Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Asisi Suhariyanto, Misi Edukasi tentang Candi Jawa

Pakem kritik sumber menjadi pedoman baku Asisi Suhariyanto membedah fakta dan data sejarah candi Jawa kuno.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemilik ASISI Channel, Fransiskus Asisi Suhariyanto. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Asisi Suhariyanto berikhtiar memperkenalkan peradaban Jawa klasik beserta nilai luhurnya kepada anak muda.

  • Tantangan besar Asisi adalah memisahkan data dan fakta sejarah dengan mitos pada candi-candi tanah Jawa.

  • Animasi, ilustrasi, dan narasi menarik menjadi andalan Asisi merangkul target penonton kalangan anak muda.

Pandemi Covid-19 pada 2020 membawa berkah bagi Fransiskus Asisi Suhariyanto. Aturan pembatasan sosial dari pemerintah kala itu membuatnya banyak merenung di ruang kerja di kediamannya di Malang, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari situlah muncul ide membuat kanal YouTube yang berfokus mengulas sejarah Jawa kuno alias Jawa klasik. Ilustrator dan komikus ini membuat konten video berisi narasi, ilustrasi, dan penjelasan mendalam tentang mahakarya peninggalan leluhur: candi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, candi dan berbagai artefak peninggalan masa Jawa kuno abad V-XV Masehi menjadi konten utama pria yang kerap disapa Asisi itu. "Dari awal, kanalnya bernama lengkap saya hingga belakangan saya ubah jadi ASISI Channel," kata pria berkacamata itu saat diwawancarai secara daring, Selasa, 14 November lalu.

Sejak awal Asisi sudah punya target penonton kanal YouTube miliknya, yakni anak muda. Rupanya ia punya misi besar memperkenalkan sejarah beserta nilai-nilai luhur yang diterapkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa sejak ratusan tahun silam. 

Menurut dia, anak muda Indonesia harus paham akar peradabannya agar punya pijakan kuat dalam mengarungi kehidupan saat ini yang penuh tantangan. Asisi juga punya harapan besar agar anak muda bisa menerapkan nilai-nilai luhur yang diajarkan para leluhur di tanah Jawa, antara lain kejujuran, toleransi, dan penegakan hukum yang adil. 

Ia mencontohkan, pada zaman dulu, benda berharga yang jatuh di jalan pun tidak akan diambil orang lain. Sebab, saat itu beberapa kerajaan besar di Jawa menerapkan hukuman tegas bagi pencuri atau orang yang mengambil barang bukan haknya dengan hukuman tegas, yakni hukuman mati.

"Lalu sekarang anak muda kita kagum pada kondisi di Tokyo, Jepang, bahwa benda pribadi yang terjatuh di sana tidak akan raib dicuri. Ratusan tahun lalu, leluhur kita sudah lakukan itu," tutur Asisi. 

Kepada Indra Wijaya dari Tempo, Asisi membeberkan cara kerjanya dalam menyajikan konten sejarah. Salah satunya tentang kepatuhan terhadap kritik sumber dalam setiap ulasan candi atau artefak lain. Bagi dia, konten yang disajikan harus berpijak pada fakta dan data sejarah, bukan sekadar mitos. 

Selain itu, Asisi bercerita tentang pengalaman seru dan menantang setiap kali blusukan ke candi-candi yang tersebar dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Termasuk pengalaman berharganya mendapat penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia untuk kategori media dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Oktober lalu.

Berikut ini wawancara Tempo dengan Fransiskus Asisi Suhariyanto. 


Anda mendapat penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia untuk kategori media dari Kementerian Pendidikan. Bagaimana ceritanya?

Saya sudah lama berkegiatan di bidang kebudayaan, tapi baru sekarang memakai platform YouTube. Mendengar akan ada penghargaan itu, saya pikir untuk coba ajukan itu. Sebab, kami pikir kami memenuhi syarat dari mereka. 

Kami mendapat rekomendasi dari Dewan Kesenian Malang juga dan ternyata bisa lolos. Bersyukur sekali. Kami merasa diakui sebagai media yang mengedukasi masyarakat. Apakah ASISI dianggap sebagai kanal hiburan atau apa pun, ya itu namanya sarana dalam memuat edukasi kepada masyarakat. Senangnya mendapat pengakuan itu. 

Pemilik ASISI Channel, Fransiskus Asisi Suhariyanto, menerima penghargaan sebagai pelestari budaya kategori media dalam Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2023 di Jakarta, Oktober 2023. Dok. AKI

Bagaimana awalnya Anda membuat kanal yang bercerita tentang sejarah dan benda cagar budaya?

Pertama, saya suka sejarah, terutama Jawa klasik. Saya suka muatan nilai-nilai yang diterapkan di kehidupan masa klasik itu. Kedua, saya ingin membangun kecintaan masyarakat pada sejarah. Kalau kita menyukai sesuatu, sudah pasti akan mengajak orang lain untuk suka juga.

Lalu saya mulai dari video. Nah, ini ada berkah pandemi Covid-19 juga. Jadi, sebelumnya saya dan istri senang sekali jalan-jalan ke luar negeri atau di dalam negeri, ke mana saja, hampir setiap bulan. Lalu tahu-tahu ada Covid-19 dan enggak bisa ke mana-mana. Karena itu, saya pikir energi saya harus tetap disalurkan dalam bentuk karya, lalu muncullah kanal ASISI. 

Awalnya kanal itu pakai nama lengkap saya. Lalu istri saya bilang, mengapa enggak pakai nama tengah saya yang unik itu saja. Ya sudah, saya pilih ASISI itu sekalian sesuai dengan metode yang saya gunakan, yakni analisis, singkap, dan sikapi. Metode itu menjadi dasar setiap kali saya membuat video. Jadi dianalisis dulu datanya, kemudian singkap keberadaan cagar budaya itu, lalu bagaimana kami menyikapinya. 

Tiga metode yang Anda gunakan sangat menarik. Bolehkah dijelaskan lebih detail lagi? 

Sebenarnya di luar negeri ada communicator science. Kalau diterapkan di kanal saya, mungkin jadinya communicator history. Jadi data penelitian dari beberapa peneliti ini kemudian diubah menjadi satu produk yang menarik bagi masyarakat. Tujuannya, mengkomunikasikan hasil penelitian supaya sampai ke masyarakat. 

Yang bergerak di bidang communicator ini banyak dari kalangan jurnalis, orang biasa, sampai peneliti sendiri. Yang penting dia punya komunikasi yang baik. Sebenarnya kanal ASISI memposisikan diri seperti itu, jadi semacam komunikator sejarah. Jadi hasil penelitian yang isinya data itu jujur enggak terlalu menarik kalau masyarakat disuguhkan dalam bentuk data saja. Masyarakat cenderung enggak suka, bahkan bosan.

Lalu?

Saya berusaha menyempurnakan itu agar bisa disukai masyarakat. Persoalannya, karena kami bergerak di dunia visual, artinya apa yang kami narasikan enggak bisa begitu saja ditulis, tapi juga harus diwujudkan dalam bentuk visual. Sebab, masa klasik yang jadi ladang penelitian saya sudah punah dan tidak ada lagi wujudnya. Kita enggak lagi dengar suara, bahkan tidak tahu bahasa apa yang dulu dipakai, bagaimana pola hidup mereka, semua sudah hilang.

Karena itulah dibutuhkan satu upaya untuk menghadirkan masa lalu untuk masyarakat, sehingga perlu cara untuk menghadirkan itu. Makanya di kanal saya ada animasi dan konten grafis. Itu berangkat dari penelitian juga, relief-relief, dan candi, bagaimana bisa memvisualkan itu biar bisa dinikmati bersama.

 Lalu metode penelitiannya bagaimana? 

Jadi saya gunakan kritik sumber. Seorang sejarawan, ketika dia mendengar suatu peristiwa sejarah, misalnya tokoh sejarah A terhadap B, yang diperdebatkan oleh sejarawan pertama kali adalah sumbernya apa? Makanya yang dicari adalah sumbernya. Dari kritik sumber itu, barulah kami bisa mengkategorikan sumber itu. Kami bisa menganalisis itu sumbernya kategori primer, sekunder, atau tersier.

Sumber primer itu antara lain prasasti, peninggalan arkeologi, karya sastra, dan berita asing sezaman. Kemudian sumber sekunder seperti karya sastra, mitos, legenda, dan kajian ahli. Selain itu, ada sumber tersier. Dari sini, kami bisa bilang mana yang murni sejarah, mana yang hoaks, dan mana yang cuma analisis peneliti.

Bagaimana cara memperoleh data-datanya?

Soal data-datanya, saya bisa pakai buku sejarah yang kebetulan saya punya dalam satu rak. Ada juga jurnal dan video atau film dokumenter, terutama dari media luar, seperti National Geographic dan BBC. Juga dari diskusi karena kebetulan saya bergaul dengan sejarawan, epigraf, dan lainnya. Jadi, ketika saya agak bingung dengan sesuatu, saya akan berdiskusi dengan mereka. 

Lalu, setelah menganalisis, bagaimana cara Anda menyingkap itu?

Ketika berusaha menyingkap temuan, kami pun berhadapan dengan mitos. Misalnya, saya datang ke sebuah candi, di mana terdapat punden yang punya sejarah lain dibanding candi lainnya. Nah, dari situ saya harus pikirkan bagaimana mengkomunikasikan sudut pandang sejarah dengan sudut pandang budaya atau mitos itu. Sebab, ini dua hal berbeda. 

Kami menyingkap sebuah situs dari sudut sejarah. Nah, di situs sejarah itu terdapat mitos atau legenda. Makanya saya harus hati-hati betul biar pijakan saya tetap pada sejarahnya. Contohnya, menyingkap Candi Sukuh dan Candi Ceto. Itu banyak banget budaya atau mitosnya. Sebab, situs-situs sejarah di lereng Gunung Lawu itu kental sekali dengan kisah Prabu Brawijaya, Naya Genggong, dan Sabdo Palon. 

Ketika datang ke sana, saya dapat banyak data. Data arkeologi ada, data sejarah ada. Tapi banyaknya data itu saya harus pisahkan mana yang sejarah dan mana yang mitos karena keduanya bercampur. Jangan sampai saya terpeleset dan ikut masuk membahas sisi budaya atau mitosnya. Sebab, untuk membedah mitos atau budaya, kita perlu pijakan antropologi, bukan sejarah.

Jadi Anda berfokus pada fakta dan mengesampingkan mitos, ya?

Karya saya berpijak pada data ilmiah dan jurnal atau buku hasil penelitian. Kami tidak menyebarkan mitos karena semangat kami memang untuk mengedukasi masyarakat. 

Tapi banyak candi atau situs sejarah yang ceritanya melenceng jauh karena mitos, seperti Candi Prambanan karena ada cerita Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Apakah percampuran sejarah dan mitos itu banyak terjadi?

Banyak. Ini analisis saya. Ketika masa klasik selesai, kita masuk ke masa Jawa baru. Jadi Jawa dan penduduknya lupa bahwa mereka pernah memasuki masa klasik. Perkiraan saya, itu abad XVII sampai XX. Pada masa Jawa baru itu, mereka tak hanya punya kebudayaan baru, tapi juga mewarisi candi-candi. Otomatis masyarakat harus mendeskripsikan apa itu candi, sesuatu yang mereka kagumi tapi mereka kehilangan pengetahuan sejarah. Dari situ muncullah mitos sebagai hal yang memudahkan pemahaman masyarakat pada masa itu. Kalau enggak, mereka akan bingung apa itu candi. 

Makanya pijakan berpikir menggunakan kritik sumber itu penting dalam membedah sejarah sebuah candi. Tapi banyak candi di Jawa yang benar-benar hilang sejarahnya, siapa yang membangun, bagaimana ceritanya, jadi cuma tersisa bangunan fisiknya. Kalau di kanal kami, candi-candi itu masuk informasi kompilasi karena minimnya data dari candi-candi tersebut. 

Banyak bangunan candi atau situs sejarah lain di Jawa yang rusak atau tidak utuh lagi. Apakah ini menyulitkan Anda dalam melakukan penelitian? 

Otomatis menyulitkan kami. Tapi kekurangan data enggak boleh menghalangi penelitian. Jadi, kalau enggak ada data, ya sudah. Misalnya, Kerajaan Medang itu terbentang dari abad VIII-IX sampai abad X. Itu waktu yang lama, tapi faktanya kita tidak pernah mengerti tentang kerajaan ini karena sumbernya cuma dari prasasti, di mana prasasti ini tidak banyak menyingkap fakta. Misalnya, mengenai hubungan antar-raja, apakah penerusnya itu anak raja sebelumnya atau direbut kerajaan lain. Itu datanya enggak ada, tapi ya sudah, enggak apa-apa. Enggak perlu dipaksakan ada datanya. 

Contoh lainnya, Salakanagara. Salakanagara itu saya sebut sebagai kerajaan mitos karena tidak ada datanya sama sekali. Itu mungkin untuk menjawab kekosongan sejarah di wilayah tersebut. 

Fakta yang saya temui, candi di Jawa Timur itu tidak sebanyak dan semegah di Jawa Tengah. Tapi datanya lebih banyak. Jadi di Jawa Tengah itu candinya banyak sekali, tapi data informasinya tidak terlalu banyak. Data di Jawa Timur itu sumber sastranya banyak. Kedua, data budaya yang cukup dengan kehidupan masyarakat. Lalu mitos juga masih bisa menyinggung cerita masa lalu. Kalau di Jawa Tengah, data dan ceritanya tidak sedramatis di Jawa Timur. 

Misalnya, di Jawa Timur ada sastra Pararaton dan Negarakertagama yang menceritakan kronologi raja-raja Majapahit. Lalu ada Prasasti Pucangan yang menceritakan detail perjuangan Airlangga dan silsilahnya. Tapi di Jawa Tengah sedikit sekali informasi ini. Misalnya, Prasasti Mantiasih yang menceritakan silsilah raja. Hanya itu. Tidak dijelaskan apa hubungan raja pertama dengan berikutnya. Jadi lebih mirip urutan raja Kerajaan Medang. 

Anda merasa miris karena lebih banyak menggunakan catatan atau buku penjelajah asing, seperti dari Portugis dan Cina? 

Sebenarnya, ya enggak. Lebih ke bersyukur masih ada orang asing yang mau mencatat apa yang pernah terjadi di Nusantara. Sebab, ada beberapa kondisi yang membuat sebuah kerajaan di Jawa tidak sempat menulis, misalnya karena terjadi perang, huru-hara, atau kondisi tidak kondusif lain. Karena itulah dicatat oleh penjelajah asing. Tapi masih ada catatan yang cukup lengkap yang ditulis orang zaman dulu, seperti saat Kerajaan Singasari dan Majapahit. Itu banyak sekali data tulisan.

Lalu, misalnya pada Kerajaan Kediri, datanya sedikit sekali, termasuk cerita tentang Ratu Shima. Mungkin saja saat itu kondisi masyarakatnya belum menyadari betul pentingnya menulis sehingga tidak menghasilkan tulisan. Beruntung ada orang asing datang ke Nusantara yang mencatat. Jadi bisa saja cerita atau raja-raja di kerajaan itu lebih banyak jumlahnya karena tidak tercatat. 

Misalnya, Raja Purnawarman dikatakan mengalahkan musuh-musuhnya, kerajaan lain. Itu disebutkan dalam sebuah prasasti. Dari situ berarti di Jawa pada saat itu banyak kerajaan, cuma enggak tercatat. Lalu, misalnya, Kerajaan Kutai Kuno milik Mulawarman itu juga dikatakan mengalahkan musuh-musuhnya. Bahkan salah satu musuhnya seorang raja bernama Yudistira, sebuah nama yang India banget. Berarti, selain Kutai Kuno, di sekitar Kalimantan bisa jadi banyak kerajaan lain, cuma tidak tercatat.

Lalu ada penulis Portugis bernama Tome Pires, misalnya. Dia memberi banyak catatan pada masa Demak. Pada saat itu, peralihan Majapahit runtuh, kemudian bangkit Kerajaan Demak dan Pajang. Itu masa penuh pergolakan. Kedua kerajaan ini tidak menghasilkan karya tulis. Beruntung ada orang-orang asing yang datang dan kemudian mencatat. 

Pemilik ASISI Channel Fransiskus Asisi Suhariyanto mengunjungi Candi Ngempon di Klepu, Semarang, Jawa Tengah. Dok. Pribadi

Apakah kerajaan-kerajaan Jawa kuno sistem pencatatannya buruk? 

Mungkin banyak, ya, karya sastra atau prasasti. Misalnya, untuk Majapahit, dikatakan bahwa paman Hayam Wuruk ahli tata negara. Dia punya catatan wilayah-wilayah kekuasaan di Jawa. Berarti ada administrasi pada zaman itu. Hanya, mungkin bahan untuk mencatat adalah lontar sehingga tidak awet dan tergerus zaman.

Untuk Kerajaan Medang pada abad VIII-X, misalnya, kita enggak punya data dalam bentuk lontar sama sekali. Tapi, dari relief candi, kita bisa melihat pahatan orang-orang sedang memegang lontar. Ini sebuah gambaran bahwa pada zaman itu sudah ada catatan lontar, hanya tidak selamat sampai zaman kita. 

Kebanyakan candi atau situs sejarah yang rusak, bahkan hilang yang dicuri, termasuk benda berharga, seperti pripih (berisi logam mulia) di candi... 

Kalau rusak atau hilangnya candi dan prasasti, itu masuknya perusakan, ya. Kalau perusakan candi, banyak sekali faktornya, tidak bisa digeneralisasi karena ulah manusia dengan tujuan tertentu. Alam juga ikut berperan selain manusia. Manusianya pun macam-macam. Sebab, pengabaian candi pada zaman Jawa kuno sudah terjadi dan tercatat di Negarakertagama.

Lalu ada candi-candi yang rusak dan runtuh karena pemburu artefak, perang di masa lalu, dan faktor kepercayaan. Macam-macam. Ada juga perusakan candi karena orang zaman dulu dianggap punya tuah, sehingga raja yang ingin menghilangkan tuahnya atau sisi supranaturalnya, ya, dengan cara menghancurkan prasasti itu. Tapi fakta bahwa perusakan candi oleh ulah manusia sudah sering terjadi dengan berbagai motif.

Seberapa sering Anda pergi ke candi atau lokasi situs sejarah?

Sering banget. Bahkan untuk satu candi bisa sampai dua kali singgah karena saya butuh gambar. Kalau kadang cuaca tidak mendukung, pengambilan gambar harus diulangi. Tapi, kalau dihitung dari candinya, sudah lebih dari 100 candi. Mungkin ada 122 candi, tersebar dari Jawa Timur sampai Jawa Barat. Tapi paling banyak memang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Bagaimana proses awal sebelum datang ke candi?

Jadi, sebelum turun ke lapangan untuk bikin video, kami biasanya observasi lebih dulu mau bikin apa. Lalu mulai menyusun selisiknya, terus hitung anggarannya, akomodasi, menginap di mana, lalu urus surat izinnya. Belum lagi nanti bikin laporan kalau videonya sudah jadi ke pihak berwajib, yakni BPCB (balai pelestarian cagar budaya). Jadi perjalanan satu video itu memang panjang. Bisa dibilang dibagi jadi dua, yaitu eksplorasi ke tempatnya dan proses pembuatan video. 

Kalau pembuatan video, saya butuh dua pekan. Tapi, kalau selisik ke candi, bisa 2-3 hari, ya. Belum termasuk urus izinnya. Proses inilah yang agak lama. Beberapa BPCB daerah cepat responsnya, tapi kalau yang di pusat itu lama.

Anda selalu mengurus izin setiap kali datang ke candi atau situs sejarah?

Kalau datang ke candi untuk wisatawan sekadar mengambil foto dan video pribadi, tidak apa-apa. Tapi, kalau menurut undang-undang, sebenarnya ini enggak boleh, apalagi kalau didokumentasikan atau divideokan. Nah, kami tidak ingin melanggar undang-undang atau bermain semaunya sendiri. Jadi kami beneran mengurus izin. Kalau tidak diizinkan, ya, kami tidak meliputnya. Ada beberapa candi yang kami enggak liput karena izinnya belum turun. Apalagi kalau lintas instansi. 

Apa saja pengalaman paling menarik saat Anda menjelajahi lebih dari 100 candi di Jawa?

Demak. Saya dihubungi teman-teman pegiat sejarah di Demak karena ada acara diskusi bekerja sama dengan dinas pariwisata. Saya diminta jadi narasumber. Saya katakan saya berfokus pada peradaban Jawa klasik, sementara Demak itu setelah klasik tutup. Tapi mereka meyakinkan bahwa ada situs candi Jawa klasik di Demak. Saya kaget dan saya ke sana. Ternyata benar. Di Demak ada candi-candi masa Jawa klasik. Tapi ini reruntuhan, bukan candi utuh. 

Saya temukan arca Durga Mahisasuramardhini. Ini Demak, lho, yang kental akan nuansa kerajaan Islam. Kemudian, di sebuah situs, kami melihat ada arca Ganesha yang dari bentuknya itu patung yang menempel pada candi. Ini berarti ada candinya, cuma saya belum menemukannya. Jujur, perjalanan ke Demak itu sangat mengejutkan karena ternyata menyimpan candi peradaban Jawa klasik. 

Apa candi yang mengesankan menurut Anda?

Sampai saat ini tetap Candi Sukuh (Karanganyar, Jawa Tengah). Sebab, bentuknya unik seperti piramida. Ketika saya melangkahkan kaki ke sana, rasanya memang seperti masuk ke piramida suku Aztek, Amerika Selatan. Apalagi di tangga kedua, ya. Memang rasanya seperti itu, tapi bukan. Ini memang karya Jawa klasik khas kita. Mungkin karena ada piramida, lalu ada arca-arca prasasti Garuda yang posisinya berdiri dengan gaya sangat mirip Amerika Latin. Mungkin orang yang tidak mempelajari sumber sejarah akan mudah dipengaruhi bahwa ini peninggalan suku Aztek yang ada di Indonesia, bahkan sampai teori konspirasi.

Situs apa yang bikin Anda penasaran, tapi belum dikunjungi?

Sekarang yang masih jadi keinginan dan tantangan saya adalah mengunjungi situs Gunung Padang. Saya sudah tahu itu apa, tapi saya yakin pasti beda rasanya kalau saya datang langsung ke sana, melihat batu-batu berukuran besar karya manusia lama. 

Bagaimana menurut Anda tentang situs Gunung Padang?

Kalau soal detailnya, saya takut bikin kontroversi. Tapi saya yakin itu masih berhubungan dengan kebudayaan dan karya kita sendiri, bukan piramida yang ada ruangan dalam tanahnya. Itu fenomena alam biasa saja. Itu pandangan saya saja dengan mengikuti pendapat arkeolog yang kompeten, yang tidak berpijak pada teori konspirasi. Yang jelas, ada nuansa Austronesia yang kental sekali. 

Berapa lama usia situs itu?

Kalau ditanya berapa usia situs Gunung Padang, tidak bisa ditebak pasti, ya. Sebab, tahun ketika batu itu terbentuk dari gunung berapi sampai tahun dia dipahat kan tidak sama. Jadi, kalau dihitung umur batuannya, belum tentu itu tahun dia dipahat. Tapi saya belum ke sana, jadi belum bisa berbicara lebih banyak. 

Bagaimana cara Anda menyusun tema dalam setiap judul konten video dan memperkayanya?

Seorang jurnalis harus pintar meramu tema tulisan. Sebab, candi itu datanya netral. Mereka tidak menyediakan tema. Makanya, kalau saya memilih mau menulis apa, ya, tergantung stok candinya. Atau saya mau pergi ke suatu candi, maka dilihat juga candi-candi apa saja yang mengelilingi candi itu. 

Misalnya, ada candi besar di Kota Blitar, namanya Candi Penataran. Jarak Blitar dari rumah saya itu jauh, jadi enggak mungkin saya cuma ke candi itu. Pasti saya datang ke candi lain di kota itu. Belanja bahan sekalian. Ketika bahan sudah terkumpul banyak, tinggal saya memilih tema ulasan ketika sudah sampai di studio. 

Temanya mau mengangkat apa, ya, tergantung data apa saja yang saya dapatkan. Jadi data yang sudah ada saya gabungkan dengan data dari buku, jurnal, dan macam-macam. Jadi tema itu muncul belakangan. Misalnya, Candi Bangkal di Jawa Timur. Candi itu benar-benar tidak menyediakan data yang cukup. Begitu kami datang, meliput, dan sampai di studio, barulah kami analisis dan ternyata ada kaitannya dengan Sungai Brantas. Muncullah tema besar, harta karun Sungai Brantas.

Tapi ada juga candi yang sejak awal sudah menyediakan tema pembahasan, seperti Candi Sukuh. Karena premisnya dianggap sebagai peninggalan suku Aztek, kan menarik dari segi pemberitaan. Lalu Candi Ceto yang digadang-gadang peninggalan Prabu Brawijaya dan ada hubungannya dengan Sabdo Palon.

Apakah Anda pernah mengalami hal mistis saat berkunjung ke candi?

Memang tergantung orangnya, sih. Tapi, jujur, dari lebih 100 candi yang sudah saya datangi, saya tidak pernah mengalami hal seram. Jadi benar-benar kami bekerja sesuai dengan sejarah saja. Tapi kadang-kadang ada pengalaman yang tidak pantas kalau saya anggap mistis. Tapi, kalau enggak saya anggap mistis, ya, bagaimana rasanya. 

Misalnya, contoh kecil, saat masuk ke Candi Plaosan, saya dan istri masuk dan mengambil gambar. Tiba-tiba di satu titik itu saya merasa enggak nyaman dan ada rasa takut yang tiba-tiba muncul. Saya diam saja. Ketika balik ke hotel, saya dan istri bercerita ternyata kami mengalami rasa tidak nyaman yang sama.

Pengalaman lainnya?

Ada juga satu candi yang saya rahasiakan di Yogyakarta. Sampai sekarang saya enggak punya videonya karena, ketika saya masuk ke garba graha itu, seperti ada sosok yang melarang saya masuk. Untuk pertama kalinya saya merasa takut. He-he-he. 

Sampai di hotel, saya cari tahu. Ternyata di candi yang saya maksudkan itu tidak melalui pemugaran atau restorasi, candi asli. Makanya, kok, tua sekali rasanya candi ini? Tapi semua tergantung orangnya, percaya pada hal mistis atau tidak. Kalau saya, mungkin saat itu sudah gelap, ya, jadi saya mungkin merasa takut ada ular atau kelelawar dan sebagainya.

Ada juga candi di tengah hutan. Bukan candi, sih, lebih tepatnya reruntuhan candi. Kami ke atas mencari candi itu. Kebetulan tidak ada penjaganya saat itu. Begitu turun pulang, kami malah kesasar. Saya merasa jalan berputar-putar. Sudah pakai Google Maps, malah diarahkan ke jurang. Akhirnya saya tenang dulu beberapa menit, baru kemudian jalan lagi mencari jalan keluar. 

Banyak sekali mitos dan cerita mistis pada candi-candi di Indonesia. Apakah mitos-mitos ini merugikan bagi upaya pelestarian dan membangun kecintaan terhadap candi?

Itu sebuah kontradiksi lantaran candi sejatinya sebagai sumber pendidikan karena merupakan jati diri bangsa, toleransi, dan sebagainya. Tapi sedihnya kebanyakan candi dilumuri mitos, meski tidak semuanya. Misalnya, pada Candi Prambanan dan Borobudur tidak ada hal mistis, jadi ramai sekali di sana. 

Kita bicara candi-candi kecil di pinggiran. Di sisi lain, mungkin candi ini sangat disesalkan karena terlalu banyak mitos ketimbang edukasinya. Di satu sisi, mitos itulah yang bikin candi-candi ini awet. Maksud saya, candi itu artefak. Banyak orang yang memburu dan merusaknya. Selama ini yang mau merawat candi adalah orang-orang yang percaya pada kekuatan spiritual di candi itu. 

Jadi candi itu pelindungnya berlapis, ya. Pertama, undang-undang karena itu cagar budaya. Tapi undang-undang itu hanya aturan tertulis. Perlu ada juru rawat satu atau dua orang yang dipilih BPCB. Itu pun terkadang rumah mereka jauh dari candi dan enggak bisa jaga 24 jam. Bisa jadi penjagaan kendur. Tapi yang paling kuat menjaga candi itu, ya, masyarakat. Masyarakat bisa bergerak menjaga candi kalau mereka tahu nilainya. Nah, selama ini nilainya adalah mitosnya. Mitos inilah yang membuat candi selamat. Jadi ironis, ya. Mitos itu merawat, tapi terkadang dipandang sebelah mata. 

Pemilik ASISI Channel, Fransiskus Asisi Suhariyanto, mengunjungi Candi Jawi di Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur. Dok. Pribadi

Mengapa Anda berfokus pada peradaban Jawa klasik? 

Saya berkeras mengangkat Jawa klasik karena, menurut saya, justru pada masa itu bangsa kita memasuki era puncak. Sebab, pada saat itu kita benar-benar jadi bangsa yang toleran, penegakan hukum adil dan tegas. Kalau kita baca undang-undang pada masa Majapahit, Kutaramanawa, kita bisa menemukan bagaimana penegakan hukum dan toleransi yang sudah diterapkan. 

Pada Jawa zaman dulu, kalau menjatuhkan barang, itu tidak akan hilang. Selama berbulan-bulan, barang yang terjatuh di jalan itu akan tetap di tempatnya, tidak ada yang mengambil. Itu kan mirip kondisi sekarang di Hong Kong, Jepang, dan Singapura. Kita pun kagum mendengar itu. Padahal ini sudah pernah terjadi lama pada masa Jawa kuno. 

Dari urusan lahan dan pangan pun sudah maju. Menurut undang-undang Kutaramanawa dan kitab Pararaton, pada masa Majapahit, kalau ada tanah menganggur, tidak produktif, pemiliknya justru kena denda senilai potensi hasil pertanian di lahan seluas itu. 

Masih merujuk pada undang-undang dan kitab yang sama, kalau pada zaman itu ada pejabat Majapahit yang korupsi, hukumannya mati. Lalu, jika ada orang yang membunuh pejabat karena tindakan korupsinya itu, si pembunuh tidak dikenai hukuman. Bandingkan dengan hukuman bagi pejabat negara saat ini.

Apakah narasi, animasi, dan media grafis ini bikin konten sejarah Anda lebih mudah diterima kaum muda? 

Betul. Karier saya memang dimulai dari media cetak. Saya bikin karikatur, komik, ilustrasi, artikel, hingga buku pada akhirnya. Jadi kemampuan yang terbentuk lama ini membantu saya dalam membuat kanal ASISI. 

Media grafis dan animasi penting karena masa Jawa klasik sudah punah, tidak ada gambarannya lagi. Kita enggak tahu pakaian mereka seperti apa, bahasanya apa, dan sebagainya. Jadi yang bisa dilakukan sekarang saya cuma menggambar berdasarkan relief candi dan arca. 

Bagaimana perjalanan karier Anda di dunia media? 

Saya terjun di dunia ilustrasi dan kartun pada 1996 dan terakhir saya di media itu pada 1998, di koran Suara Indonesia, sekarang sudah tidak ada. Saya bekerja sebagai pembuat karikatur, sebelumnya ilustrator. Kerjaan saya cuma mengamati data politik. Kebetulan saya masuk tim editorial politik. Saya diminta bikin karikatur tentang hal yang tidak bisa dijelaskan lewat tulisan. 

Lalu saya masuk ke dunia lain, yakni menulis buku, seperti buku sejarah untuk anak muda. Kemudian ada pula buku biologi untuk remaja. Jadi sebuah teori atau data ilmiah saya ubah ke dalam bentuk dialog komik. Lalu saya bikin buku motivasi dengan contoh tokoh-tokoh sukses. Lantas pada 2012 saya menikah dan membuat usaha sendiri sembari jalan-jalan berkeliling dunia. Sampai masa pandemi kemarin, saya bikin kanal ASISI.

Apa capaian penting Anda dengan kanal Asasi?

Saya senang karena kanal ini bisa memberi pengaruh sejarah, termasuk nilai-nilai positif, seperti toleransi dan kejujuran, kepada anak muda. Capaian terhebat saya adalah diundang Istana Negara dalam forum grup diskusi tentang pemindahan ibu kota. Jadi menjahit narasi sejarah menyangkut pemindahan ibu kota. Bagi saya, ini mengejutkan karena ternyata Istana menonton konten saya. He-he-he.

Ada juga pihak BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang ingin belajar membuat konten tentang toleransi dengan kami. Belum lagi diundang di beberapa kampus. Senang rasanya konten sejarah saya bisa diterima mereka semua. Paling senang lagi kalau ada ibu-ibu yang membagikan foto atau video anaknya sedang menonton ASISI Channel. Harapan saya, banyak anak yang menonton konten saya agar mereka sadar akan nilai peradaban Jawa klasik yang menjunjung keadilan, penegakan hukum, kesetaraan, dan toleransi. Harapannya, nilai itu bisa tertanam pada mereka. 

Apa bahayanya bangsa Indonesia lupa pada sejarah, terutama nilai positif peradaban zaman dulu?

Saya ilustrasikan itu seperti air. Tanaman teratai bisa kuat karena akarnya memijak di dasar air. Bayangkan jika teratai tidak punya akar yang memijak itu. Dia tetap akan bisa hidup karena masih ada akar serabutnya, tapi lagi-lagi kehidupannya akan terombang-ambing terbawa arus air. Kita enggak tahu ke mana teratai itu akan pergi terbawa air. 

Terlebih kehidupan anak muda sekarang lebih dekat dengan media sosial dan sebagainya. Mereka harus pahami nilai-nilai luhur kita, jangan sampai terombang-ambing. Berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan yang semakin kokoh dengan pengakuan kebangsaan mereka. Justru merekalah yang mengekspor kebudayaan dan lainnya ke Indonesia tanpa rasa malu. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus