Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Pertanian Institute Pertanian Bogor (IPB) University, Profesor Dwi Andreas Santosa, menyangsikan rencana pemerintah membangun food estate di Merauke, Papua Selatan, dapat berhasil. Dia justru memprediksi proyek cetak sawah dan tebu seluas 2,29 juta hektare itu akan berakhir mangkrak seperti yang terjadi pada program sebelum-sebelumnya.
“Kesalahan yang sama mau diulang lagi, sehingga saya pastikan hasilnya nanti pasti gagal,” kata Andreas kepada Tempo pada Senin, 16 September 2024. Alasan Andreas ragu karena pemerintah tak pernah belajar dari kegagalan dalam membangun swasembada pangan. Ditambah, pemerintah hanya berorientasi membuka hutan sebagai lahan baru dengan menghabiskan anggaran puluhan triliun rupiah.
Kabar megaproyek food estate sawah dan tebu di Merauke mulai berembus sejak Juni lalu. Ketika itu, produsen alat berat asal Cina bernama Sany Heavy Industry Co Ltd menerbitkan siaran pers tentang pembelian 2.000 unit ekskavator oleh PT Jhonlin Group—korporasi tambang milik Andi Syamsuddin Arsyad atau dikenal Haji Isam. Alat berat itu akan digunakan membuka lahan pertanian seluas 1,18 juta hektare.
Terpisah, Presiden Joko Widodo lebih dulu memulai mencanangkan proyek tebu melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023. Regulasi tersebut mengatur pencanangan tambahan lahan tebu seluas 700 ribu hektare. Setelahnya, Jokowi menunjuk Menteri Investasi, yang saat itu dijabat Bahlil Lahadalia sebagai ketua satuan tugas untuk mengawal pembangunan kebun tebu dan pabrik bioetanol seluas 1,11 juta hektare di Merauke.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri acara 'Pembinaan Penyuluh Pertanian dan Petani serta Food Estate Partisipatif Provinsi Jawa Barat untuk Mendukung Peningkatan Produksi Padi dan Jagung Nasional' di Sumedang, Selasa, 30 Januari 2024. Dok. Tim Media Prabowo
Menurut Andreas, pelbagai rencana pemerintah tersebut tak masuk akal. Pertimbangannya, hamparan rencana sawah dan tebu seluas 2,29 juta hektare disebut terlampau luas, bahkan melebihi proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya 1,2 juta hektare. “Proyek MIFEE kan nol besar semua.”
Kegagalan yang sama juga terjadi pada proyek food estate di tempat lain. Misalnya cetak sawah di Kalimantan Tengah atau tebu untuk swasembada gula di Sulawesi Tenggara. Andreas lantas terkekeh menceritakan kebijakan paradoks pemerintah yang justru membuka keran impor gula mentah. Hal itu menempatkan Indonesia sebagai negara pengimpor gula terbesar di dunia.
Kesesuaian lahan Merauke untuk pertanian juga dipersoalkan oleh Andreas. Kata dia, merujuk pada kesesuaian agrokilmat—tingkat kecocokan unsur-unsur iklim untuk kehidupan tanaman di suatu lahan—dataran Merauke lebih banyak didominasi rawa dan padang savana. Sehingga jenis tanahnya dinilai kurang subur untuk tanaman pangan.
“Katakanlah dari sisi tanah, varietas tanamannya cocok dengan lahan di sana, tapi bagaimana dengan pengendalian hama yang luar biasa?” kata Andreas yang juga pakar bioteknologi tanah dan lingkungan tersebut.
Persoalan hama akan muncul pada tahun pertama hingga ketiga setelah pembukaan lahan sawah. Intensitas hama akan makin parah bila lahan yang digunakan merupakan bekas hutan rimba seperti di Merauke.
Masalah yang paling krusial adalah ketersediaan petani untuk menggarap lahan menjadi tebu dan sawah. Menurut dia, jumlah petani terbatas dan tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan lahan dalam skala yang luas. Andreas menghitung, sekurang-kurangnya butuh 2 juta petani, meski pemerintah menggunakan skema mekanisasi pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini