Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Liga 1 Indonesia telah berakhir pada 12 November 2017 lalu dengan menelurkan klub debutan Bhayangkara FC, sebagai juaranya. Mengajak Go-Jek dan Traveloka sebagai sponsor utama, Liga ini menampilkan 18 klub dengan total 306 pertandingan selama periode April 2017 hingga November 2017.
Tiga klub harus angkat kaki dari Liga 1 Indonesia di akhir musim. Mereka adalah Semen Padang, Persiba Balikpapan, dan Persegres Gresik. Meski begitu, tiga klub dengan basis massa besar dipastikan akan ke promosi untuk meramaikan musim berikutnya. Ketiga klub itu adalah, Persebaya Surabaya, PSMS Medan, dan PSIS Semarang.
Diwarnai dengan kedatangan marquee player di sejumlah klub hingga tragedi meninggalnya kiper sekaligus kapten Persela Lamongan, Choirul Huda, Liga 1 Indonesia disebut-sebut sebagai liga paling kompetitif di Asia Tenggara pada 2017 ini. Meski begitu, sejumlah kontroversi ikut hadir.
Mulai dari kemenangan Bhayangkara FC yang dinilai mendapat campur tangan PSSI, juga regulasi yang dinilai masih plin plan dari operator Liga, menjadi kritik tajam. Selain itu tragedi kekerasan di sepakbola Indonesia, juga masih terjadi. Korban jiwa juga masih jatuh di kalangan suporter.
Berikut beberapa catatan kejadian penting di Liga 1 Indonesia:
1. Marquee Player
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) membuat regulasi baru pada Liga 1 Indonesia, yang memperbolehkan setiap klub merekrut empat pemain asing. Dua merupakan pemain asing non-asia, satu pemain asing Asia, dan satu marquee player.
Marquee play merujuk pada pemain yang dinilai berkelas dunia dan pernah berlaga di Piala Dunia. Pemain itu didatangkan memang dimaksudkan untuk mendongkrak pemasukan keuangan dan performa klub. Beberapa klub besar pun langsung berburu pemain-pemain elit.
Yang paling fenomenal adalah kedatangan eks gelandang Chelsea dan Real Madrid asal Ghana, Michael Essien. Essien menjadi tambahan motor di lini tengah Maung Bandung. Namun sayang, penampilan Essien gagal mendongkrak permainan Persib dan membuat mereka finis di ke 13.
Beda cerita dengan marquee player yang didatangkan oleh Bhayangkara FC, Paulo Sergio Moreira Goncalves. Pemain berusia 33 tahun asal Portugal itu tampil menawan dan di akhir Liga meraih predikat sebagai pemain terbaik Liga 1 Indonesia.
Ada pula nama besar seperti Peter Odemwingie yang direkrut oleh Madura United. Pemain jebolan Liga Inggris itu tampil impresif dengan catatan 15 gol dan 8 assist dari 23 kali penampilannya. Namun sayangnya, kisah manis Odemwingie harus diakhiri dengan sedikit konflik.
Meski begitu, Ketua PSSI Edy Rahmayadi mengatakan regulasi ini masih mungkin akan dilanjutkan di Liga 1 musim mendatang. "Marquee player nanti dibahas. Itu salah satu industri TV supaya rating naik. Nanti dievaluasi naik gak ratingnya? Kalau evaluasi baik kita tambah," kata Edy.
2. Kiper Persela Lamongan Choirul Huda Tewas
Perjalanan Liga 1 Indonesia diwarnai dengan tragedi tewasnya kiper sekaligus kapten Persela Lamongan, Choirul Huda. Membela satu klub sepanjang karirnya, Huda harus menutup usia di umur 38 tahun.
Perjalanan Liga 1 Indonesia diwarnai dengan tragedi tewasnya kiper sekaligus kapten Persela Lamongan, Choirul Huda. Membela satu klub sepanjang karirnya, Huda harus menutup usia di umur 38 tahun.
Pada 15 Oktober 2017, Huda bertabrakan dengan bek sesama pemain Persela, Ramon Rodrigues, dalam laga kontra Semen Padang. Tabrakan itu membuat Huda kolaps di lapangan. Tim media pun bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat. Namun nyawanya tak tertolong meski telah mendapat pertolongan. Ia dinyatakan tewas karena hypoxia atau kekurangan oksigen, akibat benturan itu.
Kejadian ini sontak membuat LA Mania dan Persela berduka. Sejumlah pemain bola luar negeri seperti Petr Cech hingga Paul Pogba turut menyatakan bela sungkawa. Sejumlah laga amal hingga berbagai tribute digelar bagi Huda, yang disebut sebagai simbol loyalitas dalam sepakbola atau one man one club.
Kejadian ini juga sempat membuat dunia medis di sepakbola Indonesia mendapat sorotan. Profesionalisme dan standarisasi pertolongan pertama bagi pemain yang cedera mendapat evaluasi besar-beesaran.
3. Polemik Juara Bhayangkara FC
Titel juara Liga 1 Indonesia yang diraih Bhayangkara diwarnai beberapa polemik. Persaingan ketat perebutan gelar juara terjadi antara lima klub menjelang akhir musim. Selain Bhayangkara, ada Bali United, Madura United, PSM Makassar, dan Persija Jakarta yang saling susul menyusul dengan perbedaan poin tipis.
Namun polemik muncul saat laga Mitra Kukar vs Bhayangkara di pekan ke 33. Pertandingan ini berakhir 1-1. Namun beberapa hari kemudian Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman berupa WO dan kekalahan 0-3 dalam laga itu kepada Mitra Kukar. Pasalnya, Komdis menilai Mitra memainkan pemain yang seharusnya masih menjalani sanksi bermain, yaitu Mohamed Lamine Sissoko.
Hukuman WO dan denda Rp 100 juta bagi Mitra Kukar ini menjadi polemik. Pasalnya, Bhayangkara yang awalnya bersaing ketat dengan Bali United dalam perebutan titel juara, menjadi diuntungkan secara poin. Puncaknya, Bhayangkara memastikan diri tak terkejar dan memastikan titel juara setelah di laga selanjutnya menang 3-1 melawan Madura United.
4. Sylvano Comvalius Pecahkan Rekor Peri Sandria
Striker asing Bali United asal Belanda, Sylvano Comvalius, menjadi bintang dalam Liga 1 Indonesia musim 2017. Selain membawa Bali menempati posisi dua klasemen, ia juga menorehkan catatan gol impresif dengan 37 gol dari 34 pertandingan.
Hal ini membuat Comvalius menjadi top skor Liga 1 Indonesia dan memecahkan rekor gol terbanyak di Liga Indonesia dalam satu musim. Sebelumnya, rekor dipegang striker lokal Peri Sandria pada musim 1994-1995 saat membela Bandung Raya, dengan catatan 34 gol.
Comvalius merasa penampilannya itu serasa mimpi. Pasalnya itu adalah musim pertama dia bermain di Indonesia. "Ini musim yang bagaikan mimpi, mencetak gol sebegitu banyak. Saya sangat senang," kata dia.
Meski begitu, Comvalius memastikan tak akan berlaga di Liga 1 Indonesia di musim mendatang, setelag resmi menerima pinangan klub asal Thailand, Suphanburi FC.
5. Bentrok Suporter Memakan Korban
Kekerasan dalam sepakbola kembali masih terjadi sepanjang 2017. Kasus terakhir yang menelan korban jiwa adalah Banu Rusman, yang merupakan anggota Laskar Benteng Viola, suporter Persita Tangerang. Ia tewas setelah terlibat kerusuhan antar suporter di pertandingan Liga 2 antara Persita vs PSMS Medan pada 11 Oktober 2017.
Dari data Lembaga Penelitian dan Penelitian Save Our Soccer (SOS), Banu merupakan korban ke-65 dari sepak bola Indonesia, sejak Liga Indonesia digulirkan pada 1994/1995. Di tahun 2017 ini, tercatat adanya kematian Ricko Andrean Maulana, suporter Persib Bandung. Ia tewas karena dikeroyok saat laga Persib kontra Persija Jakarta pada Juli 2017 lalu.
Pada awal. September 2017 lalu, nama Catur Yuliantono menambah panjang daftar korban meninggal. Saat Timnas Indonesia menghadapi Fiji di partai persahabatan, Catur terkena kembang api suar yang menyasar ke arahnya. Polisi telah menangkap suporter lain yang menembakan kembang api itu.
Dari data SOS, selama 2017 saja sudah 11 korban tewas di sepak bola Indonesia. Terbanyak kedua, setelah 2012 yang mengorbankan 12 nyawa.
6. Penggunaan Wasit Asing
Musim 2017 ini PSSI menerapkan tambahan berupa adanya enam wasit asing pada paruh kedua musim. Keenam wasit ini berasal dari Australia, Iran hingga Kyrgyzstan. Wasit asing ini diharapkan PSSI dapat meningkatkan mutu kompetisi Liga.
Meski begitu, sejumlah kontroversi datang dari kepemimpinan wasit asing ini. Yang paling terkenal adalah saat laga Persija vs Persib di pekan ke 33. Wasit asal Australia, Shaun Evans, menghentikan pertandingan setelah pemain Persib menolak melanjutkan laga.
Pemain Persib memprotes kepemimpinan wasit yang dinilai merugikan mereka, termasuk tidak menganggap gol striker Persib Ezechiel Ndouassel. Komdis PSSI pun akhirnya memutuskan Persib kalah WO 3-0 dari Persija Jakarta.
Tak hanya Shaun Evans yang mendapat protes atas kepemimpinannya. Wasit asal Iran Hasan Akrami, juga diprotes saat laga Madura United kontra Borneo FC. Bahkan Akrami mendapat serangan fisik dari suporter Madura United yang masuk ke lapangan. Pemain dan manajemen Madura pun nyaris ikut terlibat dalam kekerasan ini.
7. Penghapusan Kewajiban Menggunakan Pemain U-23
Pada awal bergulirnya Liga 1, PSSI mengharuskan setiap klub menggunakan pemain dibawah usia 23 tahun atau U-23 dalam setiap pertandingan. Aturan ini mendapat respon baik karena dinilai memberikan kesempatan yang luas kepada para pemain muda.
Sebagai konsekuensinya, PSSI juga menambahkan jumlah pergantian pemain pada pertandingan yang biasanya 3 pemain menjadi 7 pemain.
Pada awal bergulirnya Liga 1, PSSI mengharuskan setiap klub menggunakan pemain dibawah usia 23 tahun atau U-23 dalam setiap pertandingan. Aturan ini mendapat respon baik karena dinilai memberikan kesempatan yang luas kepada para pemain muda.
Sebagai konsekuensinya, PSSI juga menambahkan jumlah pergantian pemain pada pertandingan yang biasanya 3 pemain menjadi 7 pemain.
Namun ditengah jalan aturan itu dicabut. PSSI beralasan bahwa aturan penggunaan pemain U-23 dimaksudkan untuk memudahkan proses pembentukan Timnas Indonesia U-23 yang akan berlaga di ajang SEA Games dan Piala AFC 2017.
Keputusan PSSI itu mendapatkan beragam tanggapan dari klub Liga 1. Ada yang merasa diuntungkan ada juga yang merasa dirugikan.
EGI ADYATAMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini