Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung mengungkapkan kerugian negara akibat dugaan korupsi minyak di Pertamina bisa lebih besar dari Rp 193,7 triliun. Angka tersebut baru mencakup kerugian pada tahun 2023, sementara periode korupsi terjadi dari tahun 2018 hingga 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya, berarti, kan, bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," kata Harli kepada awak media di Kejagung, Jakarta Selatan pada Rabu, 26 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apabila angka tersebut dikali lima, sesuai rentan waktu terjadinya perkara, maka kerugian bisa mencapai sekitar Rp 968,5 triliun atau hampir 1 kuadriliun. Meski begitu, belum ada konfirmasi dari Kejagung soal total kerugian negara akibat Pertamax oplosan. Harli pun mengatakan hal itu masih perlu diperiksa lebih lanjut. "Tentu ahli keuangan yang akan menghitungnya," kata dia.
Kerugian negara berasal dari berbagai komponen, termasuk ekspor dan impor minyak mentah, serta pemberian kompensasi dan subsidi. Tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, termasuk beberapa pejabat Pertamina dan pihak broker.
Dalam sistem bilangan besar, triliun merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut angka setara dengan 1.000 miliar atau dituliskan dengan 12 angka nol (1.000.000.000.000). Namun, bagaimana penyebutan bilangan yang lebih besar dari triliun?
Secara umum, terdapat dua sistem utama dalam penyebutan bilangan besar, yaitu sistem yang digunakan di Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis serta sistem yang digunakan di Inggris, Belanda, dan Jerman. Kedua sistem ini memiliki perbedaan dalam skala dan penyebutan angka.
Sistem Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis
Dalam sistem ini, setiap peningkatan bilangan besar dihitung sebagai seribu kali lipat dari bilangan sebelumnya. Berikut adalah urutan penyebutan bilangan dalam sistem ini:
1. Triliun (1.000 miliar atau 10¹²)
2. Kuadriliun (1.000 triliun atau 10¹)
3. Kuintiliun (1.000 kuadriliun atau 10¹)
4. Sextiliun (1.000 kuintiliun atau 10²±)
5. Septiliun (1.000 sextiliun atau 10²)
6. Oktiliun (1.000 septiliun atau 10²)
7. Noniliun (1.000 oktiliun atau 10³)
8. Desiliun (1.000 noniliun atau 10³³)
Setiap penambahan awalan (quadri-, quinti-, sexti-, dan seterusnya) menunjukkan peningkatan tiga digit nol tambahan atau peningkatan dengan kelipatan seribu dari angka sebelumnya.
Sistem Inggris, Belanda, dan Jerman
Berbeda dengan sistem Amerika, sistem ini menggunakan skala panjang di mana setiap peningkatan satuan bilangan besar bernilai sejuta kali lipat dari bilangan sebelumnya. Sebagai contoh:
1. Miliar (1.000 juta atau 10)
2. Biliun (1.000 miliar atau 10¹²)
3. Triliun (1.000 biliun atau 10¹)
4. Kuadriliun (1.000 triliun atau 10²……)
5. Kuintiliun (1.000 kuadriliun atau 10³……)
Dalam sistem ini, triliun setara dengan sejuta miliar atau 10¹, bukan seribu miliar seperti dalam sistem Amerika.
Indonesia, yang merupakan bekas jajahan Belanda, awalnya mengikuti sistem yang digunakan di Belanda. Oleh karena itu, istilah "miliar" digunakan di Indonesia alih-alih "biliun" seperti dalam sistem Amerika. Namun, sejak tahun 1978, terjadi perubahan dalam sistem penyebutan bilangan besar di Indonesia.
Ketika Menteri Keuangan Indonesia pada waktu itu kembali dari perundingan dengan pejabat IMF dan Bank Dunia, ia memperkenalkan istilah "triliun" dalam perhitungan ekonomi nasional. Istilah ini diadopsi dari sistem Amerika, di mana triliun setara dengan seribu miliar (10¹²).
Akibatnya, sistem bilangan besar di Indonesia saat ini menjadi campuran antara sistem Belanda dan sistem Amerika:
- Hingga bilangan miliar, Indonesia mengikuti sistem Belanda.
- Setelah miliar, Indonesia beralih ke sistem Amerika, di mana triliun berarti seribu miliar, bukan sejuta miliar seperti dalam sistem Eropa.
Karena pencampuran sistem ini, banyak masyarakat yang masih bingung dalam membedakan sistem penyebutan bilangan besar. Oleh karena itu, dalam dunia akademik dan sains, penulisan bilangan besar sering kali menggunakan notasi ilmiah seperti 10¹² untuk menghindari ambiguitas.
Amelia Rahima Sari dan Hendrik Khoirul Muhid berkontribusi dalam penulisan artikel ini.