Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Apel Green Aceh menyusun petisi berisi permintaan penghentian aktivitas perambahan di Tripa, area rawa gambut di pantai barat Aceh. Petisi lewat laman web hutanhujan.org tersebut sudah ditandatangani 65.043 suara dari 154 negara sebelum diserahkan kepada gubernur Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Kapolda Aceh, dan Lembaga Wali Nanggroe Aceh, pada Selasa 3 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Rahmad Syukur, mengatakan hutan lindung dan lahan gambut yang menjadi habitat orangutan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot, Aceh, terus dibuka untuk konversi lahan perkebunan sawit. Hingga saat ini, menurut dia, sudah separuh dari Rawa Tripa itu yang habis dibabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami punya video bagaimana orangutan bergelantungan di pohon, tapi suara ekskavator terdengar. Ibarat kita datang ke rumah satwa liar ini dan mengusirnya," kata Syukur dalam diskusi daring bertajuk ‘Selamatkan Rawa Tripa, Habitat Terakhir Orangutan’ pada Rabu, 4 September 2024.
Melalui petisi tersebut, Yayasan Apel Green Aceh mendesak pecabutan Hak Guna Usaha (HGU) PT Surya Panen Subur (SPS 2) dan PT Kallista Alam, dua entitas yang menggarap sawit di dalam kawasan gambut Tripa. Yayasan ini juga meminta penguatan status hukum terkait perlindungan lahan gambut tersebut.
Menurut Syukur, ekosistem Tripa-Babahrot terdiri dari area hutan gambut yang luasan awalnya menembus 62 ribu hektare (Ha). Secara administrasi, 60 persen area ini masuk dalam Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, sedangkan sisanya masuk Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya.
Dia menyebut ekosistem ini menyimpan 300 jenis tumbuhan lokal dan satwa khas, termasuk orangutan (Pongo abelli), beruang madu, dan harimau sumatra. Kini hampir seluruh Tripa-Babahrot sudah menjadi kebun kelapa sawit.
“Tersisa 11.380,71 Ha yang masuk ke dalam kawasan lindung gambut qanun tata ruang Nagan Raya,” kata Syukur. “Sebanyak 4.529 Ha juga berubah fungsi menjadi HGU PT Kallista Alam dan PT SPS.”
Selain untuk Pemerintah Aceh yang dianggap bertanggung jawab untuk menyelamatkan hutan rawa gambut tersebut, petisi dukungan untuk penyelamatan Rawa Tripa juga disodorkan kepada beberapa duta besar Indonesia di beberapa negara di Benua Eropa. “Agar pemerintah Indonesia lebih berkomitmen dalam menjaga kawasan lahan basah,” tutur Syukur.
Ketika ditanyai soal petisi yang digagas oleh Yayasan Apel Green Aceh, Juru Bicara PT SPS 2, Akmal Adnan, mengaku perlu berkoordinasi dengan manajemennya sebelum memberikan tanggapan resmi. Tempo juga mengejar konfirmasi dari Juru Bicara PT Kallista Alam, Suwarno, melalui pesan tertulis. Namun, belum dapat tanggapan hingga berita ini ditayangkan.