakat secara langsung. Untuk mengolah hutan mangrove menjadi bagian dari carbon trading, belum bisa terjangkau karena keterbatasan anggaran dan informasi.
“Saya kira ini belum pernah pikirkan karena kita barangkali belum tahu jalannya harus kemana,” kata dia.
Meskipun belum bisa memanfaatkan hutan mangrove sebagai bahan PAD secara langsung lewat carbon trading, Nurkholis mengatakan, hutan mangrove banyak dimanfaatkan warga untuk membuat berbagai produk olahan. Kata dia, beberapa tahun terakhir Jawa Timur mengadakan festival mangrove yang bisa menjadi upaya meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Di Jawa Timur khusus mangrove itu ada festivalnya. Itu daerah lain gak ada. Festival mangrove ini sudah ke-6 lalu mau ke-7. Jadi dari itu kan dampaknya banyak. Tadi tidak hanya mangrove, tapi multiple effectnya banyak,” kata dia.
Selain memberdayakan hutan mangrove untuk menekan konsentrasi carbon dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, pihaknya lewat pengelolaan energi terbarukan berhasil menyabet 6 penghargaan Dewan Energi Nasional. Untuk menekan tingkat carbon juga pihaknya gencar berkampanye penggunaan motor listrik.
“Artinya ketika ngomongin energi terbarukan, itu kami sudah luar biasa komitmennya. Mulai pembuatan perda dan lain sebagainya. Bahkan kami mungkin satu-satunya hari ini sudah dievaluasi lagi perda itu. Artinya Jawa Timur itu sudah semakin terdepan lah terkait itu,” ujar Nurkholis.
Selain Kepala Dinas ESDM Jawa Timur, FGD ini juga dihadiri oleh Wakil Bupati Kabupaten Siak, Husni Meza, yang memaparkan potensi carbon trading yang ada di daerahnya. Ia memaparkan, saat ini, Kabupaten Siak memiliki lahan gambut seluas 52 persen dengan rata-rata kedalaman 5 meter dan terdalam bisa sampai di atas 30 meter.
“Kita punya danau gambut terbesar kedua setelah Brazil. Jadi secara wilayah itu kita punya luasan itu seluas 8.556,09 km persegi. Kita punya 14 kecamatan, ada 220 perusahaan di kita. Kemudian luas gambut kita itu ada 607.143 hektare. Luas hutan kita 415.799 hektare. Sementara luas mangrove kita ada 1186 hektare jadi kita punya potensi yang bisa kita tradingkan,” ujarnya.
Setelah mengalami musibah kebakaran hutan hebat di Riau pada tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Siak mengambil keputusan untuk membuat program SIAK Kabupaten Hijau, sebagai upaya menjaga lingkungan.
“Akhirnya kita deklarasi, kita open floor untuk NGOs, CSO, kemudian mereka-mereka yang konsentrasi di lingkungan, kita sepakati kita buat namanya Siak Kabupaten Hijau,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman kebakaran hebat itu, pihaknya khawatir jika pengolahan gambut dilakukan secara serampangan, potensi gambut menjadi tidak maksimal dan bisa menambah masalah salah satunya kebakaran yang membuat produksi emisi yang meningkat. Bukan hanya masalah bagi Pemda, tetapi juga bagi negara tetangga. “Kami juga menarik negara-negara tetangga untuk concent di kita,” ujarnya.
Ia mengatakan, Universitas Riau saat ini sudah memiliki pusat studi gambut. “Ya bekerja samalah Saya bilang dengan Malaysia, dengan Singapura, ada NUS, ada NGUC gitu kan. Dan yang teknologi Singapura gitu kan. Nah mereka tidak bisa diam saja. Karena akibat pengelola lingkungan di kita, itu berdampak pada mereka,” kata dia.
Karena itu, sebagai upaya menjaga lingkungan secara internal, selain membuat Siak Kabupaten Hijau, Pemkab Siak juga menjadi salah satu founder Lingkar Temu Kabupaten Lestari. Lingkar Temu Kabupaten Lestari sendiri mengakomodir Kabupaten-kabupaten yang konsen terhadap kelesaian lingkungan hidup.
Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan, Gusnan Mulyadi mengatakan, Pemkab Bengkulu Selatan mengeluhkan kinerja pemerintah pusat dalam upayanya menuju carbon trading sehingga banyak pemda yang akhinya tidak tahu apa-apa. Padahal potensi besar berada di daerah.
“Kerja setengah hati pemerintah pusat masalah carbon trading ini sehingga membuat kami di daerah ini buta. Saya dengar kawan-kawan tadi semuanya hampir buta, bahkan yang mewakili Pak Gubernur tadi. Masih buta bagaimana sesungguhnya karbon trading ini,” kata dia.
Selagi menunggu keputusan dan kewenangan pemda untuk melakukan carbon trading demi mendapatkan PAD dan menurunkan tingkat karbon di atmosfer, Gusnan Mengaku pihaknya berkontribusi dalam penurunan emisi karbon dengan upaya pengolahan sawit yang ramah lingkungan.
“Ada teknologi baru yang nanti akan coba dikembangkan di wilayah kita bersama dengan rekan usaha. Itu pengolahannya tanpa limbah cair dan tanpa asap. Tanpa limbah cair limbahnya dalam bentuk padat dan kering tentu ini akan mengurangi emisi yang cukup besar,” kata dia. (*)