Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga-keluarga dari Lebanon selatan memadati jalan raya di utara pada Senin, untuk menghindari serangan Israel yang meluas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan lebih dari 270 orang tewas dalam pengeboman Israel dan seorang pejabat mengatakan itu adalah hari paling mematikan di negara itu sejak berakhirnya perang saudara pada 1990.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Israel mengatakan pihaknya telah menyerang sekitar 800 sasaran yang terkait dengan Hizbullah dan bangunan yang diserangnya berisi senjata milik kelompok tersebut.
Anak-anak berdesakan di pangkuan orang tua mereka, koper-koper diikatkan ke atap mobil dan asap gelap membubung di belakang mereka.
Mobil, van, dan truk pick-up yang tak terhitung jumlahnya penuh dengan barang-barang dan dipenuhi orang, kadang-kadang beberapa generasi dalam satu kendaraan. Sementara keluarga-keluarga lain melarikan diri dengan cepat, hanya membawa barang-barang penting ketika bom menghujani dari atas.
"Ketika serangan terjadi di pagi hari di rumah-rumah, saya mengambil semua surat-surat penting dan kami keluar. Serangan terjadi di sekitar kami. Itu sangat mengerikan," kata Abed Afou yang desanya di Yater terkena serangan hebat akibat serangan fajar.
Israel dan kelompok Hizbullah Lebanon telah saling baku tembak melintasi perbatasan sejak perang di Gaza dimulai tahun lalu dengan serangan yang dilakukan oleh sekutu Hizbullah, Hama. Namun, Israel dengan cepat meningkatkan kampanye militernya selama seminggu terakhir.
Pada Senin, ketika pengeboman meningkat hingga mencakup lebih banyak wilayah Lebanon, orang-orang menerima rekaman panggilan telepon atas nama militer Israel yang meminta mereka meninggalkan rumah demi keselamatan mereka sendiri.
Afou, yang tinggal di Yater sejak awal pertempuran meskipun hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari perbatasan Israel, memutuskan untuk pergi ketika ledakan mulai menghantam rumah-rumah penduduk di distrik tersebut, katanya.
“Satu tangan saya berada di punggung anak saya dan menyuruhnya untuk tidak takut,” katanya. Keluarga Afou, tiga anak laki-laki berusia 6-13 tahun dan beberapa kerabat lainnya, kini terjebak di jalan raya saat lalu lintas bergerak ke utara.
Mereka tidak tahu di mana mereka akan tinggal, katanya, tapi hanya ingin mencapai Beirut.
"KAMI AKAN KEMBALI"
Saat lalu lintas melewati Sidon terbentuk antrian panjang. Sebuah van lewat, pintu belakangnya terbuka dan sebuah keluarga duduk di dalamnya, seorang wanita bersyal merah di dekat pintu dengan satu kaki menjuntai dan seorang anak laki-laki berdiri di tengah, bergelantungan di pagar.
Di pinggir jalan, sekelompok pasukan keamanan Lebanon, mengenakan celana jeans biru dan rompi hitam bertanda 'Polisi' berdiri dengan senjata mereka.
Seorang pria bersandar pada seorang wanita yang duduk di kursi penumpang mobil dan berteriak melalui jendela: "Kami akan kembali. Insya Allah kami akan kembali. Beritahu (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu bahwa kami akan kembali."
Namun pria lain, yang hanya menyebutkan nama depannya Ahmed, mengatakan hanya Tuhan yang tahu apakah keluarganya bisa kembali ke rumah. Dia berhenti di pinggir jalan, vannya dipenuhi lebih dari 10 orang, banyak dari mereka adalah anak-anak.
"Serangan. Pesawat-pesawat tempur. Penghancuran. Tidak ada seorang pun yang tersisa di sana. Semua orang telah melarikan diri. Kami mengambil barang-barang kami dan pergi," katanya.
Beberapa orang telah menyaksikan kehancuran dari dekat.
“Kekuatan dan intensitas pemboman adalah sesuatu yang belum pernah kita saksikan sebelumnya dalam semua perang sebelumnya,” kata Abu Hassan Kahoul, dalam perjalanan ke Beirut bersama keluarganya setelah dua bangunan di dekat blok apartemen tempat tinggalnya rata dengan tanah.
“Anak-anak kecil tidak tahu apa yang terjadi tapi ada ketakutan di mata mereka,” tambahnya.
Bahkan di Beirut, kekhawatiran semakin meningkat, dan para orang tua bergegas menarik anak-anak mereka dari sekolah ketika Israel memperingatkan akan adanya lebih banyak serangan. “Situasinya tidak menentramkan,” kata seorang pria bernama Issa yang datang menjemput seorang pelajar muda.
Ketegangan antara Hizbullah dan Israel meningkat setelah serangan udara pada Jumat di pinggiran selatan Beirut yang menewaskan setidaknya 45 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, serta melukai puluhan lainnya.
Hizbullah mengonfirmasi bahwa setidaknya 16 anggotanya, termasuk pemimpin senior Ibrahim Aqil dan komandan utama Ahmed Wahbi, tewas dalam serangan Israel tersebut.
Serangan itu terjadi dua hari setelah setidaknya 37 orang tewas dan lebih dari 3.000 lainnya terluka akibat dua gelombang ledakan perangkat komunikasi nirkabel di seluruh Lebanon. Sementara Pemerintah Lebanon dan Hizbullah menyalahkan Israel atas ledakan tersebut.
Hizbullah dan Israel telah terlibat dalam pertempuran lintas perbatasan sejak dimulainya perang Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.400 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menyusul serangan lintas perbatasan oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.
REUTERS | ANADOLU