Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Arena panjat tebing Pekan Olahraga Nasional 2024 (PON 2024) sempat menghadirkan Bim Sigrid dan Widia Fujiyanti, suami istri yang bahu membahu mengejar medali. Usaha mereka pun berbuah cukup manis: medali perunggu di nomor combined (boulder and lead) mix.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bim Sigrid dan Widia sama-sama membela Jawa Barat. Ketika menerima medali di atas podium, 12 September lalu, Widia tampak sumringah, sembari sesekali menyeka keringat di wajah sang suami. Demikian pula Bim yang tak melepaskan senyumnya di hadapan penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada nomor itu, mereka menyumbangkan medali perunggu untuk Jabar, sedangkan medali emas diraih oleh kontingen Jawa Timur dan medali perak digondol kontingen Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski hanya mendapatkan medali perunggu, mereka mengaku sangat senang dan bahagia karena bisa berada satu podium di ajang pesta olahraga nasional empat tahunan.
Apalagi, Bim dan Widia sebelumnya tak mengetahui jika ternyata bakal dipasangkan pada nomor combined (B&L) mix yang merupakan nomor baru di PON Aceh-Sumut.
"Seneng banget ya, enggak nyangka. Karena untuk kasih tahu kabar kami turun itu satu hari sebelum pertandingan. Jadi, pas dikasih tahu saya main sama suami seneng banget. Apalagi, sekarang bisa di podium bareng," kata Widia, yang juga meraih perak nomor combine (boulder and lead) perorangan putri.
Bagi mereka, PON Aceh-Sumut merupakan PON ketiga yang sama-sama mereka ikuti. Namun, selama itu belum pernah berada bareng pada satu podium.
Mereka pun tak segan ketika beberapa fotografer meminta berpose sedikit lebih mesra untuk mengabadikan gambar di atas podium.
Widia langsung merangkul dan menempelkan kepalanya ke kepala sang suami, sembari berpose manja memamerkan medali yang baru saja mereka raih.
Selanjutnya: Suami Istri satu frekuensi
Sebagai atlet yang sama-sama berkecimpung di cabang olahraga panjat tebing, tentunya mereka memiliki banyak kesamaan dan berada dalam satu frekuensi.
Kebetulan, keduanya juga sama-sama kelahiran Bogor, Jabar. Widya lahir 5 Januari 1999, sedangkan Bim lahir 2 Desember 1993.
Aktivitas olahraga panjat tebing di Bogor pula yang mempertemukan mereka, apalagi ketika 2016 sama-sama mengikuti pelatihan daerah (pelatda) di Jabar yang membuat keduanya semakin intens bertemu dan semakin dekat.
Setidaknya butuh waktu empat tahun bagi mereka untuk saling mengenal dan berpacaran sebelum akhirnya memutuskan serius melangkah ke jenjang pernikahan pada 26 Februari 2022.
"Sebenarnya lebih karena satu frekuensi, satu perasaan dan pandangan terhadap manjat. Kebetulan, untungnya profesi sama-sama panjat tebing. Jadi, bisa saling 'support' kalau di latihan, bisa saling semangat (menyemangati, red.)," kata Widia.
Meski berada di dunia yang sama, yakni panjat tebing, bukan berarti mereka tidak pernah berantem. Bahkan, keduanya justru sering berantem ketika latihan.
Kalau di pelatda memang latihannya terpisah antara tim putra dan putri, tetapi ketika di rumah mereka pasti berlatih bareng.
"Kebetulan kami punya tempat latihan sendiri di rumah. Awal-awal waktu sebelum dipanggil pelatda di Jabar kami latihan di rumah," kata Bim.
Widia pun sudah menganggap suaminya sebagai sang pelatih ketika berlatih bareng di rumah, dan Bim tentunya menginginkan yang terbaik untuk sang istri tercinta.
"Mungkin, kalau saya ngadepin (melatih, red.) orang yang cuma kenal atau apa kan biasa aja. Tapi karena istri, saya saya pengen yang terbaik. Nah, akhirnya keluar egonya," tambah Bim.
Namun, sebagai seorang perempuan terkadang muncul perasaan Widia ingin dimanja dan tak ingin dimarahi sehingga acapkali terbawa perasaan yang membuat pertengkaran.
"Jadi, lebih ke sana aja. Sisanya, setelah latihan, ya udah enggak berantem lagi. Beres latihan udah makan bareng, udah selesai," kata Widia terkekeh.
Selanjutnya: Buka klub panjat tebing
Selepas PON Aceh Sumut, mereka berkeinginan untuk rehat dan membuat semacam klub memanjat untuk umum sehingga bisa lebih memasyarakatkan olahraga tersebut.
"Kalau aku mungkin kalau punya rezeki di sini pengen bikin 'climbing gym'. Jadi, pengen ngebangun, bisa menciptakan atlet lain yang baru dan bisa membantu orang yang (ingin belajar, red.) panjat tebing," ujar Widia.
Bim pun mendukung impian istrinya itu untuk membuat semacam klub memanjat, dan sejauh ini masih mencari lokasi yang sekiranya pas.
"Apa di Bogor, ya, pokoknya masih di wilayah Jabar. Enggak tahu di mana, tapi pokoknya masih di wilayah Indonesia aja," kata Bim, seraya bercanda.
Mengenai keinginan beristirahat usai PON Aceh-Sumut, mereka memang sudah memantapkan diri dengan keputusannya itu, apalagi Bim yang memang ingin kembali ke dunianya semula, yakni panjat alam.
Bim mengaku sejak awal memang hobi memanjat tebing di alam, dan bisa menjadi atlet panjat tebing dianggapnya sebagai bonus yang membuatnya bisa merasakan berbagai kejuaraan tingkat nasional maupun internasional.
Setidaknya sudah 20 tahunan Bim menekuni dunia panjat tebing, sedangkan sang istri juga sudah 15 tahun sehingga mereka berdua ingin beristirahat dari kompetisi.
"Saya mau istirahat dulu (selepas PON Aceh-Sumut, red.). Mau mencoba sesuatu yang baru. Karena perjalanan kami juga sudah lumayan panjang di panjat tebing. Saya 15 tahunan, dia (suami, red.) 20 tahunan," kata Widia.
Selain itu, Widia pun berencana untuk program kehamilan karena setelah menikah dulu memang menunda untuk punya anak, sebab mereka langsung dipersiapkan pelatda mewakili Jabar untuk PON Aceh-Sumut.
Semoga cita-cita Bim dan Widia untuk mendirikan sekolah atau klub memanjat bisa terealisasi sehingga semakin memasyarakatkan olahraga panjat tebing yang berpotensi menyumbang banyak medali di setiap kejuaraan.
Apalagi, Ketua Umum Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Yenny Wahid juga mengungkapkan bahwa olahraga panjat tebing saat ini semakin diminati masyarakat dengan bermunculannya klub-klub di daerah yang didirikan oleh pada mantan atlet.