Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

The East, Sejarah Brutal Ratu Adil Westerling

Film The East di Mola TV mengisahkan pembantaian oleh Raymond Westerling yang mewariskan opini dari berbagai sudut pandang.

17 Agustus 2021 | 20.07 WIB

Film The East
Perbesar
Film The East

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO GAYA-Dalam sebuah patroli yang terpaksa melintasi sungai, satu grup tentara Belanda dikagetkan oleh suara letusan. Satu korban jatuh, tertembak di bagian perutnya. Dalam suasana masih diliputi duka dan amarah, Johan De Vries Jr. (Martijn Lakemeier) membantu Raymond (Marwan Kenzari) menginterogasi pejuang Indonesia yang tertangkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Diserang sengatan listrik saat diinterogasi, pejuang itu tidak gentar. Dalam rasa sakit di sekujur tulang dan darah berlumuran di beberapa bagian tubuh, ia merintih lirih, “Merdeka!” Kemudian berkata lantang, “Indonesia Merdeka!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah konflik yang dihadirkan The East (De Oost), film garapan sutradara Jim Taihuttu, yang memperlihatkan bentrokan antara tentara Belanda versus pejuang kemerdekaan. Dan hanya ini satu-satunya sepanjang film. Tidak ada perang tatap muka layaknya film-film perang lain. Pejuang kemerdekaan, yang disebut sebagai pemberontak hanya melancarkan serangan gerilya. Mengintai dari kegelapan, membidik, melepas tembakan, lalu menghilang ke dalam belantara.

Menyaksikan The East, kita memang diajak untuk melihat perang dari sudut pandang Belanda. Doktrin tentang Hindia (sebutan bagi Indonesia pada masa tersebut, menurut versi Belanda) yang dianggap tidak siap untuk merdeka ditanamkan sejak kedatangan para pasukan, melalui sebuah pidato sambutan.

“Berkat sekutu Amerika Serikat, maka Nazi, Jepang berhasil diusir. Tapi apa ini membawa kembali perdamaian ke Hindia?” ujar penceramah yang menyebut namanya Mayor Penders. Serentak, seluruh pasukan menggelang dan menjawab, “Ney (tidak).” Lalu di layar besar yang ada di belakang sang mayor berdiri muncul foto sosok berkopiah. Mayor ini melanjutkan kisahnya, bahwa selama pendudukannya, Jepang telah menebarkan racun sehingga muncul boneka Jepang bernama Soekarno. “Pengecut itu. Teroris,” kata sang mayor.

De Vries Jr. juga hadir di malam penyambutan tersebut. Dia adalah pemuda Belanda yang memilih jadi tentara untuk bertugas ke Hindia untuk mengubur kenangan pahit tentang ayahnya, Johan Senior, anggota partai sosialis yang mendukung Nazi di Perang Dunia II. Setelah Nazi kalah, Johan Senior diseret ke kamp tahanan oleh pemerintah Belanda. Penggambaran kisah tersebut diceritakan melalui kilatan-kilatan kilas balik di sepanjang film.

De Vries yang ditugaskan di Semarang merasa jenuh tidak pernah melakukan aksi. Selama patroli ke kampung-kampung, suasana terlihat tenang. Bersama rekan satu grup, mereka lebih sering berkeliling pasar di malam hari untuk minum-minum.

Setelah 30 menit menyaksikan alur cerita yang memperlihatkan latar belakang serta kegiatan para tentara di kamp maupun saat patroli, konflik awal akhirnya muncul. Yakni, ketika De Vries bertikai dengan tentara Jepang di sebuah pasar. Inilah awal perjumpaan De Vries dengan Raymond.

Siapakah Raymond? Rekan-rekan De Vries menceritkan bahwa sosok ini tidak takut pada siapa pun, pada apa pun. Hingga akhirnya De Vries membantu Raymond saat menginterogasi seorang pemberontak yang menembak mati rekannya di Sungai, dan melakukan operasi penyergapan gerombolan teroris, Gagak Hitam. Pertemuannya dengan Raymond kian intens.“Penduduk lokal menyebutku Ratu Adil. Menurut mitos kuno, dia adalah pendekar yang akan membebaskan rakyat dari penderitaan,” kata Raymond.

Percayalah, kita tak akan tahu siapa sebenarnya Raymond hanya dengan menyaksikan film ini. Melalui resensi yang banyak beredar di media mengenai film ini, atau mencari di internet, baru kita tahu dia adalah Raymond Westerling. Tokoh yang menorehkan sejarah kelam dalam sejarah negeri ini. Menurut Soekarno, Westerling membantai 40 ribu orang. Namun versi  Belanda hanya di kisaran 3.000 orang.

Versi  mana yang benar, tentu bukan untuk itu film ini dibuat oleh Jim. Kita hanya akan diajak menelusuri masa lalu, bahwa ada sebuah kisah yang sangat mengguncangkan. Terlebih, ketika Raymond diberi mandat penuh oleh pimpinan tinggi di Belanda untuk membentuk pasukan khusus dengan kekuasaan absolut.

Demikianlah. Pada akhirnya, ia pun membentuk Depot Speciale Troepen (DST), satuan khusus militer Belanda. De Vries tentu saja bergabung dengan pasukan tersebut dan berangkat ke Celebes (Sulawesi) untuk mencari para pemberontak.

Namun, nurani De Vries bergolak ketika ia menyaksikan cara Raymond membantai orang. Seluruh penduduk di desa yang mereka datangi dikumpulkan di tanah lapang. Kemudian Raymond membuka catatannya dan menyebut sejumlah nama yang harus maju ke depan. Di sinilah De Vries kaget melihat pistol Raymond menyalak lalu mencabut nyawa orang-orang tersebut.

Adegan pembantaian tersebut mewariskan berbagai opini bagi penyaksi film ini. Bagi kita sebagai masyarakat Indonesia tentu menjadi paham bagaimana aksi Westerling yang telah berlaku sangat kejam. Menjadikan The East sebagai tontonan di Hari Kemerdekaan, 17 Agustus, tentunya dapat menjadi pembelajaran sejarah. Di Indonesia, The East bisa disaksikan di Mola TV.

Bagi sejumlah warga Belanda tentu memiliki aroma berbeda. Sang sutradara, Jim Taihuttu, mengakui muncul kritik dari sejumlah orang di negerinya. Palmyra Westerling (anak Raymond Westerling), sempat menulis surat terbuka di media Belanda dan menuduh Jim sebagai orang yang rela memalsukan sejarah demi keuntungan pribadi. Bahkan mengatakan The East semuanya dibiayai oleh Indonesia untuk membuat film yang melukai hati warga Belanda. Padahal, film ini hasil produksi empat negara: Belanda, Belgia, dan Indonesia.

Palmyra juga berang kepada seseorang bernama Maarten Hidskes, penulis buku Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya (2018). Buku ini bercerita tentang kisah nyata Piet Hidskes, anak buah Westerling di DST yang ikut dalam aksi pembantaian di Sulawesi. Piet merasa lelah dengan operasi tersebut. Lelah badan dan lelah mental melihat darah penduduk berceceran, tiap hari.

Kendati Jim tak pernah secara eksplisit mengaku terinspirasi oleh kisah nyata di buku itu, dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo, di bercerita The East merupakan penggaliannya ke masa lalu nenek moyangnya. Jim memang memiliki darah Maluku.  Kegiatan berkeseniannya bukan hanya film.

Jim lebih dulu dikenal sebagai Disc Jokey (DJ) dengan nama panggung Jim Aasgier. The East merupakan karya keduanya yang meraih sukses dalam aspek perbincangan, setelah film pertama Rabat (2011) dan Wolf (2013) yang meraih Golden Calf Award. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus