Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Urgensi Pelembagaan One Health

Kelembagaan One Health perlu untuk pemerataan dan keberlanjutan pembangunan kesehatan, khususnya menangani penyakit zoonosis.

30 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia adalah pelopor Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Prakarsa One Health.

  • Namun, wabah penyakit zoonosis, seperti cacar monyet, antraks, dan rabies, masih terus terjadi.

  • Indonesia perlu membangun kelembagaan One Health untuk pemerataan dan keberlanjutan pembangunan kesehatan.

Perigrinus H. Sebong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia kembali dilanda berbagai wabah penyakit yang bersumber dari hewan (zoonosis), seperti cacar monyet, antraks, dan rabies, baru-baru ini. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan terhadap kinerja Indonesia, pelopor Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Prakarsa One Health pada Mei lalu. Pendekatan One Health mengakui keterhubungan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan yang memberikan kerangka kerja untuk mencegah munculnya penyakit.

Terdapat dua poin kekhawatiran dialamatkan kepada One Health dalam mengekang patogen spillover di negara tropis seperti Indonesia. Pertama, penerapan One Health terbentur oleh praktik silo dan pemikiran sektoral yang masih mementingkan kebijakan kesehatan untuk manusia. Karena kesehatan manusia lebih berfokus pada pengobatan dibanding pencegahan, kesehatan satwa dan lingkungan direduksi menjadi sumber penyakit.

Epidemi zoonosis yang terjadi secara berulang menyebabkan upaya pemeliharaan kesehatan hewan diperlakukan sebagai biosurveilans dan biosekuriti meskipun tanpa bukti ilmiah lengkap. Praktik semacam ini kemudian mengubah cara pandang manusia dan perilakunya terhadap hewan/satwa. Spesies hewan dipandang sebagai sumber infeksi sehingga harus menghindari kontak langsung. Pemahaman antroposentris tersebut kemudian membenarkan tindakan pemusnahan satwa/hewan tertentu, yang diduga sebagai reservoir atau pembawa penyakit.

Kedua, terjadi asimetri antara status penyebaran zoonosis dan persepsi risiko masyarakat. Banyak laporan zoonosis menunjukkan fluktuasi kejadian dari waktu ke waktu. Tingkat infeksi pun kadang tidak berbanding lurus dengan status persebaran jenis zoonosis tertentu di wilayah tertentu. Padahal status persebaran zoonosis bisa beragam kelasnya, dari emerging, re-emerging, epidemi, sampai endemik. Setiap status punya skenario respons masing-masing. Semestinya daerah endemis sudah punya persediaan logistik, alokasi sumber daya, dan tata cara respons ketika terjadi wabah yang lebih mumpuni dibanding daerah nonendemik. Tapi yang terjadi adalah status endemi cenderung dianggap normal sehingga sering terabaikan. Akibatnya, timbul kesan risiko yang tidak akurat dan perbedaan kewajiban daerah untuk mempersiapkan sistem mitigasi risiko untuk penanganan zoonosis endemik di wilayahnya. Itulah yang terjadi manakala kasus rabies muncul di daerah endemik rabies tapi tidak bisa tertangani dengan baik karena ketiadaan vaksin dan obat-obatan.

Meski tidak semua ancaman kesehatan masyarakat memerlukan pendekatan One Health, negara membutuhkan sistem manajemen kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan yang kuat dan terkoordinasi. Karena itu, tuntutan pelembagaan One Health di Indonesia sangat strategis untuk pemerataan dan keberlanjutan pembangunan kesehatan, terutama penanganan epidemi penyakit karena dua alasan.

Pertama, kelembagaan One Health bisa memberikan bantuan teknis untuk daerah yang tidak punya kemampuan menerjemahkan kebijakan nasional zoonosis ke dalam konteks daerahnya. Dari sisi pemberdayaan masyarakat untuk kemandirian kesehatan, ketika pendekatan One Health diadopsi oleh pemerintah dan dioperasikan secara efektif di tingkat masyarakat, ia dapat menjadi mekanisme respons dan ketahanan yang vital manakala terjadi wabah zoonosis. Hal ini untuk mencegah timbulnya variasi penerimaan antardaerah karena ketidakseragaman pemenuhan komposisi tenaga ahli kesehatan di wilayah masing-masing.

Kedua, lembaga One Health bisa memberi masukan materi kurikulum pendidikan, baik untuk tenaga medis, tenaga kesehatan, kedokteran hewan, pertanian, peternakan, maupun disiplin ilmu lain yang relevan dengan One Health melalui model pendidikan interprofesi/multidisiplin. Strategi tersebut tidak hanya membangun kesadaran akan prinsip-prinsip One Health melalui pendidikan, tapi juga menyediakan kerangka kerja praktis untuk menerapkan prinsip-prinsip One Health sesuai dengan latar belakang profesi atau spesialisasi masing-masing.

Sebagai perbandingan adalah cerita sukses di negara-negara Afrika yang menunjukkan penerapan One Health tidak bisa realistis tanpa kelembagaan atau tata kelola organisatoris terpadu. Pelaksanaan inisiatif One Health sarat dengan praktik spesialisasi yang sudah lazim dalam birokrasi akademik dan pemerintahan. Pendekatan multidisiplin tentu melibatkan berbagai sektor yang mengejar agenda kelembagaan dan memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Karena itu, manajemen epidemi zoonosis memerlukan integrasi, prinsip kolaborasi, serta tolok ukur kinerja kolaborasi multidisiplin yang terkelola secara baik dan sistematis. Dengan demikian, melalui struktur kelembagaan One Health yang terpadu, semua sektor bisa belajar bagaimana mengelola perbedaan/kepentingan sesuai dengan spesialisasinya tanpa harus berusaha meleburkannya atau menghapusnya.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Perigrinus H. Sebong

Perigrinus H. Sebong

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus