Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Cermin Tasikmalaya terus berupaya melestarikan seni tradisi Sunda yang makin langka.
Mereka acap menggelar berbagai kegiatan serta pertunjukan seni dan budaya.
Mereka tak meninggalkan seni kontemporer, bahkan berkolaborasi dengan kesenian tersebut.
LENGKINGAN gesekan dawai tarawangsa diiringi dentingan jentreng—kecapi kecil berdawai tujuh—dan pukulan calung renteng sayup-sayup terdengar di antara suara letusan kembang api pada malam akhir tahun lalu. Komunitas Cermin Tasikmalaya beraksi di panggung berlatar belakang serba hitam di balai sekretariat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, balai sekretariat yang berlokasi di Jalan Pemuda, Kelurahan Yudanegara, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, itu tak sepi seperti biasanya. Di halaman depan, puluhan kursi plastik berkelir hijau berjejer menghadap sebuah televisi berukuran besar yang ditaruh di atas meja bertaplak hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa orang berpakaian serba putih dipadu ikat kepala berwarna senada berlalu-lalang. Ada yang menyambut para tamu, membagikan kotak berisi makanan ringan, dan berjaga di pintu masuk balai sekretariat yang disulap menjadi sebuah studio mini.
"Camera roll, action!" teriak seseorang yang berdiri di antara empat kamera dengan lensa tertuju ke arah panggung. Aba-aba itu dilanjutkan dengan petikan jentreng di pangkuan juru kawih Emak Enar sebagai pengiring lagu berjudul Salancar sebagai pembuka.
Di samping kanannya, Abah Oman mulai menggesek tarawangsa—alat musik gesek berdawai dua sejenis rebab—dengan mata yang hampir terpejam. Begitu juga dengan Yana yang duduk di samping kanan Abah Oman, mulai meniup suling kawih, seruling bambu berlubang enam dengan panjang 56 sentimeter.
Tiga remaja putri dari Lingkung Seni Dewa Motekar memainkan tari jaipongan. TEMPO/Rommy Roosyana
Calung anak yang terdiri atas sembilan bilah bambu di muka Sajan, yang duduk di samping kiri Mak Enar, mulai dipukul mengikuti ritme tarawangsa dan jentreng. Yayan, yang duduk di sebelah kiri Sajan, memainkan calung indung yang terdiri atas tujuh bilah bambu dengan ritme yang sama.
Setelah membawakan Manuk Hejo, Emak Enar melantunkan lagu Mulang sebagai tembang pamungkas. Gesekan dawai tarawangsa, jentreng, dan calung renteng yang bersahutan menciptakan irama gembira hingga para penonton di luar studio yang menyaksikan lewat televisi berukuran besar tergoda berjoget.
Pertunjukan kesenian calung tarawangsa oleh sanggar seni Dangiang Budaya dari Kampung Cigelap, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, itu menjadi pentas terakhir dalam perhelatan Festival Seni Akhir Tahun "Syukur Waktu 10" yang berlangsung pada Jumat, 31 Desember 2021.
Acara kesenian yang digelar secara virtual oleh Komunitas Cermin Tasikmalaya itu diadakan untuk menghibur masyarakat yang menyambut tahun baru. Selain menyajikan pentas seni, acara rutin yang telah digelar sepuluh tahun terakhir itu diisi dengan refleksi serta permohonan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Hajatan para seniman dan budayawan Tasikmalaya ini dimulai pada 11 Desember 2021 dengan prosesi doa bersama. Rangkaian acara yang berlangsung hingga malam pergantian tahun tersebut diisi beragam kegiatan, dari lomba menulis puisi, menulis artikel, melukis, fotografi, mencipta lagu, workshop shibori, workshop konten kreator, hingga workshop menggambar.
Ketua Komunitas Cermin Tasikmalaya, Ashmansyah Timutiah mementaskan aksi teatrikal pada acara ulang tahun Kamapala STIA Tasikmalaya, di Aula Graha Mulia Permana, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 7 November 2021. TEMPO/Rommy Roosyana
Ketua Komunitas Cermin Tasikmalaya, Ashmansyah Timutiah, menjelaskan, Syukur Waktu dijadikan ajang silaturahmi bertemunya sesama seniman dari berbagai bidang, juga silaturahmi antara seniman dan masyarakat. "Kami sangat ingin mewarnai kota dengan seni dan budaya yang asli tumbuh dari masyarakat itu sendiri atau hasil karya cipta dari seniman daerah itu sendiri," ujar Acong, sapaan akrab Ashmansyah, kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Lantaran masih adanya pembatasan aktivitas karena masa pandemi Covid-19 belum berakhir, agenda rutin tahunan ini dikemas dengan konsep virtual (VirtuArt) dan visual (VisuArt). Pentas para seniman digelar di balai sekretariat Komunitas Cermin yang disulap menjadi studio. Acara disiarkan langsung melalui kanal YouTube, Facebook, dan Instagram milik komunitas tersebut.
Menurut Ashmansyah, acara ini menampilkan kesenian tradisional Sunda yang sudah tua dan cukup langka. Hal itu sebagai ikhtiar menjaga kesenian tradisional tersebut dari ancaman kepunahan. Salah satunya terebang gebes dan beluk asal Kampung Cirangkong, Desa Cikeusal, Kecamatan Tanjungjaya. Seni pertunjukan perkusi ini makin kurang diminati oleh warga kampung asalnya, terutama generasi muda. Begitu juga dengan karinding dan tari jaipongan.
Untuk menyelamatkan sejumlah kesenian yang nyaris punah itu, mereka rutin menggelar aneka acara seni dan budaya, baik tingkat kota dan kabupaten maupun tingkat desa. Acara itu, menurut ayah satu putra tersebut, dikemas dengan beragam bentuk perhelatan. Pada awal Oktober 2021, misalnya, dihelat Ruwatan Lembur di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya.
Minimnya minat generasi muda berkesenian membuat Acong, yang dikenal sebagai seniman teater, membentuk Komunitas Cermin Tasikmalaya pada 1997. Bersama para seniman dan budayawan di Tasikmalaya, suami dari Murti Widyaningsih ini menyatukan semua penggiat seni untuk merangkul generasi muda agar tertarik melestarikan kesenian, terutama yang tradisional dan terancam punah.
Albir, siswa SMAN I Kota Tasikmalaya belajar memainkan alat musik tradisional gamelan di Sekretariat Komunitas Cermin Tasikmalaya, Jalan Pemuda, Kelurahan Yudanegara, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 17 Desember 2021. TEMPO/Rommy Roosyana
Koordinator Bagian Program Komunitas Cermin Tasikmalaya, Andy Kusmayadi, menambahkan, komunitasnya memiliki agenda rutin mingguan, bulanan, hingga tahunan untuk menjaga kelestarian seni tradisional di daerahnya. "Program kami yang sudah berjalan selama sepuluh tahun terakhir adalah program pelatihan seni, program pendampingan masyarakat, dan event seni-budaya," ujarnya.
Program pelatihan seni digelar setiap pekan, dari pelatihan memainkan alat musik tradisional, seperti gamelan dan kecapi, hingga alat-alat musik tradisional yang sudah langka. Komunitasnya juga tak alergi dengan seni modern dan kontemporer, bahkan sering dikolaborasikan dengan kesenian tradisional untuk menarik minat generasi muda.
Alumnus Program Magister Pengkajian Seni Pertunjukan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung—kini menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung—ini menyebutkan untuk bergabung dengan komunitasnya tak ada pembatasan usia. Namun, untuk pembinaan, diprioritaskan generasi muda dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Komunitas Cermin tak hanya beranggotakan seniman dan budayawan. Banyak juga kaum muda berlatar belakang pencinta alam, jurnalis, hingga kreator konten. Mereka memiliki tujuan dan cita-cita yang sama, yakni melestarikan kesenian serta kebudayaan daerah dari ancaman kepunahan akibat tergerus modernisasi dan kemajuan zaman.
Seorang mahasiswi Universitas Siliwangi, Desty Utami, yang pernah menyabet juara puisi tingkat Provinsi Jawa Barat, merasa termotivasi oleh para seniman di komunitas itu karena sering menggelar acara. Ia mengaku mendapat banyak pengalaman, wawasan, dan pelajaran dari sana. "Belajar baca puisi dari sama sekali enggak bisa sampai sedikit menguasai puisi teatrikal. Asyik banget," ucap mahasiswi fakultas pertanian ini sambil tersenyum.
Pengalaman serupa diungkapkan siswa SMAN I Kota Tasikmalaya, Albirr Ahmad Mubaroq. Meski hobi bermain gitar, remaja berperawakan kurus ini mengaku tertantang memainkan alat-alat musik tradisional, seperti gamelan. Berkat konsisten berlatih, ia bahkan sering diajak bermain gamelan dalam pentas-pentas seni yang digelar saat libur sekolah. "Ada kebanggaan sendiri bisa memainkan alat musik tradisional. Tidak semua anak muda bisa."
ROMMY ROOSYANA (TASIKMALAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo