JUWONO Sudarsono 47 tahun, profesor doktor kadang-kadang "menikmati" juga gelar mahaguru itu. "Kalau saya lupa sesuatu, orang segera memaafkan saya," ujarnya di sela seminar Hubungan RI-RRC, di Hotel Aryaduta, Jakarta, pekan lalu. Dengan suara berat dan pembawaan serba tenang, ia melanjutkan, "Karena saya baru dilantik jadi profesor, maka hadirin harus dan wajib memaafkan saya." Hadirin pun terbahak, dan, agaknya, secara aklamasi memaafkan kehadiran Juwono yang terlambat setengah jam itu. Maklum, pofesor. Dekan FISIP-UI ini lantas bilang masih produktif menulis di media massa. Sebab, "Pangkat naik kan bukan berarti dompet menebal," katanya tersenyum. Cuma saja, belakangan ini, undangan seminar dan ceramah terpaksa dikuranginya. Selain alasan sibuk, "Saya khawatir, jangan-jangan ada orang yang sama yang sudah mendengar anekdot saya. Kan, kasihan," ujarnya. Ia mengaku bukan tergolong orator. "Sering saya amati, kalau saya bicara setengah jam, kegairahan pendengar menurun," katanya. Sehingga, meski kini sudah profesor, satu hal yang tidak bakal dilupakannya adalah untuk selalu mendapatkan bahan anekdot baru. Tapi, sejak kapan, sih, punya perhatian pada anekdot? "Waktu saya masih asisten dosen, ada mahasiswi, Nunny namanya, suka mengkritik kuliah saya terlalu ilmiah, kering, dan terlalu datar," katanya. Mau tahu siapa sang pengritik yang berani itu? Dialah kini ibu dua anak sang profesor alias Nyonya Juwono Sudarsono .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini