Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Futikhah, peracik takjil puasa Ramadan Masjid Sabilurrosyaad, mengaduk bubur lembut di panci. Dibantu sekitar 30 ibu lainnya warga Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, Yogyakarta, Futikhah menyiapkan makanan khas yang hanya ada di bulan puasa, yakni bubur lodeh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memasak bubur itu bersama warga di kompleks masjid yang dibangun pada pertengahan abad ke-15 atau sekitar 1400 Masehi tersebut. Masjid ini merupakan peninggalan murid Sunan Kalijaga, Panembahan Bodho, yang bernama asli Adipati Trenggono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bubur beras itu dimasak secara bergotong royong menggunakan kayu bakar. Jumat sore, 25 Mei lalu, para ibu menata 400 porsi bubur yang dicampur dengan sayur lodeh. Di Jawa, sayur lodeh, yang berbumbu santan berwarna kuning, sangat populer dan digemari.
Sayur lodeh itu menggunakan irisan 200 batang tempe dan 1 kilogram krecek atau rambak (kulit sapi). Makanan gurih ini dimasak dengan garam dan daun salam yang memberi aroma harum. Telur puyuh dan 5 kilogram mi lethek, mi khas Bantul, menjadi lauk tambahan.
Semua bahan bubur, sayur lodeh, dan tambahan lauk berasal dari hasil uang sedekah. "Takjil bubur lodeh tak hanya digemari penduduk Pandak, tapi juga jemaah yang datang dari Solo, Magelang, Semarang, dan Jakarta," kata Futikhah, 52 tahun.
Bubur sayur lodeh khas Masjid Sabilurrosyaad mempunyai makna filosofis. Menurut Ketua Takmir Masjid Sabilurrosyaad, Hariadi, 51 tahun, bubur berasal dari kata "beber", yakni menjelaskan ajaran Islam. Bubur juga berasal dari kata "babar", yang punya arti merata. Ajaran Islam, kata Hariadi, disampaikan merata untuk semua lapisan masyarakat.
Bubur yang bertekstur lembut dan halus menyimbolkan ajaran agama yang disampaikan dengan lemah lembut, bukan dengan cara kasar. Bubur dengan citarasa khas yang lembut cocok untuk perut setiap orang yang menyantapnya. "Hal itu seperti ajaran Islam para Wali Songo yang damai dan lembut. Tak menimbulkan gejolak dan orang memahaminya dengan enak," ujar Hariadi.
Sayur lodeh juga punya arti, yakni mengajak orang untuk mawas diri. Hariadi ingat, ketika era reformasi bergulir, Sultan Hamengku Buwono X menganjurkan masyarakat Yogyakarta untuk memasak sayur lodeh sebagai simbol mawas diri.
Syiar Islam para Wali Songo ditularkan Panembahan Bodho di Pandak, Bantul. Seperti para Wali Songo, Panembahan Bodho juga menggunakan pendekatan budaya untuk menyampaikan ajaran Islam, bukan melalui pendekatan politis atau kekuasaan.
Di antaranya melalui simbol-simbol yang sudah menjadi tradisi dan hingga kini masih dipertahankan. Wali Songo dikenal menyebarkan agama Islam melalui kesenian tradisional gamelan dan wayang."Syiar Islam seperti itu lebih mudah meresap dan enak dipahami," Hariadi menambahkan.
Panembahan Bodho adalah gelar yang diberikan oleh Panembahan Senopati. Menjelang puasa, warga Pandak rutin menggelar tradisi nyadran ke makam Panembahan Bodho yang lokasinya tak jauh dari Masjid Sabilurrosyaad.
Untuk menuju masjid ini setidaknya diperlukan waktu sekitar satu jam dari pusat Kota Yogyakarta. Menurut Hariadi, Masjid Sabilurrosyaad punya arti jalannya petunjuk. Awal-awal masjid ini berdiri bernama Masjid Kauman, yang berarti kaum atau pemimpin agama. Dahulu di sekitar masjid ini terdapat pondok pesantren. Tapi kini pesantren itu sudah tidak ada.
Lauk tambahan bubur sayur lodeh berkembang seiring dengan perubahan zaman. Masjid ini punya pengalaman menyajikan makanan takjil selain bubur pada bulan puasa lima tahun silam. Menu takjil berupa nasi dan gule itu berasal dari dana sedekah para donatur. Tapi menu itu tak cocok di lidah dan perut masyarakat.
Menu takjil itu disajikan ketika perayaan selikuran atau memasuki 10 hari terakhir Ramadan. "Masyarakat memprotes. Banyak yang tidak mau makan nasi dan gule," tutur Hariadi.
Bubur lodeh dihidangkan selama satu bulan penuh Ramadan. Porsi bubur lodeh yang disajikan pada Jumat biasanya lebih banyak ketimbang hari biasa karena diyakini Jumat merupakan hari yang baik dan penuh pahala. Sebanyak 400 porsi bubur lodeh disajikan pada Jumat dan 120 porsi pada hari biasa.
Dari tahun ke tahun, jumlah porsi bubur lodeh yang disiapkan terus meningkat. Misalnya pada 1980-an, panitia takjil menyiapkan 3 kilogram beras untuk bahan baku bubur. Kini bisa mencapai 10 kilogram.
Tradisi takjil ini, ucap Hariadi, menambah persaudaraan antar-umat. Selain jemaah dari berbagai daerah, masjid ini dikunjungi wisatawan mancanegara. Di antara mereka yang datang sore itu berasal dari Thailand dan Malaysia. Mereka mendapatkan informasi tradisi takjil bubur lodeh dari televisi dan media massa. "Tradisi ini menjadi aset wisata religi dan budaya." SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo