Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Elly D. Luthan: Ibu bagi Penari Muda

Elly D. Luthan, 71 tahun, mendapat penghargaan CHI Award sebagai pelestari tari tradisi. Kini merambah dunia film.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koreografer dan aktris, Elly D. Luthan, berpose di Padepokan tari Dedy Lutan Dance Company (DLDC) di Kebagusan, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Elly D. Luthan mendapat penghargaan CHI Award 2023 sebagai pelestari tari tradisi.

  • Istri mendiang koregrafer Deddy Luthan ini belakangan terlibat dalam film-film populer, termasuk Pengabdi Setan dan KKN di Desa Penari 2.

  • Tempo mewawancarai Elly secara khusus di sanggar Dedy Lutan Dance Company, Jakarta Selatan.

Bagi Elly D. Luthan, menari adalah detak jantungnya. Pada usia 71 tahun, ia tetap bersemangat memberikan ilmu koreografi kepada seniman yang lebih muda. Jadwalnya selalu padat, seperti membuat koreografi untuk film dan memberikan kelas bagi anak muda hingga ke pelosok daerah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semangat itu terus ia kobarkan demi menjaga ikhtiar suaminya, Deddy Luthan (almarhum), untuk membantu seniman-seniman muda yang sedang mencari jalan. Deddy Luthan adalah salah satu maestro seni tari Indonesia. Pria yang bernama asli Hendrawanto Panji Akbar Luthan itu wafat pada 10 Juli 2014.

Elly dan Deddy membuka sanggar tari Dedy Lutan Dance Company (DLDC) di kediaman mereka di suatu sudut yang teduh di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mereka tak pernah sepi dari tamu. "Sejak beberapa hari lalu, ada kelompok yang datang untuk proses produksi tari di sini dari pagi sampai siang," kata Elly ketika ditemui di rumahnya, Kamis, 28 November 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indah Harie Juliati, nama lahir Elly, selalu senang dikunjungi. Dia ingin memerankan sosok ibu bagi para seniman tari muda. Persinggungan dengan generasi muda inilah yang mengantar Elly ke dunia baru, termasuk film. Dia menjadi Nenek dalam film laris, Pengabdi Setan, yang dirilis pada 2017. 

Kepada wartawan Tempo, Indra Wijaya, Elly bercerita tentang perjalanan kariernya sejak anak-anak, rasa kekhawatiran yang tak pernah hilang hingga sekarang, serta arti seni tari tradisi dan kontemporer. Ia juga bercerita tentang perjodohannya dengan suaminya yang dia sebut konyol serta penghargaan CHI Awards pada 9 November lalu.

Koreografer Elly D. Luthan (tengah) mementaskan karyanya bersama Paguyuban Pencinta Seni Jawa Timuran dengan tajuk "Paregreg" di Gedung Kesenian Jakarta, 2010. ANTARA/Fanny Octavianus

Apa makna penghargaan CHI Awards Seni Kategori Penerus Seni Tari Nusantara bagi Anda?

Kaget, terkejut, di luar dugaan. Mimpi juga enggak. Buat saya, penerima hal yang luar biasa itu pasti punya laku yang luar biasa. Sedangkan yang saya lakukan, ya, lumrahnya teman-teman yang lain. Saya cuma punya rasa syukur dan senang karena apa yang saya lakukan tanpa digembar-gemborkan tetap ada yang memperhatikan. Saya seperti diberi ruang yang enggak pernah saya impikan. Semoga ini tidak membuat saya terlena dan merasa lebih dari orang lain.

 

Bagaimana Anda melestarikan seni tari Nusantara? 

Melestarikan seni itu sesuatu hal yang besar buat saya. Saya hanya mencintai seni ini. Ketika mencintai, tentu kita ingin memelihara dan memberikan ruang paling indah. Ketika sesuatu itu berharga buat kita, tentu ada rasa ingin membagikannya.

Apa yang selalu Anda tanamkan kepada para seniman tari muda? 

Kalian berakar dan menjalarlah. Memang tak mudah. Tidak mudah berharap akar itu terus menjalar. Ketika menjalar, tumbuhlah. Tumbuh dengan cara kalian, tumbuh di mana pun. Apa yang nanti tumbuh, dia akan tetap berakar. 

Benarkah anak muda sekarang lebih menyukai tari kontemporer ketimbang tradisional?

Menurut saya, secara kuantitas mungkin imbang. Karena sanggar tari tetap tumbuh dan di universitas pun mahasiswanya masih banyak. Tari kontemporer memang sedang menjadi dunia mereka. Tidak mungkin kami mendorong mereka ke ruang tertentu karena kami tidak ingin yang muda ini terkungkung. Seni tradisi itu tidak kuno. Kami hanya bisa berharap seni tradisi dianggap rumah. Kalau mereka rindu, pulang. Kalau mereka lapar, pulang. Berjalan sejauh apa pun tidak masalah, tapi kalian masih punya rumah. 

Sedangkan Anda ada di "rumah" itu...

Ya. Saya hanya ingin jadi ibu di dunia seni. Dengan begitu, ruang itu tidak hilang. Kalau saya tetap penari dan koreografer, akan ada jarak. Tapi, ketika saya jadi ibu, meskipun belum tentu jadi ibu yang baik, kalau ada apa-apa, anak-anak muda ini pasti punya arah untuk berlari. Siapa pun dan apa pun kelakuannya, tetap dianggap anak. Mungkin itu cara saya menyapu dunia seni ini. Saya tidak berani bilang bahwa saya melestarikan. Saya hanya menganggap (dunia seni tari) sebagai halaman, saya sapu, saya dhangir (bahasa Jawa, artinya mencabuti gulma dan tanaman liar), mencoba menanami. Seberapa tumbuhnya, lillahi ta'ala

Waktu kecil, Anda diceritakan ingin jadi tentara. Apa latarnya?

Saat kecil, saya diadopsi pakde dan bude. Mereka yang menjadikan saya mendekat ke dunia seni. Ayah kandung saya tentara. Pakde saya juga tentara. Saat itu, menjadi anak dalam kultur Jawa itu rumit. Apa pun hanya boleh dijawab "iya", bahkan hanya berani melihat beliau sebatas kakinya. Saya ada perasaan enggak sama dengan bapak-ibu kandung saya. Ada kegelisahan semacam itu terus di benak saya. Mungkin saat itu saya cari jalan aman saja dengan bilang ingin jadi tentara. Selain itu, saya pikir menjadi tentara tidak ada persaingan. Saat itu saya enggak sanggup bersaing dengan dunia anak perempuan. Entah baju, penampilan, atau acara ulang tahun, saya enggak sanggup karena ekonomi keluarga kami.

Kenapa bisa jadi penari? 

Karena kegelisahan itu, saya menari sebagai pencarian rasa aman. Saat menari, saya tidak merasa sakit, sedih, dan sebagainya. Yang ada hanya kebahagiaan bersama tubuh dan hati saya. Dulu, sanggar enggak serumit sekarang. Semua orang boleh masuk dan menari begitu saja. Saya ikut ujian dan kebetulan menang. Mungkin saat itu tidak banyak penari, ya. He-he-he. 

Jadi, berawal dari pelarian...

Awalnya karena terpaksa ditambah rasa kegelisahan. Saya menemukan ketenangan dan kebahagiaan di dunia tari. Saya mengenal tari sejak umur 6 tahun. Jadi awalnya saya itu sakit demam. Lalu, saat disuruh menari, malah saya sembuh dan sehat. Waktu itu saya tinggal di Jember bersama pakde dan bude. Saya diikutkan ke sanggar tari klasik. 

Paman dan bibi mempengaruhi perjalanan tari Anda?

Saya terus menari sampai SMP. Dalam perjalanannya, tari bercampur dengan menonton wayang, lalu belajar dari sutradara wayang. Di mana pun acara seni, saya nongol saja. Itu mungkin karena dorongan dari pakde dan bude yang suka nonton wayang dan wayang kulit. Menonton wayang kulit itu dari malam sampai pagi. Kalau saya tertidur, dicubit. Paginya, saya disuruh menceritakan lagi kisah wayang semalam. Karena itu, saya terbiasa meringkas cerita kalau menonton wayang. 

Mereka ingin Anda jadi seniman? 

Tidak, cuma mengajarkan bagaimana cara menghadapi kehidupan. Saya dibiasakan serba tepat waktu. Sampai sekarang saya tetap begitu. Jadi saya sering bertabrakan dengan anak-anak kalau mereka ajak jalan-jalan. Saya sudah siap berangkat, tapi anak-anak malah belum apa-apa. Itu tidak bisa berubah. Semua keterbatasan yang saya alami dulu membuat saya punya kebiasaan untuk bisa mengatasi semua itu. Termasuk membuat keindahan seni dengan modal atau peralatan seadanya.

Misalnya?

Pernah saya diundang ke acara Hari Tari Sedunia di Surakarta sebelum masa pandemi. Pengundang meminta saya tidak membuat penampilan tarian Jawa karena, selain saya, mereka mengundang Ibu Retno Maruti dan Dewi Sulastri. Mereka diminta menari bedoyo. Saya enggak boleh sama. Itu jadi tantangan karena saya enggak punya uang. Penari-penari saya pun bukan yang bermobil. Penari-penari saya itu yang punya idealisme. Sudah panik saat itu. Lalu saya putuskan datang ke acara Hari Tari Sedunia itu dengan membawa mini-compo dengan judul karya Menari Bersama Elly D. Luthan. Tiba-tiba ada orang artistik yang bertanya mau bikin apa di Hari Tari Sedunia. Saya bilang mau bikin tari berjudul Latar Jembar (halaman luas). Jadi memang acaranya digelar di gedung besar, tapi saya pilih pentas saya di emperan dan tempat parkir gedung. Jadi saya sapu halaman gedung itu untuk dipakai menari bersama. Saya ajak tujuh murid ke Solo naik kereta api. Ternyata banyak yang ingin ikut. Ada anak didik saya dari Surabaya datang ke Solo. Dia colek lagi teman-temannya. Walhasil, dengan waktu tiga hari persiapan dari awalnya tujuh penari dan enam pemusik, terkumpul 78 penari. 

Koreografer dan aktris Elly D. Luthan berinteraksi dengan cucunya di pedepokan tari Dedy Lutan Dance Company (DLDC) di Kebagusan, Jakarta, 30 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Bagaimana Anda bisa belajar kepada Bagong Kussudiardja yang dianggap sebagai maestro tari Indonesia?

Karena menang terus saat SMP di Jember, saya dapat kesempatan dibiayai Pak Bupati untuk belajar tari ke Yogyakarta setiap masa libur sekolah, sekitar sepuluh hari. Jadi, selama sepuluh hari itu, saya tinggal di rumah Pak Bagong untuk belajar dan hafalkan sebelas tarian untuk saya bawa pulang ke Jember. Di Jember, saya mengajarkan tarian itu ke anak-anak lain. Itu sekitar 1966, setelah G-30-S.

Apa yang paling berkesan selama Anda berguru kepada beliau?

Lucunya, dari tarian yang saya pelajari di tempat Pak Bagong, saya tidak pernah tampil sebagai perempuan. Saya kebanyakan menari tarian laki-laki. Setelah SMP, saya pindah ke Jakarta bersama keluarga. Barulah saya lebih mengenal tarian perempuan, seperti bedoyo. 

Seberapa penting pelajaran tari dari Bagong Kussudiardja? 

Pak Bagong itu memberi saya dasar menjadi penari yang baik. Bagaimana pemahaman pola lantai, bagaimana pemahaman elementer dengan ekspresi tubuh, dan lainnya. Saat itu Mas Butet Kartaredjasa dan Mas Djaduk Ferianto (anak Bagong Kussudiardja) masih kecil, masih di bawah saya. Mereka masih bandel-bandelnya.

Bagaimana Anda mengenal Gubernur Ali Sadikin dan menjadi pegawai negeri Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?

Dari Jember, saya ke Jakarta. Saat itu saya tidak lagi ingin jadi penari dan masuk sekolah teknik. Di Jakarta, adik saya les tari. Di saat menunggu guru les, saya ikut menari saja, bergerak sesuka hati saya. Guru tarinya itu melihat dan tertarik. Kebetulan, DKI Jakarta kekurangan penari Ramayana untuk menyambut tamu karena yang menjadi kijang sedang hamil. Saya terima tawaran itu dengan catatan hanya sekali karena saya mau berhenti menari. Tapi, di pementasan, saya bertemu dengan penari-penari terkenal, bahkan ada yang sudah sering tampil di Istana. Nah, setelah itu saya terus menari di berbagai acara pemerintah DKI dan berkenalan dengan Gubernur Ali Sadikin. Enggak mengerti bagaimana ceritanya saya tiba-tiba diangkat jadi pegawai negeri di DKI Jakarta. Saya enggak pernah tahu golongan berapa. Saya jalani saja. Saya meneliti tarian Betawi.

Juga meneliti berbagai tarian tradisional hingga ke pedalaman Kalimantan?

Ya, saya diajak suami karena dianggap layak membantu risetnya. Jadi bukan diajak karena saya istrinya. Bagi saya, dia guru paling besar. Dia berkukuh ingin ke permukiman suku Dayak. Dengan mengajak saya, dia enggak perlu banyak biaya tambahan ketimbang mengajak orang lain. Jadi kami jalan kaki ke pedalaman. Saat itu belum ada jalan yang bisa menembus ke dalam sana.

Bagaimana cerita perkenalan Anda dengan Deddy Luthan? 

Kami kenal sejak 1973. Kami berdua membantu di sanggar Ibu Retno Maruti. Saya sering minta dia jemput untuk pergi keluar. Tapi saat itu belum ada perasaan. Saya sempat mau dijodohkan dengan keluarga budayawan. Suatu waktu, almarhum (Deddy) menjemput. Ibu saya menanyakan apakah dia suka kepada saya. Saya datangi mereka berdua dan bertanya ke almarhum, "Lo mau enggak nikah sama gua?" Lalu kami menikah. Teman-teman sampai enggak percaya karena kami memang tak pernah pacaran. Malah Mas Deddy itu dulu pacarnya banyak dan saya sering diminta ikut menemani dia pacaran.

Rutinitas berkesenian Anda berubah setelah berkeluarga dan punya anak? 

Semakin kencang. Bahkan anak kami merasa dinomorduakan. Karena saya PNS, pagi bekerja, sorenya mengajar tari, dan malamnya latihan. Saat itu mereka enggak protes. Tapi, setelah saya sendirian, barulah mereka mengungkapkan. Waktu itu memang sibuk sekali karena hampir setiap tahun kami bergantian membuat karya baru.

Keluarga Anda hidup dari tari?

Karena idealisme, kami terkadang membiayai sendiri proses berkarya. Misalnya, honor dari suatu proyek kami belikan mobil atau rumah. Lalu, untuk produksi karya baru, kami jual itu mobil. Terakhir kami jual rumah di Cipinang, Jakarta Timur, pada 1999. Rumah kami selalu terbuka untuk kawan-kawan yang datang dari luar Jakarta. Seperti kawan-kawan Dayak yang bikin aksi di Jakarta. Kami terbiasa berbagi. Karena semangat itu, kami bikin sanggar DLDC. 

DLDC berubah setelah Deddy Luthan berpulang pada 2014?

Saya hanya melanjutkan mimpi almarhum Mas Deddy untuk mewadahi karya-karya anak muda yang belum jadi. Kami pertemukan dengan yang senior untuk dialog. Sekarang saya lebih dekat dengan semua orang, termasuk dari teater. Setelah masa pandemi ini, ada workshop atau kami dukung acara-acara daerah. Misalnya, pada 8 Desember nanti, saya ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, untuk mengisi workshop. Saya enggak punya kelas reguler, melainkan pendalaman. Kami sedang membuat formula baru untuk anak-anak, yakni menari itu bermain. Kami tidak memberikan bentuk menari harus begini-begitu. Yang penting, menari bikin senang. 

Koreografer dan aktris Elly D. Luthan (tengah) memerankan Nenek Nur dalam film Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga (2022). Dok. Starvision Plus

Belakangan, anak-anak muda lebih mengenal Anda sebagai pemain film. Bagaimana Anda bisa diajak bermain dalam Pengabdi Setan (2017)?

Enggak ngerti. Waktu itu saya diajak Joko Anwar. Pada saat yang sama, ada tawaran mengajar di Berau, Kalimantan Timur. Teman saya awalnya menyarankan ke Berau saja, enggak usah main film. Saya kan tidak kenal kamera. Tapi, begitu mengetahui yang mengajak adalah Joko Anwar, dia penasaran. Kami tahunya Joko Anwar itu menggarap seni pertunjukan.

Apakah Anda sempat kesulitan saat berada di depan kamera?

Saya kagum pada cara Joko Anwar. Dia tidak seperti sutradara lain. Dia lebih mengedepankan ngobrol. Jadi tidak berdasarkan naskah, melainkan diskusi peran. Misalnya, ibu ini tidak suka pada anak atau menantunya, apa yang saya lakukan. Jadi saya tidak menghafalkan naskah. Syuting Pengabdi Setan 18 hari, tapi saya cuma ikut 12 hari. Itu rasa kekeluargaannya kuat sekali. Setelah itu, mengalir saja ke film-film berikutnya. Saya terlibat di film KKN di Desa Penari 2 (dijadwalkan tayang pada Lebaran 2024) sebagai penata koreografi. Saya terapkan kebiasaan di dunia tari untuk membuat betah di dunia film, yaitu nongkrong bersama. Bagi saya, silaturahmi ini menguatkan. Soal hasil, lihat nanti.

Bagaimana Anda menjaga kebugaran dan tetap berkarya di usia 71 tahun?

Bahagia, ikhlas. Sepertinya itu saja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus