Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Krisis kemanusiaan yang dialami etnis minoritas Rohingya di Myanmar selama bertahun-tahun telah memperkuat kepedulian masyarakat internasional untuk menekan pemerintah Myanmar untuk mengakhiri krisis.
Sejumlah pertanyaan muncul sehubungan dengan sikap pemerintah Myanmar yang tidak mengakui Rohingya sebagai warga negaranya sampai pada Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian dan pemimping gerakan Demokrasi di Myanmar yang memilih bungkam.
Belakangan muncul isu rencana eksplorasi minyak dan mineral di tempat tinggal etnis Rohingya di negara bagian Rakhine yang melibatkan perusahaan-perusahaan asing. Dan etnis Rohingya dipaksa meninggalkan tempat hidup mereka demi kepentingan bisnis.
Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network, Kyaw Win menjelaskan secara rinci tentang krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya dan sejumlah hasil temuan di lapangan tentang motif di balik krisis kemanusiaan yang diderita etnis Rohingya. Termasuk harapan kepada ASEAN dan masyarakat internasional untuk dapat membantu mengakhiri penderitaan etnis Rohingya.
Berikut petikan wawancara khusus Budiarti Utami Putri dan Maria Rita dari TEMPO dengan Kyaw Win di hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam, 10 September 2017.
Apa tujuan Anda datang ke Jakarta?
Saya datang ke Indonesia karena ada beberapa informasi penting yang harus saya sampaikan terkait konflik yang terjadi di Rohingya. Saya dihubungi beberapa teman di sini dan saya melihat ada beberapa salah kaprah. Saya pikir lebih baik saya datang ke sini untuk menginformasikan apa yang terjadi di Myanmar.
Hal lain yang sangat penting untuk saya elaborasi adalah pemerintah dan militer Burma (Myanmar). Mereka juga menyebarluaskan propaganda dan menyebarluaskan misinformasi. Ada informasi tapi mereka sepertinya memberikan informasi yang salah. Bahkan mengagitasi orang tentang isu rasialisme dan membakar kebencian orang. Efeknya sangat berbahaya. Ini tindakan pemerintah yang sangat tidak bertanggung jawab. Itu jadi alasan saya lebih baik ke sini. Kami tidak mau terjadi krisis di kawasan ini. Kami tidak mau negara tetangga kami terkena masalah ini. Kami juga ingin bekerja sama dengan negara tetangga. Kami juga ingin mendapat dukungan dari Malaysia, Indonesia. Mereka sangat penting bagi kami.
Apa yang Anda maksud salah kaprah informasi?
Misalnya, beberapa hari lalu ada Eleven Media, satu media lokal, yang memberitakan bahwa orang-orang Rohingya membakar rumah mereka sendiri di kamp pengungsi. Beberapa jam setelah kejadian tersebut, beberapa aktivis setempat mengetahui bahwa orang yang mereka lihat bukan Rohingya, melainkan orang-orang Hindu yang melakukannya, orang yang sama di kamp pengungsi Hindu. Foto diposting di Facebook oleh juru bicara Presiden dan menjadi viral. Tahun 2012, juga terjadi hal serupa ketika ada yang memposting foto di Facebook yang isinya:" Pemberontak Rohingya (Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA) dengan senjata datang untuk menginvansi Burma dan jangan bicara HAM sekarang, saya mau membela negara kami dan kepentingan nasional. Kita perlu menyelamatkan tanah air kita."
Apa yang bisa dilakukan untuk mengakhiri konflik ini?
Ada beberapa cara, salah satunya perundingan diplomatik dan ada upaya hukum. Tapi masalahnya yang hilang di sini adalah political will. Political will dari dunia internasional saat ini belum berhasil meyakinkan orang-orang Rohingya bahwa dunia internasional akan melindungi mereka dan mereka tidak perlu mengokang senjata. Tapi di mana jaminan perlindungan itu?
Mereka merasa harus melindungi diri. Dan itulah yang sebenarnya diinginkan tentara Myanmar: Muslim di sana mengangkat senjata lalu menyerang, sehingga militer dapat berkata pada dunia bahwa orang-orang ini berbahaya, mereka menyerang seperti ISIS.
Hal lain yang harus kita khawatirkan, beberapa negara Barat memberikan pelatihan militer kepada pasukan Myanmar. Ini yang kami khawatirkan agar dapat secepatnya dihentikan.
Indonesia, Malaysia, Myanmar merupakan anggota ASEAN. Apakah anda punya harapan pada ASEAN untuk menyelesaikannya?
Tentu saja. Ketika membicarakan permasalahan Rohingya di Barat, pertanyaan yang pertama muncul adalah apa yang dapat dilakukan ASEAN? ASEAN pernah punya pengalaman dengan genosida yang terjadi di Kamboja, dan bagaimana bisa membiarkan ini kembali terjadi di Myanmar?
ASEAN punya prinsip tidak mencampuri urusan negara anggotanya. Bagaimana menurut Anda tentang prinsip ini terkait masalah Rohingya?
Prinsip itu perlu segera dicabut, karena tidak masuk akal. Sebuah negara melakukan kejahatan dan negara lain menanggung akibatnya. Ketika sebuah masalah berdampak lintas negara, harusnya itu menjadi isu bersama. Isu HAM adalah isu yang sangat penting, kenapa diabaikan? Kita masyarakat ASEAN, di manapun kita tinggal, ini adalah hak kita. Kita harusnya bisa percaya pemerintah akan membantu dan mendukung kita. Ketika HAM dilanggar, harus ada yang bertindak. Kita seharusnya membolehkan setiap negara untuk dikritik, tidak perlu takut pada kritikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini