Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

newsletter

CekFakta #280 Kacamata Pintar, Inovasi Teknologi yang Rawan Langgar Privasi

Kacamata Pintar, Inovasi Teknologi yang Rawan Langgar Privasi

5 Oktober 2024 | 01.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu Smart Glasses alias Kacamata pintar merupakan konsep futuristik yang hanya ada di layar kaca atau sinema. Kini, teknologi ini benar-benar menjadi kenyataan, bahkan menawarkan berbagai fitur. Mulai dari navigasi augmented reality hingga komunikasi bebas tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun seiring kemajuan teknologi ini, muncul pula kekhawatiran terhadap privasi dan dilema etika penggunaannya. Salah satu yang dikhawatirkan adalah kemampuan teknologi pengenalan wajah yang tertanam dalam kacamata pintar yang rawan digunakan untuk pengawasan. Lalu, bagaimana kita bisa melindungi privasi di tengah gempuran teknologi ini?

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo

Kacamata Pintar, Inovasi Teknologi yang Rawan Langgar Privasi

Baru-baru ini, dua mahasiswa Universitas Harvard mengunggah temuan mereka mengutak-atik kacamata pintar. Dalam video yang diunggah di media sosial, Nguyen dan Caine Ardayfio memanfaatkan kemampuan kacamata merek Ray-Ban untuk melakukan streaming langsung video ke Instagram. Hasilnya, identitas, nomor telepon, dan alamat orang yang tertangkap kacamata pintar dapat terkuak.

Sebuah program komputer kemudian memantau streaming tersebut dan menggunakan AI untuk mengidentifikasi wajah. Foto-foto tersebut kemudian dimasukkan ke dalam basis data publik untuk menemukan nama, alamat, nomor telepon, dan bahkan kerabat. Informasi tersebut kemudian diumpankan kembali melalui aplikasi telepon. 

Dalam video demo tersebut, mereka dapat mengidentifikasi dengan cepat beberapa teman sekelas, alamat mereka, dan nama kerabat secara langsung. Yang mungkin lebih bikin khawatir, Nguyen dan Ardayfio juga terlihat mengobrol dengan orang asing di angkutan umum, berpura-pura seolah-olah mereka mengenal orang tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari teknologi tersebut. 

Hal baru dari demo Nguyen dan Ardayfio adalah bagaimana teknologi tersebut dipasangkan dengan gadget konsumen yang tersembunyi dan mudah diakses. 

Mahasiswa Harvard itu berargumen bahwa tujuan mereka membuat video demo itu ialah untuk meningkatkan kesadaran. Teknologi ini, kata mereka, bukanlah masa depan yang suram. Secara khusus, mereka menunjukkan bahwa I-XRAY unik karena model bahasa besar (LLM) memungkinkannya bekerja secara otomatis, menggambar hubungan antara nama dan foto dari sumber data yang luas. "Tujuan pembuatan alat ini bukan untuk disalahgunakan, dan kami tidak akan merilisnya," tulis Nguyen dan Ardafiyo dalam sebuah dokumen yang menjelaskan proyek tersebut

Persoalan privasi selalu menjadi sorotan di setiap pembahasan mengenai kacamata pintar. Sama halnya pada awal peluncuran Google Glass tahun 2014. Sebagian besar publik protes karena merasa direkam tanpa izin di tempat umum. 

Namun dalam satu dekade sejak itu, orang-orang terbukti malah sudah lebih terbiasa difilmkan akibat munculnya berbagai seri smartphone, vlogger, dan TikTok. Mungkin yang meresahkan dari teknologi kacamata pintar baru-baru ini, adalah realita bahwa kacamata itu tidak menonjol seperti Google Glass. Kacamata Ray-Ban Meta yang digunakan dalam demo ini tampak seperti sepasang Ray-Ban lainnya. 

Kacamata Meta memiliki fitur yang membuat orang tak bisa membedakan apakah dia sedang kamera ke arah wajah mereka. Meski dilengkapi lampu privasi yang otomatis menyala setiap kali merekam video, media The Verge menemukan bahwa lampu tersebut sulit terlihat saat kita berada di luar ruangan. Apalagi di tengah kondisi pencahayaan terang dan orang-orang tidak memperhatikan ketika kita sedang merekam di tempat umum yang ramai. 

Saat dikonfirmasi, Meta memperingatkan pengguna agar tidak bersikap tidak peduli dalam kebijakan privasi Ray-Ban. Meta menghimbau pengguna untuk "menghormati preferensi orang lain" dan memberi isyarat atau menggunakan kontrol suara saat merekam video, melakukan streaming langsung, atau mengambil foto. Namun, kenyataannya orang-orang juga dapat memilih untuk tidak mengikuti etika penggunaan kacamata, terlepas dari apa yang dikatakan Meta.

Selain itu, fitur perekaman audio pada kacamata pintar dapat menimbulkan masalah pelanggaran privasi. Rekaman yang tidak disengaja atau disengaja dari percakapan pribadi dapat digunakan untuk tujuan jahat, seperti pemerasan atau pencurian identitas. Pengumpulan dan berbagi data pribadi oleh kacamata pintar perlu jadi pertimbangan serius. Sebab perangkat ini dapat mengumpulkan sejumlah besar informasi, termasuk data lokasi, fitur wajah, dan rekaman audio.

Meskipun kacamata pintar menawarkan berbagai kemungkinan futuristik yang menarik, kita perlu menyadari potensi risiko dan dilema etika terkait penggunaannya. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus benar-benar bekerja sama untuk bertanggung jawab mengembangkan peraturan, pedoman, dan perlindungan yang tepat untuk melindungi privasi dan memastikan penggunaan teknologi ini. Dengan begitu, kita kelak bisa merasakan manfaat menggunakan teknologi kacamata pintar sembari tetap meminimalisir potensi kerugiannya.

Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab

Cek Fakta Pilihan

Benarkah Kasus Autoimun Meledak Pasca Vaksinasi Covid-19?

Sebuah akun di Facebook [arsip] mengunggah narasi tentang hubungan antara vaksinasi Covid-19 dengan penyakit autoimun. Pengunggah mengklaim bahwa semakin banyak ilmuwan yang melaporkan dalam penelitiannya terkait berbagai jenis penyakit autoimun dari yang paling ringan seperti dermatitis, hingga kelas Berat yang menimbulkan kerusakan organ, kelumpuhan, bahkan kematian. Hal tersebut disebabkan oleh reaktivitas silang antara protein SARS-CoV-2 dari vaksin dan protein manusia yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel organ dari level ringan hingga level berat.

| Hasil Pemeriksaan Fakta

Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi klaim di atas dengan mewawancarai peneliti virologi dan imunologi David Virya Chen. Menurut David, klaim bahwa autoimun merupakan efek samping dari vaksinasi Covid-19 tidak akurat. Menurut dia, untuk mengevaluasi secara keseluruhan efektivitas vaksin, membutuhkan waktu lama. Namun sejauh ini, vaksin Covid-19 memiliki risiko sangat kecil. 

Waktunya Trivia!

Benarkah Video yang Diklaim Azan Menyerupai Islam di Gereja Kalimantan Barat?

Sebuah video beredar di WhatsApp dan YouTube yang diklaim sebuah gereja di Kalimantan Barat mengumandangkan azan menyerupai umat Islam. Video itu beredar dengan judul “Cuma di NKRI, gereja di Kalimantan Barat menyerupai azan umat Islam”. Video itu memperlihatkan sejumlah orang memasuki gereja yang memiliki pilar-pilar tinggi dengan tanda papan bertuliskan Gereja Katedral Santo Yoseph. Terdengar suara panggilan ibadah dalam bahasa Arab. Video itu memuat narasi: “Marilah kita shalat setiap hari minggu di gereja ini”.

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus