Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Top 3 Tekno dimulai dari topik tentang Teluk Kendari di Kota Kendari mengalami pendangkalan yang dramatis selama sekitar 20 tahun terakhir. Kedalaman maksimal perairan yang penting sebagai lokasi budidaya ikan lokal juga pelabuhan aktivitas tambang pasir dan nikel ini pernah terukur 23 meter pada 2003 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berita populer selanjutnya tentang sebuah meteor alias bintang jatuh dikabarkan terlihat melintasi daerah Yogyakarta, Solo, Magelang, dan Semarang, pada Sabtu malam 4 Mei 2024 sekitar pukul 10 malam. Fenomena yang terekam video amatir itu beredar di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat gelombang panas atau heatwave. Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG, kata dia, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
Teluk Kendari di kota Kendari mengalami pendangkalan yang dramatis selama sekitar 20 tahun terakhir. Kedalaman maksimal perairan yang penting sebagai lokasi budidaya ikan lokal juga pelabuhan aktivitas tambang pasir dan nikel ini pernah terukur 23 meter pada 2003 lalu.
Tapi pada 2021 lalu kedalamannya menyusut menjadi sekitar 5-10 meter. "Proses sedimentasi dalam periode 2006-2010 telah mencapai 110 ribu meter kubik per tahun," kata Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Aisyah, dikutip dari siaran pers, Senin 6 Mei 2024.
Aisyah menyampaikan, sedimen menjadi reservoir kontaminan dan bahan organik lainnya. Salah satu kontaminan yang dapat mengganggu ekosistem perairan di Teluk Kendari yaitu senyawa fosfor terlarut atau fosfor reaktif terlarut (Soluble Reactive Phosphorus, SRP). Hasil studi oleh peneliti lain pada 2013 lalu telah menunjukkan kadarnya 0,02 - 0,15 mg/L dan pada 2019 sebesar 0,01 - 0,26 mg/L.
“Ion fosfat ini mudah sekali mengalami imobilisasi oleh tanah membentuk suatu agregat yang lebih besar dan akan terbawa ke perairan Teluk Kendari dan akhirnya akan mengendap ke dasar perairan,” kata Siti.
Sebuah meteor alias bintang jatuh dikabarkan terlihat melintasi daerah Yogyakarta, Solo, Magelang, dan Semarang, pada Sabtu malam 4 Mei 2024 sekitar pukul 10 malam. Fenomena yang terekam video amatir itu beredar di media sosial.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bandung, Thomas Djamaluddin, menduga itu adalah meteor yang berpapasan dengan bumi. “Terbakar pada ketinggian sekitar 80 kilometer sehingga bisa terlihat di beberapa daerah,” ujarnya, Senin 6 Mei 2024.
Menurut Djamaluddin, benda langit yang terlihat warga pada malam hari itu bukan sampah antariksa. “Sampah antariksa biasanya pecah sehingga objek terbakar tidak tunggal,” kata dia. Dari sebuah rekaman video terlihat sebuah benda melesat dengan cepat di langit malam yang gelap. Benda terang berwarna putih itu juga memancarkan sinar kehijauan lalu lenyap. “Tampaknya habis terbakar di atmosfer, dari video tampak hanya menyala sebentar,” ujarnya.
Djamaluddin mengatakan, meteor itu tidak terkait dengan hujan meteor Eta Aquarids. Alasannya, hujan meteor itu baru akan muncul pada waktu dini hari. “Itu meteor sporadis,” kata dia.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat gelombang panas atau heatwave. Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG, kata dia, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
"Memang betul, saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52°Celcius. Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43°Celcius pada minggu ini. Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya," ungkap Dwikorita dikutip dari siaran pers, Senin, 6 Mei 2024.
Dwikorita menerangkan, kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara. Sehingga dimungkinkan terjadinya penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik. Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya gelombang panas di wilayah Kepulauan Indonesia.
Suhu panas saat ini, kata Dwikorita, adalah akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan. Suhu yang bikin “gerah” yang dirasakan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, tambah dia, hal tersebut juga merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau.