Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA memiliki menu masakan tradisional yang beragam. Namun makanan yang biasa disajikan setelah dimasak itu hanya memiliki daya tahan beberapa hari. Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengoptimalkan pangan berbahan lokal tersebut dengan teknologi pengawetan dalam kemasan kaleng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim dari Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) LIPI di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengembangkan teknologi pengalengan makanan tradisional dengan proses sterilisasi dan pengawetan tanpa bahan kimia. “Proses pengawetan dengan pendekatan fisika, bermain di tekanan dan suhu,” kata Kepala BPTBA LIPI Satriyo Krido Wahono, Selasa, 10 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengawetan dengan metode fisika itu membuat makanan dalam kaleng memiliki masa konsumsi lebih panjang. Penggunaan tekanan dan suhu tinggi bisa membunuh bakteri yang menyebabkan makanan cepat basi. Satriyo menjamin makanan tradisional yang dikemas timnya juga tidak mengandung penguat rasa monosodium glutamat. “Sejak awal kami minta klien yang ingin mengalengkan produknya tidak memakai MSG,” ujarnya.
Para peneliti LIPI mengadakan riset pengawetan makanan dalam kemasan kaleng sejak 1980-an. Saat itu, yang menjadi bahan riset adalah produk olahan tempe seperti kari tempe dan tempe bacem. Pada 2006, mereka berfokus mengalengkan makanan tradisional Indonesia, seperti gudeg, mangut lele, sayur tempe cabai hijau, dan kari tempe.
Menu Tradisional dalam Kaleng
BPTBA LIPI menjalin kerja sama pengalengan makanan dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dari berbagai daerah. Kini ada lebih dari seratus jenis masakan tradisional yang telah dikalengkan. Makanan itu antara lain papeda ikan kuah kuning dari Bintuni, Papua Barat; geseng tongkol asap dari Probolinggo, Jawa Timur; dan sayur gangan dari Bangka Belitung.
Satriyo mengatakan proses pengawetan bergantung pada isi dan komposisi masakan. Durasi rata-rata pengalengan berlangsung antara 10 dan 20 menit. Makanan yang terlalu lama mendapat tekanan tinggi dalam suhu panas bisa hancur. “Yang unik itu mengalengkan gudeg. Sebab, isinya multimaterial. Ada telur rebus utuh, krecek, nangka, ayam,” ucapnya.
Peluang pengalengan makanan tradisional lain, menurut Satriyo, terbuka lebar. Makanan basah ternyata lebih mudah dikalengkan. Adapun makanan yang saat ini paling sulit dikalengkan adalah produk berbahan dasar buah yang mengandung asam. Makanan seperti ini membutuhkan kemasan kaleng dengan lapisan khusus yang berbeda dengan wadah untuk masakan. “Kami akan mengeksplorasi tipe-tipe wadah dan proses pengawetan untuk mengakomodasi makanan seperti ini,” tuturnya.
Meski makanan sudah melalui proses pengawetan dengan tekanan dan suhu tinggi, tanggal kedaluwarsa tetap dicantumkan. Satriyo menjelaskan, periode kedaluwarsa yang dipakai adalah satu tahun sesuai dengan aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Tapi kami pernah membuka makanan kaleng yang usianya lebih dari empat tahun, kondisinya masih baik, dimakan pun tidak membuat perut sakit,” katanya.
Menu Tradisional dalam Kaleng
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo