Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip
Artefak Kuntowijoyo

Berita Tempo Plus

Kisah Novel Pertama Kuntowijoyo yang Akhirnya Dibukukan

Roman pertama Kuntowijoyo yang dimuat dalam harian Djihad akhirnya dibukukan. Proses panjang produksi dari mikrofilm tua.

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Kuntowijoyo di Malang, Jawa Timur, 1990. Dok. Tempo/Zed Abidien
Perbesar
Kuntowijoyo di Malang, Jawa Timur, 1990. Dok. Tempo/Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Roman Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari telah lama hilang dari peredaran.

  • Roman pertama Kuntowijoyo itu pernah terbit dalam harian Djihad di Jakarta.

  • Masih banyak misteri yang menyelimuti warisan Kuntowijoyo ini.

SINAR matahari menghangatkan rel-rel besi yang bergetar selepas dilintasi kereta rel listrik di Stasiun Ceper, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin siang, 24 Februari 2025. Stasiun itu riuh oleh penumpang yang berhamburan turun dari kereta yang baru tiba dari Yogyakarta. Pintu keluar-masuk penumpang di bawah papan bertulisan “Ceper +133 M” berderit. Dinding stasiun berwarna putih dengan cat yang baru, muda, dan bersih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu suasana Stasiun Ceper saat ini. Pada zaman perang dulu, keadaannya pastilah berbeda. Latar masa perang itulah yang digunakan sastrawan Kuntowijoyo saat menulis Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari, roman pertamanya yang baru saja diterbitkan kembali oleh Penerbit Buku Baik yang bekerja sama dengan Pabrik Tulisan. Novel itu adalah karya Kuntowijoyo yang selama ini dianggap “hilang” karena hanya disebut-sebut pernah terbit pada 1966 tapi bentuk fisiknya tak pernah terlihat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana Stasiun Ceper tergambar dalam halaman-halaman awal novel ini. Kuntowijoyo membuka novelnya dengan penggambaran rel kereta api, bunyi getaran kereta, orang-orang yang menanti datangnya kereta, persawahan di sekitar rel, dan orang-orang yang berinteraksi di stasiun.

“‘Jika kau tempelkan telingamu pada rel, akan kau dengar suara itu.’ ‘Mengapa demikian?’ ‘Karena getaran itu mengenai telingamu.’ ‘O begitu.’ ‘Hei tampaknya kau belum mengerti kita telah merdeka!’” demikian sekelumit percakapan orang-orang di stasiun dalam novel tersebut.

Mereka menunggu kedatangan kereta. Keadaan mulai berubah ketika seorang pegawai pos datang membawa sebuah telegram. “Rahman akan pulang,” demikian bunyi telegram itu. Rahman adalah anak semata wayang Dulgapar, kakek-kakek yang masih bertahan di Desa Ngawonggo, yang tak jauh dari Stasiun Ceper. Dulgapar hidup seorang diri setelah Rahman pergi beberapa tahun sebelumnya.

Stasiun Ceper di Desa Jambu Kulon, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 24 Februari 2025. Tempo/Shinta Maharani

Di desa itu juga ada sebuah pabrik gula dengan dua cerobong asap menjulang tinggi di kejauhan. Dari cerobong asap itulah serdadu Belanda memantau pergerakan tentara Indonesia.

Rumah Dulgapar terletak di dekat sebuah jembatan, yang ia dan warga desa lain bangun dengan susah payah dulu. Tapi tentara Indonesia diam-diam akan meledakkan jembatan tersebut karena jembatan itulah yang membuat tentara Belanda bisa bergerak leluasa selama ini. Peledakan jembatan juga menjadi penanda serangan besar-besaran ke pabrik gula, basis pertahanan tentara Belanda.

Letnan Harun, pemimpin tentara Indonesia, memerintahkan dua anak buahnya, Kusen dan Bakri, meledakkan jembatan itu. Ternyata aksi keduanya dipergoki Dulgapar, yang berusaha menghalangi rencana mereka. Usaha Dulgapar gagal dan dia malah dituduh sebagai pengkhianat.

Kuntowijoyo membawa pembaca ke suasana perang setelah kemerdekaan Indonesia pada 1949 dalam novel ini. Untuk memberi gambaran tentang latar cerita, penerbit menyertakan sepuluh ilustrasi berkelir hitam-putih karya Enka Komariah. Enka adalah ilustrator yang banyak menciptakan gambar dengan gaya dan format komik. Karya Enka khas menggunakan warna-warna monokrom. “Lebih dramatis,” kata Enka ketika ditemui Tempo di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 22 Februari 2025.

•••

PENERBITAN kembali roman Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari bermula dari gagasan Seno Gumira Ajidarma. Sastrawan dan pengajar Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta itu telah lama mendengar tentang karya pertama Kuntowijoyo ini.

Berawal dari setiap renungan ketika berada di perlintasan kereta, Seno mengaku ingin membuat tulisan tentang kereta, tapi ia tahu Kuntowijoyo telah menulisnya. Keinginannya mencari karya Kuntowijoyo kemudian makin kuat. “Karena selama ini tak ada bukunya,” tutur Seno kepada Tempo, Selasa, 25 Februari 2025.

Roman Kuntowijoyo yang diterbitkan di koran Djihad, tersimpan dalam microfilm. Foto: Perpustakaan Nasional, Djihad Juni 1966

Seno lalu meminta bantuan Nia Nur’aini, periset lepas yang sering membantunya, melacak roman Kuntowijoyo tersebut. Saat itu Nia mendatangi Perpustakaan Nasional, yang tengah dalam peralihan dari gedung lama di Salemba ke gedung baru di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, pada 2020.

Usaha Nia terhambat karena pandemi Covid-19. Ia baru datang lagi ke Perpustakaan Nasional di Salemba pada 2021, tapi belum bisa menemukan arsip novel itu. Ia kembali pada 2022 dengan satu tantangan baru karena tak bisa segera menemukan arsip koran digital di rak meskipun tertulis di katalog. Baru pada 2023 ia memegang nomor panggil arsip tersebut dan mulai melihat satu per satu salindianya dalam alat pembaca mikrofilm.

Nia harus berulang kali datang ke Perpustakaan Nasional dan menyelisik mikrofilm harian Djihad, koran yang mempublikasikan Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari secara bersambung pada 1966. Dia menelusuri, mengecek, dan mengecek ulang semua terbitan Djihad, termasuk setahun sebelum dan sesudah 1966.

Nia melakukan itu untuk memastikan tak ada karya atau tulisan Kuntowijoyo yang terlewat. Setelah memastikan tak ada karya Kuntowijoyo pada 1965 dan 1967, ia berfokus pada terbitan 1966. Ia menemukan karya Kuntowijoyo memang hanya terbit pada tahun itu. “Ternyata karya tersebut diterbitkan dalam kurun waktu tertentu. Tapi itu pun tidak terbit setiap hari,” ucapnya kepada Tempo, Selasa, 18 Februari 2025. Terbitannya kadang muncul berurutan, tapi kadang juga berselang dua-tiga hari.

Djihad salah satu harian yang diperkirakan terbit pada pertengahan 1960-an. Menurut Seno, pengelola surat kabar yang beralamat di Jalan Kebon Sirih 39, Jakarta, ini berganti-ganti. Semula pemimpin redaksinya adalah Zubir Salam dengan dewan redaksi yang terdiri atas Bachtiar Djamily dan H Sofjan Noer di awal penerbitannya pada 31 Desember 1965.

Enam bulan kemudian, pengurusnya berubah menjadi KH Roesli Abdul Wahid dan Rusli Halil sebagai penasihat, Amir Hoesein Wahab (Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab I), serta Drs H Nurul Huda (Penanggung Jawab II) dengan dewan redaksi terdiri atas Mayor KH A. Sja’roni, Drs Indra Sudibjo, Norma Amminudin J., Drs Anwar Suleiman, S.A. Mahmoed, dan Asfyn Anwar serta ilustrator M. Adil Harun pada 30 Juni 1966.

Ilustrator Enka Komariah menunjukkan gambar ilustrasi karyanya pada novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 22 Februari 2025. Tempo/Shinta Maharani

Pada salah satu halaman depan koran itu tertulis ajakan menyukseskan acara Musyawarah Kerja Partai Islam Perti. Perti adalah akronim Persatuan Tarbiyah Islamiyah. “Ada kemungkinan koran ini terafiliasi dengan partai itu,” ujar Seno. Namun ada keraguan Djihad terhubung dengan partai tersebut. Buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer pun tidak menyinggung kaitan Partai Islam Perti dengan harian Djihad.

Nia mengumpulkan semua salinan mikrofilm Djihad yang memuat karya Kuntowijoyo itu pada edisi 30 Juni-22 Agustus 1966. Namun dia tidak tahu cerita itu berakhir di nomor terbitan yang terakhir ia temukan atau masih ada kelanjutannya. “Karena saya cari di terbitan berikutnya sudah tidak ada.”

Arsip Djihad sudah rapuh, cetakan tintanya bleber atau hilang, dan hurufnya tidak jelas. “Ada yang buram. Sempat salah tanggal juga,” kata Nia.

Karena kesulitan membaca arsip itu dan arsip di sana tidak lengkap, Nia mencari di tempat lain. Ia menghubungi Arsip Nasional, Museum Pers, dan badan arsip lain, tapi tak mendapatkan hasil yang memuaskan.

Nia lantas melaporkan hasil penelusurannya kepada Seno dan dokumen karya Kuntowijoyo itu diserahkan kepada Trinanti Sulamit untuk disalin. Trinanti, periset lepas yang juga kerap menolong Seno, pun menghadapi tantangan dalam menyalin dokumen itu, terutama karena sudah uzur dan rapuh sehingga kurang begitu jelas tertangkap pembaca mikrofilm. Trinanti sering menemukan kata atau kalimat yang tidak jelas, hilang, atau bertumpuk.

Dengan kondisi demikian, Trinanti sempat ragu apakah tugasnya cukup menyalin apa adanya atau sekaligus memperbaikinya. Ia mencontohkan, dalam novel itu tertulis: “Pendek kata, merka telah menyalahkan Letnan Harun yang telah memerintahkan suatu tin kampung, orang-orang tua itu. Let-dakan terhadap kakek. Itu suatu pembunuhan. Bagi orang-orang Letnan Harun adalah pembunuh sahabat mereka”.

Akhirnya dia menyuntingnya menjadi: “Pendek kata, mereka telah menyalahkan Letnan Harun yang telah memerintahkan suatu tindakan terhadap kakek. Itu suatu pembunuhan. Bagi orang-orang kampung, orang-orang Letnan Harun adalah pembunuh sahabat mereka”.

Kuntowijoyo di kantornya, Yogyakarta, 1987. Dok. Tempo/I Made Suarjana

Ada pula beberapa kata yang tak terbaca, seperti “Pegawai pos itu mengejanya dengan hati-hati. Ia mau menunjukkan arti satu-satunya huruf yang tertulis. (...) (...) (...) (……) itu telah meninggal. Belum ada seratus hari”. Enam kata yang tidak terbaca itu diberi tanda “(...)” dalam buku novel yang baru diterbitkan dan diberi catatan kaki.

“Ini kan menyangkut tafsir juga. Jadi ya dibiarkan saja. Paling saya memperbaiki dengan disesuaikan konteksnya atau, ya, diberi keterangan di catatan kaki,” ucap Trinanti.

Mereka menyusun bab berdasarkan urutan penerbitannya dalam Djihad dengan ditambahi keterangan tanggal terbitnya. Ada pula catatan kaki untuk menjelaskan kondisi asli naskah kepada pembaca.

Seno mengesampingkan karya ini dari aspek sastra. Bagi dia, urusan sastra menjadi bagian peneliti dan kritikus sastra. Ia menilai karya Kuntowijoyo ini sebagai temuan dan artefak sastra layaknya prasasti kuno. Ia mencontohkan penemuan arca atau patung yang bocel atau dengan hidung terpotong yang tidak akan diperbaiki atau ditambal. Berdasarkan itulah temuan karya ini ia sebut “arkeologi sastra”. “Bukan arkeologi yang sebenarnya, tapi semangat menggalinya. Banyak aspek yang bisa digali dari karya ini,” ujarnya.

Seno dan timnya membiarkan karya Kuntowijoyo ini menjadi artefak yang bisa dinikmati lebih nyaman. “Hanya sedikit memolesnya,” katanya.

Seno mengungkapkan, “menyempurnakan” gubahan Kuntowijoyo ini atas nama kenyamanan konsumen di pasar berpeluang memancing perdebatan etis. Meskipun hal itu disetujui ahli waris dan secara hukum sah, yang akan terbaca adalah “Kuntowijoyo” yang lain.

Intervensi yang bisa ia lakukan hanyalah koreksi ejaan dan kesalahan tik serta penyesuaian tanda baca karena aturan penulisan bahasa Indonesia sekarang berbeda dengan pada 1966. Kesalahan tik di koran juga menjadi masalah karena naskah aslinya tidak terdokumentasi.

•••

NOVEL Kuntowijoyo terbitan Penerbit Buku Baik ini dihiasi berbagai ilustrasi karya Enka Komariah, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Setahun lalu, Enka bersama pendiri Penerbit Buku Baik, Dodo Hartoko, menyusuri Stasiun Ceper, Pabrik Gula Ceper, dan jembatan yang diledakkan tentara Indonesia di dekat pabrik gula tersebut. Seharian mereka menjejaki tempat-tempat itu, memotretnya, dan menemui penduduk untuk menggali informasi.

Novel Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari karya Kuntowijoyo. Tempo/Charisma Adristy

Tempo mendatangi pabrik gula yang berdiri pada 1863 itu. Lokomotif uap berdiri di pintu masuk dekat pos satuan pengamanan yang tampak seperti monumen. Tanaman tebu tumbuh tinggi di kanan-kiri jalan menuju bangunan utama pabrik. Rumput ilalang dan semak belukar mengepung hampir seluruh bangunan.

Bangunan utama pabrik itu terbengkalai sejak operasinya berhenti pada 1998 karena krisis ekonomi. Cat dinding bangunan tua itu mengelupas, berdebu, dan kusam. Kerangka kayunya keropos dan rapuh di sana-sini dengan atap seng berkarat. Pecahan kaca pun berserakan di tanah.

Di sebelah selatan terlihat bekas rumah dinas pegawai pabrik gula. Tak jauh dari pabrik, terdapat bekas jembatan lori yang berkarat. Dulu pabrik gula ini punya jalur kereta api yang terhubung dengan Stasiun Ceper, yang berada di sebelah utara. Jalur itu digunakan untuk mengangkut tebu dan bahan baku lain.

Dua cerobong asap terlihat di pabrik itu. Di bagian paling belakang tampak sejumlah pekerja yang lalu-lalang. “Mereka mengolah kayu jadi tripleks,” tutur Teguh Narimo, petugas satpam pabrik. Dia juga mengatakan banyak YouTuber yang datang dan mengeksplorasi tempat ini pada malam.

Enka membuat ilustrasi pabrik gula beserta cerobong asap dan jembatan dalam novel Kuntowijoyo. Ia mengenal dekat lokasi ini karena tumbuh di sekitar rel kereta dan pabrik gula. Semula ia mengira hanya akan menggarap ilustrasi pada sampul. Tapi Dodo memintanya juga mengerjakan ilustrasi di dalam buku. Ia mengiyakan karena pernah membuat ilustrasi seputar kolonialisme, pascakolonialisme, dan sejarah revolusi.

Setelah memotret, Enka menggali berbagai arsip tentang sejarah. Ia dibantu istrinya menyiapkan adegan reka ulang ilustrasi. Setelah memotret adegan itu, Enka melukisnya dengan cat minyak di atas kertas dan kanvas yang berbeda. Salah satu tantangannya dalam membuat ilustrasi adalah mencocokkan data di lapangan dengan situasi era perang kemerdekaan di tengah minimnya arsip. “Butuh enam bulan. Yang tersulit bikin komposisi gambarnya,” kata Enka.

Dodo pun tak sembarang mendesain sampul bukunya. Seno Gumira Ajidarma menuturkan, Dodo menjadikan sampul ini karya seni, bagian kreatif yang penting dalam produksi bukunya. Dodo dan Seno bertukar pikiran cukup lama untuk urusan ini. Ilustrasi sampul buku itu menggunakan gambar dari cerita Kuntowijoyo dalam harian Djihad.

•••

AKHIR cerita Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari masih misterius. Apakah tulisan dalam harian Djihad tanggal 22 Agustus 1966 itu adalah terbitan terakhir roman ini atau masih ada bagian yang hilang atau penerbitannya dipaksa dihentikan?

Pabrik Gula Ceper di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 24 Februari 2025. Tempo/Shinta Maharani

Cerita dan penerbitan dalam koran Djihad yang masih misteri, Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan, menarik pula diteliti. Mengapa tulisan Kuntowijoyo itu dimuat dalam harian Djihad dan bukan dalam harian lain serta bagaimana situasi politik saat itu? Apakah hal itu terkait dengan jaringan Islam Kuntowijoyo?

Bagi Seno, karya ini tak sekadar menghidupkan artefak yang lama hilang, tapi juga menghidupkan arsip atau dokumen sejarah.

Shinta Maharani dari Klaten berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Artefak Kuntowijoyo yang Hilang

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus