Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bersuara di ruang publik, solidaritas menjadi salah satu kunci penting, mengingat tantangannya yang kini semakin besar. Salah satu tantangannya, keberadaan regulasi seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap menjerat masyarakat ketika berbicara di ruang publik. Oleh karena itu, Gita menuturkan, dalam bersuara di ruang publik, istilah ‘teman jaga teman’ sebaiknya perlu dilakukan. Seperti halnya para media yang menggiring bersama suatu kasus. “Itulah wujud solidaritas, istilahnya ‘teman jaga teman’ untuk mengakses suatu berita,” ucapnya saat menjadi inspirator dalam acara Youth Virtual Conference (YVC) 2022 #WeFightFor #AsaIndonesia2045 pada Ahad, 18 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gita merupakan satu dari 10 inspirator yang menyuarakan suaranya dalam YVC yang tahun ini mengangkat lima isu yaitu pembangunan berkelanjutan, memperluas ruang sipil, energi bersih dan terbarukan, kelestarian hutan dan penggunaan lahan, serta wanita dan pemberdayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, ‘teman jaga teman’ juga perlu diangkat di saat pemilu mendatang. “Teman jaga teman perlu diangkat karena mulut kita semua tahun 2024 perlu diangkat.” Gita pun berharap, para generasi muda saat ini bahu membahu memperbaiki kebebasan bersuara yang saat ini tidak baik-baik saja. “Bebannya ada di teman-teman semua, dari kerusakan generasi saya. Perlu adanya konsolidasi antargenerasi,” katanya di depan para peserta yang 34 persen berusia 21-24 tahun itu.
Ruang sipil sendiri kini semakin menciut. Hal ini menjadi sorotan jurnalis dan musisi Ananda Badudu. “Makin ke sini makin banyak takutnya, miris melihat perkembangan ke sini, makin menyeramkan untuk bersuara dan berpartisipasi. Dibutuhkan suara [masyarakat] pas pemilu saja, selebihnya [ketika masyarakat menyuarakan pendapat justru mendapat] gas air mata,” kata dia.
Ketika ingin bersuara, lanjut Ananda, pasti ada rasa takut dan bagaimana mengatasi masalah itu. Dia pun sempat kaget karena ada salah satu peserta yang bercerita bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampusnya melakukan pemilihan ketua dengan cara-cara Orde Baru. Ananda pun menyarankan untuk menghapuskan bentuk feodalisme di kampus tersebut dengan berani untuk bersuara. “Kritik seniormu sendiri sebelum mengkritik pemerintahan.” Dia menyebut, kemungkinan akan lebih sulit untuk mengkritik senior sendiri dibandingkan mengkritik presiden. “Itu sebuah tantangan yang harus dilalui.”
Orang muda juga perlu mendengar suara dari tapak
Konsultan Alam Sehat Lestari (ASRI) dr. Alvi Muldani menyarankan agar orang muda mau ‘mendengar’ keluh kesah masyarakat, jika ingin bekerja sama dengan masyarakat lokal atau adat.
Dia bercerita tentang teknik yang disebut radical listening yang dilakukan oleh Dr. Kinari Webb pendiri organisasi non-profit Health in Harmony (HIH) yang mendanai proyek ASRI. Kinari mendengarkan permasalahan dan keluh kesah masyarakat di sekitar Gunung Palung, Kalimantan Barat, selama 400 jam tanpa interupsi. “Hasil dari radical listening itu, masyarakat akan berhenti menebang hutan secara liar, jika mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, serta terlatih dalam pertanian organik,” kata dr Alvi.
Konferensi YVC 2022 berhasil mengumpulkan sebanyak 263 orang muda dari seluruh Indonesial. Lewat forum ini, mereka menyatukan suara, menetapkan langkah, dan bergerak bersama untuk mewujudkan Indonesia yang berpihak pada lingkungan, keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan. Dari konferensi ini mereka menghasilkan Manifesto Orang Muda Indonesia untuk Keberlanjutan.
Dalam manifesto tersebut mereka memberikan seruan untuk merespons isu keadilan iklim, energi yang terbarukan, hutan dan lahan, ruang publik, serta perempuan dan kesetaraan. Seruan ditujukan baik kepada pemuda pemudi Indonesia, pemerintah, dan pada siapa saja.