Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Opini Wakil Rektor Ukrida: Membangun Ekosistem Riset untuk Inovasi Lintas Disiplin

Wakil Rektor Ukrida menyoroti pentingnya riset lintas disiplin, seperti cognitive dan biomedical science, dengan ekosistem bebas yang mendorong inovasi, mengurangi bias, dan menghidupkan rasa ingin tahu alami.

14 Desember 2024 | 11.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Biomedical dan cognitive science adalah bukti nyata bahwa terobosan ilmiah terjadi ketika keilmuan bebas berkembang lintas disiplin. Biomedical Science tidak hanya tentang ilmu biologi dan kedokteran, tetapi juga memadukan berbagai disiplin ilmu seperti komputasi dan matematika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu pula cognitive science yang memadukan psikologi, komputer, kedokteran, filsafat dan lainnya. Bila dibatasi pada sudut pandang tertentu saja, manusia mudah mengalami fenomena "inattentional blindness" seperti yang bisa dilihat dalam cuplikan video penelitian Selective Attention Test di kanal YouTube.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena ini menyoroti perhatian manusia yang terbatas dan terkadang dapat mengalami “kebutaan” saat terfokus pada objek-objek tertentu. Ini menunjukkan bahwa pengalaman dan pemahaman seseorang bisa sangat berbeda ketika memperhatikan berbagai aspek.

Ekosistem penelitian yang terbuka memfasilitasi peneliti diaspora Indonesia untuk menemukan banyak hal baru. Contoh, Prof. Dr. Vivi Kasim dengan penelitian Cancer Stem Cell-nya di Chongqing University. Vivi adalah pakar ilmu biomedis (biomedical science), yang pada Oktober lalu berkunjung ke Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida). Ia menyampaikan Indonesia sebenarnya memiliki alat-alat canggih, namun hanya memerlukan ide dan sumber daya manusia untuk mengembangkan penelitian yang diperlukan.

Profesor diaspora lainnya, Stella Christie, ilmuwan cognitive science yang meneliti cara kerja pikiran manusia, menjadi Ketua Riset, Laboratorium Otak, dan Kecerdasan di Tsinghua University, China, dan kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Memahami Pikiran Manusia dengan Cognitive Science

Pengembangan ilmu terutama bermanfaat untuk mengembangkan manusia. Misalnya, penelitian selective attention dan attentional bias menekankan mudahnya sesuatu luput dari perhatian, mengingatkan pentingnya manusia untuk selalu rendah hati dan terbuka terhadap beragam persepsi. Di tingkat yang lebih luas, dampaknya bisa mencakup perang, pemilihan pemimpin, maupun keputusan-keputusan yang berdampak pada keberlangsungan hidup di bumi seperti dalam perubahan iklim saat ini.

Banyak hal terjadi dalam pikiran manusia yang selama ini tidak manusia sadari. Selain fenomena selective attention tadi, salah satu yang lainnya ialah cara manusia mengenali wajah. Tirta Susilo, cognitive scientist di Victoria University, Wellington, meneliti kemampuan otak untuk memproses fitur wajah. Eksperimen dengan gambar wajah dengan senyum yang terbalik tetap terlihat normal oleh otak, walau berbeda dari pola biasa. Ini karena otak manusia punya cara-cara khusus untuk memproses gambar wajah. Wajah manusia begitu berpengaruh dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Tirta bahkan dapat memprediksi pemenang pemilihan perwakilan daerah Australia dengan formula pengukuran wajah. Penelitian persepsi wajah ini mengingatkan manusia untuk tidak berhenti di permukaan saja. Berdasarkan hal itu, untuk meningkatkan mutu pemilihan umum dan kepala daerah, mungkin ke depan baliho-baliho kampanye lebih baik menampilkan program-program yang dicanangkan daripada foto-foto wajah yang secara nirsadar mempengaruhi otak manusia.

Selain itu, perkembangan kecerdasan buatan (AI) juga berkaitan erat dengan cognitive science. Manusia tidak hanya berpikir dan mempelajari cara berpikir, tetapi juga dapat menciptakan dan melatih mesin untuk “berpikir”. Mesin tersebut kemudian digunakan untuk memahami proses pikir manusia secara lebih mendalam.

Pada waktu yang bersamaan, peneliti seperti Iris van Rooij dari Donders Institute for Brain, Cognition and Behavior, Radboud University di Belanda juga menekankan adanya keterbatasan AI untuk memahami kompleksitas pikiran manusia dan kecerdasannya.

Dalam penelitiannya, Prof Stella Christie berpendapat bahwa kecerdasan manusia terletak pada kemampuan berpikir secara relasional. Aspek relasional ini juga yang perlu diperhatikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seperti halnya cognitive science berkembang melalui kolaborasi lintas disiplin keilmuan.

Menuju Ekosistem Riset yang Merdeka

Saat mengamati diaspora, banyak ilmuwan sukses dari Indonesia yang menjadi penemu di mancanegara, seperti yang tergabung dalam Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) yang pernah bekerja sama dengan Ukrida untuk mengadakan webinar Global Mental Health.

Selama ini ilmuwan merasa lebih bebas meneliti di luar negeri. Pada kondisi dunia masa kini yang VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan semakin BANI (Brittle, Anxious, Non-Linear, Incomprehensible), pendekatan keilmuan yang cenderung dipaksakan linier dan bersekat-sekat justru membatasi inovasi lintas disiplin di Indonesia. Padahal, latar belakang ilmu lintas disiplin penting untuk memperkaya hasil riset. Contoh, Tirta Susilo adalah sarjana teknik dan Bachelor of Science yang juga meraih gelar PhD di bidang psikologi. Pencapaian ini mencerminkan integrasi keilmuan lintas disiplin. Latar belakang berbagai disiplin ilmu membawa sudut pandang baru dan lebih luas, sehingga dapat mengurangi selective attention bias.

Selain itu, ekosistem pendidikan Indonesia cenderung terlilit birokrasi yang menekankan nilai dan ranking. Jika ditekankan sebagai kewajiban untuk melengkapi Beban Kerja Dosen (BKD) dan Indikator Kinerja Utama (IKU), maka penelitian cenderung menjadi beban. Hal ini akan mengurangi peran penelitian sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kualitas manusia. Manusia menjadi mesin yang menghasilkan kecerdasan semu demi prasyarat akreditasi atau kenaikan jabatan, dan bukan untuk menemukan hal baru yang memperkaya keilmuan secara otentik.

Penelitian menunjukkan bahwa external reward dapat mematikan motivasi internal. Bayi belajar bicara tanpa disuruh, bukan untuk mengejar nilai atau meraih prestasi, melainkan karena berinteraksi dengan orang-orang yang mengajaknya bicara. Teramat disayangkan bahwa proses pendidikan terkadang malah mematikan rasa ingin tahu alamiah, memunculkan keengganan dan ketergantungan pada sanksi dan insentif.

Saat ini, penting untuk membangkitkan kembali rasa ingin tahu civitas akademika yang tertimbun oleh berbagai tuntutan administratif. Sistem pencatatan sebaiknya tidak memusatkan pada nilai dan rangking, sehingga tidak mengalihkan fokus (inattentional blindness) dari tujuan pembelajaran yang sesungguhnya. Apresiasi yang diperlukan yaitu dalam bentuk dukungan dan relasi kerjasama yang menumbuhkembangkan rasa ingin tahu yang sehat dan upaya sumbangsih nyata.

Manusia perlu belajar dari cognitive science tentang pentingnya ruang untuk bebas bereksplorasi, seperti bayi yang dengan kemauan sendiri ingin berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya untuk belajar berjalan, berbahasa, dan berbudaya. Manusia secara naluriah memiliki dorongan mencari tahu, memahami dunia di sekitarnya dan mengembangkan diri, dalam proses menjalin relasi yang menciptakan makna. (*)



dr. Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, Sp.KJ | Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, Kerjasama dan Kewirausahaan dan dosen psikiatri Universitas Kristen Krida Wacana (www.ukrida.ac.id), edukator Personality and Human Relations (www.prh-Indonesia.org)



Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus