ADAKAH perbulutangkisan di Indonesia mulai membaik? Di turnamen Pelita Mahakam Indonesia Terbuka yang berakhir Ahad lalu di Samarinda, gelar bergengsi tunggal putra jatuh di tangan pemain Indonesia. Sejak semifinal empat pemain di nomor itu sudah direbut Indonesia. Di final kemudian bertarung Eddy melawan Ardi. Sementara itu, di ganda campuran juga terjadi all Indonesian final antara pasangan Aryono/Erma dan Rosiana Tendean/Gunawan. Lalu di tunggal putri Susi Susanti berduel lawan pemain Korea Selatan Lee Young-Suk. Di ganda putra pasangan Reoni/Thomas Mainaki menantang pasangan kuat Malaysia Razif/Jalani Sidek. Adapun di nomor ganda putri, pasangan Indonesia juga masuk final: Rosiana/Erma bertarung melawan Chung Myung-Hee/Chung Soo-Young dari Kor-Sel. Dengan demikian, di semua nomor, Indonesia menempatkan pemainnya di final -- sebuah prestasi yang bagus. "Saya merasa lega para pemain pelatnas bisa meraih gelar di sini," ujar Ketua Bidang Pembinaan PBSI, M.F. Siregar, kepada Rizal Effendy dari TEMPO. Siregar sebelumnya sempat gusar dengan prestasi pemain yang anjlok di Muangthai dan Malaysia Terbuka -- tidak mampu mencapai final. Namun, turnamen ini punya "cacat", sehingga tak bisa dijadikan tolok ukur. Tidak semua pemain terbaik dunia hadir di Samarinda. Pemain Cina seperti Yang Yang, Huang Hua, Li Yongbo, absen. Begitu pula Morten Frost Hansen (Denmark) dan Foo Kok Keong (Malaysia). Terlepas dari "cacat" tadi, keberhasilan pasangan muda Reoni dan Thomas Mainaki sampai di final ganda putra memang memberikan angin segar. Akan halnya pemain-pemdin muda seperti Alan Budi Kusuma, Ardi B.W., dan Joko Supriyanto, jikapun belakangan ini sering gagal, menurut Siregar karena mereka baru memasuki tahap pematangan juara. Mereka mudah dipengaruhi dan dikalahkan oleh suasana. Apakah itu karena shutlecock, perlakuan kurang adil dari wasit, ataupun ulah penonton. "Padahal, untuk menjadi juara sejati, bermain di mana pun, daerah tropis, di salju, bahkan di bulan, harus tahan segala cuaca. Dan pemain tidak boleh cengeng," tambah Siregar. Siregar melihat dampak kekalahan sejak dari putaran final Piala Uber dan Thomas di Tokyo, hingga Muangthai dan Malaysia Terbuka, masih terasa. Akibatnya, ada rasa kurang percaya diri yang membuat penampilan mereka tidak stabil. Dari segi teknik, fisik, taktik, dan strategi bertanding, pemain Indonesia tidak berbeda dengan pemain top dunia lainnya. Itu bisa dilihat dari delapan kali turnamen grand prix bulu tangkis yang sudah digelar hingga akhir Juli ini, ada pemerataan pemenang, khususnya di tunggal putra. Morten Frost Hansen juara di Jepang Terbuka, Eddy Kurniawan (Taiwan Terbuka), Foo Kok Keong (Prancis Terbuka), Ardi B.W. (Australia Terbuka). Pada kejuaraan Indonesia Terbuka di Samarinda ini, PBSI menyertakan tiga lapisan pemain. Lapisan pertama, angkatan Eddy Kurniawan, Eddy Hartono, dan Gunawan. Lapisan kedua, Alan B.K., Ardi B.W., Joko Supriyanto. Dan lapisan ketiga, Haryanto Arbi, Bambang Supriyanto, Reoni, dan Thomas Mainaki. "Saya kira pola inilah yang membuat pengurus PBSI selalu siap dalam masalah regenerasi," ujar Siregar. Apalagi target utama kepengurusan PBSI kali ini ialah merebut emas di Olimpiade Barcelona 1992. Lapisan bawah sudah menunjukkan tanda-tanda bagus. Bambang Supriyanto, misalnya, di babak perdelapan final sudah menundukkan juara All England Zhao Jianhua dari Cina. Tapi, adakah itu pertanda perbulutangkisan di Indonesia membaik, masih sulit dijawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini