Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengenal 5 Tradisi Pertanian di Ciptagelar yang Menjaga Ketahanan Pangan Hingga 95 Tahun

Untuk menjaga ketahanan pangan, Desa Adat Ciptagelar melestarikan tradisi pertanian hingga berbagai ritual adat.

8 Maret 2025 | 05.17 WIB

Warga bersama barisan olot berbondong-bondong membawa padi induk untuk diikutsertakan dalam prosesi Ngadiukeun Pare di Leuit Si Jimat pada puncak Seren Taun yang ke 646 di Kampung Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat. 24 Agustus 2014. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Perbesar
Warga bersama barisan olot berbondong-bondong membawa padi induk untuk diikutsertakan dalam prosesi Ngadiukeun Pare di Leuit Si Jimat pada puncak Seren Taun yang ke 646 di Kampung Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat. 24 Agustus 2014. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kekhawatiran krisis pangan global, ada satu wilayah di Indonesia yang diyakini punya sistem ketahanan pangan yang baik. Viral di media sosial bahwa Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat memiliki cadangan makanan yang cukup bahkan bisa bertahan hingga 95 tahun.

Keberlanjutan stok pangan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari sistem pertanian tradisional yang sudah diwariskan secara turun-temurun.

Masyarakat Ciptagelar tidak hanya menanam padi sebagai kebutuhan pokok, tetapi juga menjaga hubungan spiritual dengan alam melalui serangkaian ritual adat. Seperti yang dijelaskan dalam jurnal  berjudul Kasepuhan Ciptagelar: Pertanian Sebagai Simbol Budaya & Keselarasan Alam, tradisi pertanian di desa ini memiliki nilai sakral dan mengikuti siklus tertentu yang menjamin ketersediaan pangan bagi generasi mendatang. 

Berikut adalah beberapa ritual pertanian yang masih dilakukan hingga kini untuk menjaga ketahanan pangan di Ciptagelar. 

Ngaseuk

Ngaseuk adalah prosesi awal dalam siklus pertanian masyarakat Ciptagelar. Ritual ini dilakukan dengan cara menanam bibit padi menggunakan alat tradisional bernama aseuk.

Saat ngaseuk berlangsung, masyarakat memanjatkan doa agar tanaman tumbuh subur dan hasil panen melimpah. Selain sebagai bentuk rasa syukur, ritual ini juga menjadi simbol awal perjalanan padi sebelum akhirnya disimpan di leuit atau lumbung padi. 

Mipit

Saat masa panen tiba, prosesi mipit dilakukan untuk mengambil padi pertama yang sudah matang. Panen perdana ini dilakukan oleh pemimpin adat atau tokoh masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada padi.

Berdasarkan penelitian dalam buku Aspek Sosio-Ekonomi, Pangan, dan Gizi Masyarakat Kasepuhan Adat Ciptagelar, padi yang dipanen pertama kali tidak langsung dikonsumsi, tetapi disimpan sebagai simbol keberkahan dan kelangsungan hidup masyarakat. 

Nganyaran

Setelah mipit, masyarakat mengadakan upacara nganyaran sebagai prosesi menikmati panen yang diperoleh. Padi hasil panen pertama akan ditumbuk, dimasak, dan disantap bersama oleh seluruh warga.

Tradisi ini memiliki aturan unik, yakni para ibu yang memasak nasi dilarang berbicara selama proses memasak berlangsung sebagai bentuk penghormatan terhadap makanan yang akan dikonsumsi, dan dianjurkan memasak sambil menyirih.

Ponggokan

Setelah panen selesai, padi disimpan di lumbung adat yang disebut Leuit Si Jimat melalui ritual ponggokan. Leuit memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat Ciptagelar.

Berbeda dengan kebiasaan masyarakat modern yang menjual hasil panennya, masyarakat Ciptagelar tidak diperbolehkan memperdagangkan padi mereka. Sistem ini memastikan bahwa stok pangan selalu tersedia dalam jangka panjang dan dapat diwariskan ke generasi berikutnya. 

Seren Taun

Seren Taun adalah ritual terbesar di Ciptagelar yang menandai berakhirnya siklus pertanian dalam satu tahun. Dalam upacara ini, masyarakat mengadakan arak-arakan hasil panen, doa bersama, serta pertunjukan seni tradisional. Selain sebagai bentuk rasa syukur, Seren Taun juga menjadi ajang musyawarah masyarakat untuk menentukan kebijakan pertanian tahun berikutnya. 

Kabar tentang ketahanan pangan Desa Ciptagelar hingga 95 tahun bukanlah sekadar mitos. Melalui serangkaian ritual pertanian, masyarakat Ciptagelar mampu menjaga keberlanjutan pangan mereka tanpa ketergantungan pada sistem modern.

Tradisi ini membuktikan bahwa kearifan lokal dapat menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem pertanian yang mandiri, berkelanjutan, dan tetap menjaga keseimbangan dengan alam.

Pilihan Editor: Wamentan: Penyuluh Pertanian Dilarang Sakit dan Tidur untuk Program Swasembada Pangan

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus