Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Jokowi Bilang Sedimen Beda dari Pasir Laut, Susi Sebut Sedimen Apapun Sangat Penting

Berikut ini dua ekspresi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di medsos atas kebijakan Jokowi buka keran ekspor pasir laut.

20 September 2024 | 17.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkap kekecewaannya yang besar atas kebijakan Presiden Joko Widodo yang telah membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang selama 20 tahun. Bahkan penjelasan susulan dari Jokowi bahwa kebijakan yang dimaksud ditujukan untuk sedimen, bukan pasir laut, tak mengubah sikap Susi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susi mengungkap ekspresi lewat emoji besar wajah yang meneteskan air mata di akun media sosial X miliknya saat kebijakan itu resmi diberlakukan pada 14 September 2024. Ekspresi kedua diberikannya atas artikel pemberitaan dari DPR bahwa pemerintah seharusnya melakukan kajian terlebih dahulu sebelum membuka lagi ekspor pasir laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Artikel itu mengutip Ketua Komisi IV DPR Faisol Riza yang berpendapat, pemerintah perlu memetakan jenis dan sebaran sedimentasi, serta mengkaji dampak lingkungannya. Selain itu selektif memilih eksportir. "Ada banyak hal yang harus ditelaah dan disampaikan ke publik," kata Faisol.

Pernyataan Faisol menyusul Kementerian Perdagangan membuka keran ekspor pasir laut padahal selama 20 tahun sebelumnya dianggap aktivitas ilegal. Keran resmi dibuka lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan mengubah dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) di bidang ekspor sebagai aturan turunannya.

Keduanya adalah Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang barang yang dilarang diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.

Sebelum pernyataan Faisol, dalam keterangannya pada 17 September lalu, Presiden Jokowi membantah pemerintahannya kembali mengizinkan ekspor pasir laut. Menurutnya, yang diekspor adalah hasil sedimentasi--mengikuti nama peraturan pemerintahnya.

“Sekali lagi, itu bukan pasir laut. Yang dibuka (izin ekspornya), (hasil) sedimentasi,” kata Jokowi sambil menambahkan sedimen yang diekspor berbeda dari pasir laut. Dia menyebut hasil sedimentasi itu sebagai benda yang mengganggu alur pelayaran kapal laut. “Sedimen itu beda, walaupun wujudnya juga pasir. Tapi sedimentasi,” ucapnya.

Adapun Susi, yang pada masanya memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan terkenal sangat berani membela kelestarian lingkungan perairan, menyebut pasir atau sedimen apapun sangat penting untuk keberadaan manusia. Pasir atau sedimen apapun di laut disebut pengusaha eksportir di bidang kelautan dan penerbangan perintis ini sangat penting untuk keberadaan manusia.

Presiden Joko Widodo alias Jokowi (kedua kiri) saat bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (ketiga kanan) meninjau kawasan permukiman nelayan tepi air di kampung nelayan Sumber Jaya, Bengkulu, Bengkulu, Jumat, 15 Februari 2019. Peninjauan tersebut untuk memastikan penataan kawasan permukiman tepi air di Bengkulu. ANTARA/David Muharmansyah

Tertuju kepada pernyataan-pernyataan Faisol--yang disebutnya yang mulia wakil rakyat Indonesia, dia menyarankan kalaupun ada penambangan pasir atau sedimen semestinya digunakan untuk meninggikan wilayah pantai utara Jawa atau kawasan lainnya yang dilanda abrasi parah dan sebagian sudah tenggelam. "Kembalikan tanah daratan sawah2 rakyat kita di Pantura. BUKAN DIEKSPOR!!," tulisnya menyerukan. 

Kebijakan penambangan dan ekspor pasir laut, atau sedimen dari laut, sebelumnya telah menuai penolakan dari kalangan konservasi lingkungan. Terbaru yang datang dari koalisi terdiri dari Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Walhi Lampung, Walhi Jawa Timur, Walhi Bali, Walhi Maluku Utara, Perempuan Nelayan dari Pulau Kodingareng serta Perempuan Nelayan Surabaya yang terhimpun dalam organisasi KPPI (Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia) yang terdampak tambang pasir laut. 

Mereka menilai kebijakan ini hanya akan mendorong bom waktu atau lebih tepatnya kiamat sosial ekologis di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, banyak nelayan yang semakin miskin di kantong-kantong pertambangan pasir laut.

Pemerintahan Jokowi dianggap tak memiliki dimensi keadilan dalam membuat kebijakan dan diyakini memperparah kerugian negara akibat korupsi di sekotor sumber daya alam.

Melynda Dwi Puspita dan Irsyan Hasyim berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus