Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pengusaha muda Surya Aditya mampu menembus pasar perhiasan perak Amerika Serikat meski pandemi tengah menghajar.
Ia memproduksi cincin perak dengan desain kesukaan anak muda.
Karyanya disukai sejumlah selebritas Negeri Abang Sam.
Hidup di sentra kerajinan perhiasan dan aksesori perak di Kotagede, Kota Yogyakarta, tak membuat penggemar cincin, Surya Aditya, serta-merta mudah mendapatkan model cincin yang ia inginkan, tujuh tahun lalu. Desain cincin Kotagede saat itu terkesan jadul, sekadar model cincin dengan batu akik besar, atau berupa cincin kawin. “Modelnya kurang mewakili jiwa dan selera anak muda, bapak-bapak banget,” kata Surya saat ditemui Tempo di kantor Sweda di Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, Rabu, 11 Agustus 2021 siang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlatar jebolan semester satu Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2014, Surya iseng membuat desain cincin yang memenuhi selera anak muda. Kemudian, ia meminta tetangganya yang perajin perak untuk mengerjakannya. Hasilnya cukup memuaskan. Surya mengenakan cincin itu di setiap momen nongkrong bareng, dan mendapat respons baik dari teman-temannya. “Cincinmu kok bagus, dapat dari mana? Dari situ aku mikir, kalau dibikin bisnis, kayaknya menarik,” kata Surya, yang kini berusia 27 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibunda Surya pun heran, mengingat tak ada orang tua dan kakek-neneknya yang berlatar belakang perajin perak seperti kebanyakan warga Kotagede. Saudaranya pun ikut mempertanyakan, mengingat harga produk perak tengah lesu. Respons itu diolah Surya menjadi semangat. Dia ingin menghadirkan produk baru berupa cincin perak dengan spirit anak muda. “Sekaligus untuk nguri-uri (melestarikan) kerajinan perak di Kotagede yang turun-temurun,” kata Surya.
Sejak akhir 2015, Surya mulai serius membangun bisnis kerajinan perhiasan perak. Dia menggandeng kakaknya, Syahrizal, 31 tahun, dan sohib kentalnya sejak SMA hingga kuliah, Taufiq Hidayat, 27 tahun, menjadi pemiliknya. Lewat saudaranya yang berkuliah di jurusan sastra Jawa, Surya mendapat nama yang pas untuk usahanya, Sweda. Itu dari bahasa Jawa Kawi yang artinya jari. Saat ditelusuri dalam bahasa Sanskerta, kata itu punya arti lain, keringat. Bagi Surya, dua arti itu cocok dengan produk dan prosesnya.
Bersama tiga owner, mereka berbagi tugas. Surya di bagian marketing dan branding, Syahrizal mengurus finansial dan manajemen, serta Taufiq di bagian produksi. Saking seriusnya, seiring perkembangan bisnis, para owner ini putus kuliah. “Owner-nya enggak ada yang selesai kuliah. Tapi karyawannya kuliahan semua. Jangan sampai mereka kayak kami,” kata Surya sambil tertawa.
Usaha bisnisnya dimulai dari nol dengan modal awal Rp 500 ribu, yang digunakan untuk membeli bahan perak serta membayar upah perajin. Meski sudah menangguk untung, para pemilik berkomitmen untuk tidak memasukkan keuntungan ke saku masing-masing dalam kurun 1-4 tahun. Mereka menggunakannya untuk membeli peralatan, membangun studio, dan membuat produk. “Nanti bakalan ngundhuh (panen), harus sabar. Alhamdulillah, sudah ada hasilnya. Sejak tiga tahun lalu sudah ngundhuh,” kata Surya.
Kini omzet bisnisnya mencapai Rp 100-200 juta per bulan. Semula mereka tak punya karyawan, kini memiliki 20 karyawan, dari bagian manajemen hingga produksi. “Kami benar-benar mempertimbangkan sisi desain, marketing, dan branding,” kata Surya, membagi kata kuncinya.
Desain yang ditawarkan kebanyakan custom. Ada desain yang dibuat dan diolah Sweda sendiri. Ada juga desain dari pemesan yang diolah bersama pemesan. Dalam menentukan desain, Sweda mengajak pemesan berdiskusi, termasuk memberikan masukan apabila desain yang diinginkan pemesan kurang bagus. Foto-foto produk pun dilakukan tak sembarangan karena untuk promosi.
Meski desain produknya kontemporer, pembuatannya tetap dengan teknik tradisional, tatah. Produk Sweda mengandalkan detail, bukan teknik cor seperti barang pabrikan. “Kalau pakai teknik cor, kami pasti kalah dengan Jepang dan Amerika. Ini nilai tawar kami, totally hand-crafted,” kata Surya. Dengan teknik tatah,dimungkinkan untuk membuat satu piece. Orang pun bisa datang dengan memesan satu piece, lalu dibawa pulang untuk contoh, kemudian lain waktu bisa datang untuk memesan dalam jumlah banyak. “Kalau teknik cor, pesan satu piece ongkosnya mahal,” Surya mengungkapkan.
Pemilik Sweda, Surya Aditya. Dok. Sweda
Ia mengakui, dengan teknik tatah, ia tak bisa serta-merta meladeni pesanan dalam jumlah banyak. Jumlah orang yang punya keahlian sebagai penatah pun terbatas. Selama ini, selain mempekerjakan karyawan, Surya mengandalkan keahlian para perajin perak rumahan di Kotagede. Kualitas produk yang mendetail dan teliti diklaim pihak Sweda sebagai andalan produknya, ketimbang kuantitas.
Mayoritas produk Sweda untuk pangsa pasar luar negeri. Sebanyak 80 persen untuk pasar Amerika Serikat. Ini meliputi 60 persen California, New York, Houston, dan Florida. Sedangkan 20 persen sisanya untuk pasar Asia dan Eropa, seperti Swiss. Pemesannya pun para pesohor, misalnya rapper Kendrick Lamar, Joey Badass, dan Machine Gun Kelly (MGK) dari Amerika. Karya Sweda juga menarik minat musikus besar, seperti Bone Thug N Harmony, OG Slick, dan atlet skateboard Christian Hosoi. Jenama Tribal pun memesan produk Sweda secara langsung. Sweda juga pernah digandeng membuat piala untuk kompetisi sepak bola Piala Presiden pada 2017 dan 2019. Mereka membuat produk kolaborasi antara kayu an perak.
Lantaran sudah terjun ke pasar luar negeri, Sweda berfokus di sana ketimbang pasar lokal. Ada sejumlah alasan yang melatari. Pertama, daya beli orang Indonesia untuk produknya tak sebagus orang luar negeri. Tak mengherankan, Surya membanderol harga yang berbeda antara orang lokal dan asing. Harga satu piece cincin untuk orang lokal berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta. Sedangkan harga untuk pasar luar negeri dari US$ 150 hingga US$ 300 atau Rp 2,1 juta hingga Rp 4,3 juta per piece.
Kedua, apresiasi orang Indonesia terhadap produk kerajinan masih rendah. Acap kali mereka menilai harga produk dengan sebelah mata, tanpa mempertimbangkan prosesnya yang sulit dan mengutamakan detail. Surya pun mengedukasi pembeli dengan membuat video proses produksinya. “Ini bikinnya kayak gini, benar-benar hand-made. Ini (barangnya) kecil banget,” kata Surya.
Masuk masa pandemi Covid-19, Sweda menyatakan justru mendapat banyak untung. Meski begitu, Sweda juga merasakan pandemi membuat usahanya tersendat. Pesanan dari luar negeri masih berdatangan, sedangkan pemerintah menerapkan pembatasan sosial dengan kebijakan work from home (WFH). Sebagai brand owner, Surya pun melakukan riset kecil-kecilan. Dia mencari jawaban atas pertanyaan mengapa harus WFH, apakah WFH adalah bentuk dari perhatian perusahaan kepada kesehatan karyawannya. “Ternyata, mereka WFH karena enggak ada pekerjaan,” ujar Surya waktu itu.
Kondisi tersebut berbeda dengan Sweda, yang justru masih kedatangan order dari luar negeri. Pertemuan yang melibatkan seluruh karyawan pun digelar. Para karyawannya memilih untuk tetap kerja ketimbang menganggur di rumah. “Ya sudah, yang penting saling jaga. Mbutge (nyambut gawe/kerja), mulih (pulang), mbutge, mulih. Alhamdulillah enggak ada yang kena (Covid) di sini,” kata Surya.
Strateginya adalah menambah 4-5 karyawan dan menambah biaya pemasaran. Strategi itu berbeda dengan banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan hingga gulung tikar akibat pandemi. Usahanya pun tetap berkibar pada masa pandemi. Sweda pun kembali melakukan riset. Rupanya, ada atau tidak ada pandemi, para pemesan yang mayoritas dari kalangan menengah atas itu ternyata tetap punya uang. Dengan uang itu, mereka punya keberanian untuk membeli perhiasan.
Meski begitu, kendala tetap ada. Order mengalir, tapi tak serta-merta bisa kirim barang. Sebab, pasar paling banyak pada masa awal pandemi adalah New York yang tengah menerapkan lockdown. Pemesan tak mengetahui ukuran jarinya. Untuk mengukur ukuran jari agar lebih pas, harus melalui toko perhiasan. Akibat lockdown, toko perhiasan tutup. “Jadi, orderan kami tertunda gara-gara menunggu ukuran jari, bukan dibatalkan,” kata Surya.
Setelah kebijakan lockdown berakhir, toko buka, order pun kembali mengalir. Pesanan mencapai 45-60 pieces dalam sebulan dari Amerika dan sekitar 10 pieces untuk Eropa dan lokal, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dan beberapa kota luar Jawa. Bahkan omzet pada masa pandemi Juli-Agustus 2020 naik sampai 100 persen, menjadi sekitar Rp 130 juta hingga Rp 200 juta. Sementara nilai dolar terhadap rupiah pun juga gila-gilaan, hingga Rp 18 ribu per satu dolar. Pada 2020, Sweda juga mendapat order cincin untuk lulusan Sekolah Tank di Swiss.
Tak hanya order yang lancar, Sweda juga memberanikan diri melahirkan produk baru selama pandemi. Kini ada sub-brand yang diistilahkan Surya sebagai adik dari Sweda. Namanya Brassco by Sweda. Produknya pun seputar kerajinan dari perak berupa produk pengait dompet, bros, dan aksesori mobil yang diproduksi para vendor di Pati, Jawa Tengah. Omzetnya sekitar Rp 80-150 juta per bulan. Kelahirannya pun didorong oleh keinginan pelanggan dari Negeri Abang Sam. “Mereka sudah trust banget sama kami,” kata Surya.
Belakangan, Sweda juga mulai berani menerima pesanan perhiasan dari emas dan berlian. Lima bulan lalu, Sweda mengirim pesanan berupa cincin bertatah berlian seharga Rp 17 juta ke luar negeri dengan asuransi pengiriman senilai Rp 15 juta.
Kendala di masa pandemi juga muncul ketika krisis oksigen terjadi. Tak hanya rumah sakit yang kalang kabut kehabisan oksigen, Sweda dan vendor-vendornya pun terkena imbas. Mereka kesulitan mendapatkan oksigen untuk pembuatan produk, karena pasokan oksigen diutamakan untuk pasien Covid-19. “Oksigen tabung buat industri dan kesehatan kan sama. Akhirnya pesanan mundur semua,” kata Surya.
Omzet Sweda juga sempat turun hingga 20 persen saat terjadi kebakaran hebat di California. Kondisi yang sama juga mereka alami ketika Amerika Serikat digoyang kasus black lives matter dan momentum pemilihan presiden Amerika Serikat. Kasus kebakaran di California bisa dipahami Surya, mengapa pesanan sempat macet. Sejumlah pemesan mengirim foto langit California yang merah kepadanya. Namun ia belum menemukan jawaban mengapa kasus black lives matter--gerakan menolak diskriminasi terhadap orang kulit hitam menyusul meninggalnya George Floyd--dan pemilihan presiden turut menurunkan omzetnya. “Apakah benar-benar turun karena momen itu. Atau, pas pesanan turun, yang kebetulan ada momen itu,” kata Surya.
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo