Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Punya Potensi Besar, Penelitian Sawit Pantas Dilirik

Minat meneliti kelapa sawit ditumbuhkembangkan sejak dini demi terwujudnya industri sawit nasional yang tangguh

5 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa sawit seluas 16,8 juta ha (berdasarkan audit tahun 2022), dengan hasil sawit yang bisa digunakan baik untuk pangan, kesehatan, kecantikan, hingga bahan bakar. Luasnya area perkebunan dan banyaknya turunan pada kelapa sawit membuat komoditas perkebunan strategis nasional ini pantas dilirik, terutama dari sisi penelitian dan pengembangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penelitian dan pengembangan/riset sawit dibutuhkan untuk mengembangkan industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan maupun sebagai bahan pengambil kebijakan dan melawan kampanye hitam terhadap sawit. Diketahui, masih banyak isu negatif bertebaran terkait sawit dan salah satu yang bisa menangkal isu tersebut adalah dengan pembuktian dari hasil riset dan penelitian. Karena sesungguhnya, masih banyak kebaikan-kebaikan sawit yang belum diketahui banyak orang dan itu bisa dimunculkan dengan adanya penelitian dan pengembangan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang berdiri sejak 2015, penelitian dan pengembangan sawit pun mendapat dukungan. Menurut Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman Program Penelitian dan Pengembangan Sawit merupakan salah satu upaya BPDPKS untuk melakukan penguatan, pengembangan dan peningkatan pemberdayaan perkebunan dan industri sawit yang saling bersinergi di sektor hulu dan hilir.

“Kami mulai dari mahasiswa Indonesia agar minat meneliti kelapa sawit ditumbuhkembangkan sejak dini demi terwujudnya industri sawit nasional yang tangguh dan berkelanjutan,” kata Eddy saat membuka Pekan Riset Sawit Indonesia 2023 (PERISAI 2023) yang berlangsung di Surabaya 25-26 Oktober 2023.

Untuk menarik minat mahasiswa atau generasi milenial agar mau meriset dan meneliti sawit, BPDPKS rutin menggelar Lomba Riset Sawit Tingkat Mahasiswa (LRSTM). Sementara untuk tahap selanjutnya dengan dukungan dana penelitian yang lebih fantastis, tersedia Grant Riset Sawit (GRS) yang terdiri dari jalur seleksi dan jalur inisiatif.  

“Program GRS telah dilaksanakan sejak tahun 2015 dimana BPDPKS telah mendanai sebanyak 329 kontrak perjanjian kerjasama dengan 88 lembaga litbang dengan keterlibatan 1.202 peneliti yang tersebar di 19 provinsi,” kata Eddy.  

Program GRS, lanjut Eddy, merupakan program untuk peningkatan penelitian dan pengembangan Kelapa Sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek peningkatan produktivitas/efisiensi, peningkatan aspek sustainability, mendorong penciptaan produk/pasar baru dan peningkatan kesejahteraan petani.

Melanjuti program GRS, BPDPKS bekerja sama dengan Asosiasi Inventor Indonesia (AII) melaksanakan Valuasi Kesiapan Teknologi untuk Komersialisasi terhadap invensi hasil riset. Terdapat 30 invensi hasil riset GRS yang siap komersialisasi dan beberapa sudah mendapatkan pernyataan minat dari investor dengan komitmen dalam bentuk Letter of Intent (LoI) dan/atau perjanjian kerahasiaan teknologi berupa non-disclosure agreement (NDA). Komersialisasi itu pun diselenggarakan melalui kegiatan PERISAI. 

“Diharapkan dari kegiatan PERISAI menciptakan kolaborasi antara pemerintah, industri, lembaga penelitian/perguruan tinggi dan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan industri kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan dan berkelanjutan demi tercapainya Sustainable Development Goals (SDG’s),” kata Eddy.

Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia Prof (R). Ir. H. Didiek Hadjar Goenadi, M.Sc., Ph.D., APU., INV mengatakan, penelitian kelapa sawit tergolong yang paling maju. Hal ini dikarenakan sejak 1911 Belanda telah mendirikan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Sumatera Utara. Namun, jika dulu lebih banyak peneliti di PPKS yang tertarik meneliti sawit, ketika BPDPKS berdiri tahun 2015 salah satu mandatnya adalah melakukan kegiatan riset untuk bisa mendorong terciptanya penguatan daya saing dari industri sawit nasional. “Nawaitu-nya itu untuk membuka peluang periset Indonesia tertarik untuk meneliti tentang kelapa sawit.”

Maka, kata Didiek, disosialisasikanlah ke perguruan tinggi-perguruan tinggi untuk melihat sawit sebagai bahan penelitian dan dapat mengembangkan industri yang tangguh. “Yang dimaksud industri tidak hanya pengelolaan, tapi juga termasuk hulunya. Termasuk perkebunan dan petaninya.”

Dengan adanya GRS, ketertarikan untuk meriset sawit naik signifikan. “Memang masih belum sampai ke empat digit, masih tiga digit. Tetapi dari tahun ke tahun minat mereka cukup menggembirakan,” kata Didiek. 

Koordinator Komite Penelitian dan Pengembangan BPDPKS ini menuturkan, apa yang ditawarkan oleh komoditas kelapa sawit sangat luar biasa luasnya. Mulai dari pemanfaatan minyak yang terdiri dari minyak sawit dan minyak inti sawit. “Biomassa misalnya, tidak hanya dalam bentuk aspek bioenergy bahan bakar biomassa, tapi juga bisa diproses untuk menghasilkan berbagai macam produk turunan termasuk misalnya dimanfaatkan sebagai bahan pengganti kapas. Bikin baju itu nanti bisa dari limbah kelapa sawit, dari tandan kosong kelapa sawit.” 

Tandan kosong kelapa sawit juga dapat diproses menjadi sumber energi biomassa berupa pelet maupun briket yang kalorinya itu mengalahkan batubara. “Tentunya ini peluang besar, ini sifatnya renewable. Ditanam, menghasilkan. Sedangkan batubara destruktif, sehingga ini menawarkan keuntungan luar biasa termasuk dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.” 

Didiek pun memastikan penelitian sawit masih sangat luas dan terbuka untuk melakukan riset di berbagai bidang kelapa sawit. Dia pun memberikan masukan agar saat mengajukan proposal, peneliti juga memikirkan hasil penelitian bermanfaat bagi industri. 

“Di dalam pendanaan riset kelapa sawit itu agak unik. Pertama komoditinya satu tidak berdasarkan keilmuan dan berdasarkan komoditi. Kemudian kedua yang dituntut itu selain scientific merit juga scientific approach itu adalah azas manfaat,” ucap Didiek.

Hal itu dikarenakan dana riset diperoleh dari himpunan dana yang dikumpulkan dari para pelaku industri kelapa sawit nasional termasuk petani, sehingga riset yang dihasilkan itu harus mengacu pada manfaat para pelaku industri sawit. “Tujuan utamanya adalah memanfaatkan dana perkebunan kelapa sawit itu untuk kemajuan industri sawit nasional.”

Sementara PERISAI, merupakan platform program riset untuk menampilkan hasil-hasil riset yang tampak prospektif. “Risetnya belum selesai tetapi menunjukkan arah bahwa ini berpotensi secara komersial khususnya kepada yang mengarah teknologi. Itu coba kita tampilkan.” 

BPDPKS, kata Didiek, mengundang para industri untuk mencermati dan mempersiapkan kalau mereka tertarik dengan teknologi tertentu, mereka sudah punya ancang-ancang. Para periset yang tampil tidak mengajukan proposal, tetapi berdasarkan monitoring dan evaluasi dari Komite Litbang.

BPDPKS juga melakukan Kerjasama dengan AII yang bertugas mengevaluasi hasil riset-riset yang sudah dilakukan oleh para periset di BPDPKS untuk bisa digandengkan dengan industri. “Kami mengevaluasi teknologi-teknologi kemudian kita carikan industri mana yang cocok. Akhirnya nanti mereka akan mengarah kepada lisensi teknologinya.” 

Sementara itu, sebagai seorang peneliti, Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, M.Si menilai sawit bisa dijadikan apa saja. Meneliti sawit sejak 1998, Erliza memulainya dengan membuat sabun dari sawit. Setelah itu penelitiannya berkembang ke surfaktan hingga membuat Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi di Institut Pertanian Bogor. 

Sebelum ada BPDPKS, dia kerap mendapatkan pendanaan dari Kemenristek, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kemendikbud, dan bahkan Pertamina. Dia pun bersyukur, ketika BPDPKS berdiri, hasil pengembangan penelitiannya terkait surfaktan pun diberikan pendanaan. 

“BPDPKS itu senangnya memberi dana kalau ada mitra industri, patnernya. Saya sudah terbiasa, riset selalu menggandeng mitra industri, karena kan selalu mencari siapa sih pengguna riset ini nantinya, jadi pendanaan mudah dan enggak susah,” kata dia. 

Menurut dia, semakin banyak dana periset yang didapatkan untuk pengembangan sawit, semakin bagus. “Dari riset itu 5-10 persen saja yang berhasil dikomersialkan lebih bagus. Riset itu perjalanannya panjang, tidak bisa instan.”

“Bayangkan kita ingin menggantikan semua produk-produk turunan yang basisnya minyak bumi kemudian diganti sawit. Jadi tidak usah khawatir kalau produksi over, kitanya yang harus giat riset,” tambah dia. 

Sebagian besar mahasiswa Indonesia, kata perempuan yang memiliki julukan Ratu Peneliti Hilir Sawit ini, memilih limbah sawit sebagai penelitiannya.  “Limbah memang perlu dipikirkan, tapi yang perlu utama dipikirkan, minyaknya ini diproses menjadi apa saja. Sebenarnya bagus sih, tetapi terkadang anak-anak lupa yang utamanya.”

Dia pun berharap, para perguruan tinggi memasukkan tambahan kurikulum terkait turunan sawit yaitu oleokimia terutama perguruan tinggi yang berada di daerah penghasil sawit. “Banyak universitas mau negeri mau swasta atau sekolah vokasi, itu harus ditambah mata kuliahnya tentang oleokimia,” kata dia. 

Dalam kegiatan PERISAI di Surabaya, dia pun berkesempatan memaparkan hasil penelitian terkait oleokimia kepada industri. “Adanya kegiatan PERISAI, membantu peneliti untuk sisi komersialisasi.” (*)

 

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus