Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari diberhentikan dari jabatannya dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dia terbukti melakukan perbuatan yang melanggar susila: berhubungan badan dengan perempuan yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasyim sudah meminta maaf. "Saya mengucapkan terima kasih kepada DKPP yang telah membebaskan saya dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU yang menyelenggarakan pemilu," kata dia. Lalu, dia pun merasa bersyukur. Rupanya tugas itu menjadi beban dalam hidupnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pihak yang paling bersyukur tentu rakyat Indonesia. Aib di KPU berkurang kadarnya. Ada orang yang bertanya, tindakan yang dilakukan Hasyim adalah urusan pribadi. Kenapa KPU sebagai lembaga harus terseret? Hal ini ada benarnya, tapi apakah bisa dipisahkan antara jabatan dan pribadi itu di negeri yang tingkat korupsinya demikian tinggi? Kasusnya saja berawal dari Belanda dalam kunjungan dinas Hasyim.
Lalu, untuk “memelihara perselingkuhan” ada pernyataan yang dibuat Hasyim dalam surat bermeterai. Sejumlah pernyataan itu, antara lain, memberi nafkah Rp 30 juta sebulan, mengurus balik nama apartemennya, dan klausul tambahan membayar denda Rp 4 miliar dengan diangsur dalam empat tahun.
Sebutlah Hasyim kaya raya, tapi tetap saja orang akan mengaitkan bahwa ada kemungkinan dia mencari uang di jalan haram. Lalu dihubungkan dengan jabatan Ketua KPU yang memang rentan digoda politik uang. Apa pun bisa terjadi.
Mari kita selisik hasil kerja KPU yang bau aibnya melekat pada Hasyim. Pertama, dia melanggar prinsip mandiri, proporsional, dan profesional karena menemui calon peserta pemilu. Hal itu terjadi pada 18-20 Agustus 2022 di Yogyakarta. Dia bersama Mischa Hasnaeni Moein yang dijuluki Wanita Emas, ketua partai calon peserta pemilu. Untuk pelanggaran ini, Hasyim diberi sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP pada 3 April 2023.
Aib kedua, Hasyim melanggar kode etik sehubungan dengan peraturan KPU soal pembulatan ke bawah dari 30 persen pencalonan perempuan dalam pemilu DPR/DPRD. Hal ini melanggar ketentuan Mahkamah Agung (MA) dan Hasyim dikenai sanksi peringatan keras pada Rabu, 10 Oktober 2023.
Aib ketiga, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai capres. Mahkamah Konstitusi memang mengubah ketentuan syarat usia capres/cawapres, tapi KPU langsung menerima pendaftaran Gibran sebelum merevisi peraturan KPU. Hasyim bersama enam anggota KPU lainnya mendapat sanksi peringatan keras terakhir dari DKPP.
Aib keempat, kasus rekrutmen calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara pada Februari lalu, Hasyim terbukti melanggar etik dengan mengganti Linda Hepy Kharisda Gea, calon anggota KPU Nias Utara yang terpilih. Sidang DKPP menjatuhkan sanksi peringatan.
Aib kelima, ya, sekarang ini. Langsung DKPP memvonis Hasyim harus diberhentikan.
Ada aib lebih besar lagi, tapi tak ada pengaduan ke DKPP. Orang sudah malas membahasnya. Aib itu adalah putusan MA yang memberi jalan bagi Kaesang Pangarep menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah serentak 27 November nanti. Peraturan KPU yang menyebutkan cagub/cawagub minimal berusia 30 tahun saat pendaftaran diganti MA menjadi saat pelantikan. Lalu KPU seenak udelnya memutuskan pelantikan hasil pilkada mendatang pada 1 Januari 2025. Loloslah Kaesang, entah nanti mencalonkan di provinsi mana.
Kenapa aib ini lebih besar? Revisi putusan KPU itu pertanda lemahnya lembaga ini. Pendaftaran calon peserta perorangan pilkada sudah ditutup pada 12 Mei 2024, sebelum adanya putusan MA. Artinya, sejumlah orang dirugikan akibat perubahan itu karena berlangsung saat tahapan pilkada sudah menutup kesempatan bagi calon perorangan. KPU hanya meloloskan seseorang yang bernama Kaesang, putra Presiden Joko Widodo.
Pertanyaan terakhir adalah apakah semua aib ini tidak ada kaitannya dengan bau imbalan? Dan tugas Hasyim Asy’ari sudah selesai setelah meloloskan dua anak Jokowi. Sungguh sulit membayangkan pemerintahan dalam lima tahun ke depan. Legalitas pemimpin, baik itu presiden maupun gubernur dan wali kota, sangat buruk karena lahir dari lembaga yang begitu lemah serta niretika.