Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Evolusi Pasar Kosambi dan Gudang Selatan

Anak-anak muda Bandung bergeliat menciptakan tempat rintisan usaha baru berbasis jaringan pertemanan dan komunitas yang kuat. Setelah Spasial harus hengkang pada 2019 dari Jalan Gudang Selatan, belakangan muncul The Hallway di lantai dua Pasar Kosambi Bandung.

12 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Suasana di Hall Way Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 3 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Anak-anak muda Bandung bergeliat menciptakan tempat rintisan usaha baru berbasis jaringan pertemanan dan komunitas yang kuat.

  • Mereka memanfaatkan bangunan milik tentara atau pemerintah daerah yang lama kosong dan terbengkalai.

  • Setelah Spasial harus hengkang pada 2019 dari Jalan Gudang Selatan, belakangan muncul The Hallway di lantai dua Pasar Kosambi Bandung.

BANDUNG — Pasar Kosambi di Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung. Siang itu, hari telah masuk akhir pekan di ujung Februari 2022. Pelataran parkir pasar tidak penuh kendaraan. Keramaian pembeli berpusat di lantai basement luar hingga ke dalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bagian itu berkumpul pedagang bahan kebutuhan pokok, sayur, buah, warung makan, hingga camilan. Lantai satu yang dihuni penjual pakaian, kain, aksesori, juga toko emas, cenderung sepi. Terus lanjut naik ke lantai dua, muncul suasana yang berbeda dari keberadaan The Hallway. "Tempatnya seperti di mal, kontras dengan suasana pasar di lantai bawah," kata Dena Ayu, 24 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jauh-jauh datang dari Cimahi bersama adiknya, Raisya Camelita, 16 tahun, yang tinggal di Lembang, utara Bandung, mereka baru pertama kali ke Pasar Kosambi. Niat utamanya bukan ingin belanja bahan kebutuhan pokok atau baju, melainkan berfoto di sebuah photo booth.

Mereka sengaja datang lebih awal untuk menghindari antrean yang bisa berderet panjang. Menjelang tengah hari itu, sekitar 20 orang telah kongko sambil makan dan minum di kantin bagian belakang. Sementara kebanyakan kios toko lainnya masih tutup, para tukang sudah sibuk bekerja merenovasi tempat di beberapa titik.

Tanpa memasang papan nama besar di fasad gedung berlantai enam itu, The Hallway menjadi sentra keramaian baru di tengah Pasar Kosambi. Rata-rata jumlah pengunjungnya 30-35 ribu orang per bulan.

Menempati area seluas 3.100 meter persegi di lantai dua, tempat itu kini terisi oleh 140 toko milik 130 tenant yang berbaris di delapan lorong. Penyewanya berjualan fashion; hobi; gaya hidup, seperti salon; aksesori, juga dekorasi rumah, dengan segmen pasar anak muda.

Setiap kios, yang seluas 7-9 meter persegi, disewakan sekitar Rp 14 juta per tahun. Selain area komersial, di sudut-sudut lantai disediakan ruang kreatif untuk musik, pameran seni, atau foto.

Kepala Perusahaan Daerah Pasar Kosambi Bandung, Yayan Agustina, mengatakan kehadiran The Hallway meramaikan suasana pasar itu yang sejarahnya dimulai sejak 1915. Di pasar tradisional itu kemudian dibuatkan gedung enam lantai pada 1993 yang kini menjadi aset Pemerintah Kota Bandung.

Menurut Yayan, sejak dulu lantai dua ke atas kosong tanpa pedagang. Di lantai dua sebelumnya sempat dibangun deretan kios, tapi mangkrak. Lantai 3-4 hanya lantai dan pilar. Sedangkan lantai lima pernah digunakan untuk lapangan voli. Kondisi itu dilirik dua sekawan, Rilly Robbi Gusadi dan Faizal Budiman alias Bob, untuk menyewa lantai dua.

Ini berawal dari empat kios di bagian belakang yang mereka gunakan secara bertahap sebagai gudang barang jualan mereka, yaitu sepatu, pada kurun 2017-2018. Setelah itu, mimpi mereka berkembang untuk menjadikan area itu sebagai tempat usaha bersama.

Lorong di Hallway Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 3 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia

Menggaet dua rekannya, mereka berempat patungan hingga terkumpul dana Rp 20 juta. Uang itu dipakai untuk menyewa kios tambahan sekaligus mendandani tempat. Pada 2019, para perintis The Hallway itu punya 20 kios yang ditawarkan dengan harga menggiurkan. “Sewa setahun, gratis setahun berikutnya,” kata Robbi. Meskipun secara hitungan bisnis merugikan, saat itu mereka membutuhkan dana baru untuk modal menyewakan dan memperbaiki kios tambahan, serta membenahi jaringan listrik dan air.

Peristiwa kebakaran pada 18 Mei 2019 di lantai basement Pasar Kosambi menghanguskan 200-an lapak meja dan toko. Asap dan jelaga yang naik ke lantai dua ikut menghitamkan bangunan yang telah mereka cat sebelumnya.

Menurut Robbi, konsep The Hallway merangkum dari M Bloc dan Pasar Santa di Jakarta. Calon penyewa disaring lewat pengajuan proposal, sehingga barang jualannya beragam. Mayoritas pengisi The Hallway atau sekitar 70 persen merupakan usaha kecil, selebihnya baru merintis hingga dari nol.

Rencananya, kata Bob, tahun depan mereka menggarap sisa area yang belum terpakai untuk deretan kios baru. Sejauh ini mereka masih mempertimbangkan alokasinya untuk kalangan pedagang umum atau tematik. Perjanjian dengan pemilik tempat, yaitu Perusahaan Daerah Pasar Kota Bandung, The Hallway membayar sewa 35 persen dari estimasi omzet per tiga tahun sesuai dengan masa kontrak.

Terhitung mulai 1 Oktober 2020 sejak The Hallway resmi berdiri, sewa area yang disetorkan Rp 350 juta per tahun. “Secara bisnis BEP (break event point) dua tahun. Setelah tahun kedua ini mulai profit,” ujarnya. Kini mereka tengah menyiapkan adendum perjanjian untuk kontrak selama lima tahun.

                                                   ***

Gairah anak muda Bandung untuk berkumpul dan berbisnis dengan basis jaringan pertemanan dan komunitas seperti itu sebelumnya pernah muncul di Spasial, Jalan Gudang Selatan Nomor 22. Dirintis pada 20 April 2015, tepat empat tahun kemudian, keramaian kawula muda di sana bubar diiringi perayaan sedih penutupan. “Kenapa? Karena kami tidak diberikan lagi hak sewa di tempat tersebut,” kata Ardo Ardhana, pendiri Spasial, pada Selasa, 8 Maret lalu. Tempat itu merupakan bekas gudang amunisi yang dikelola tentara.

Aset pemerintah itu disewakan sejak 2014. Sedangkan bangunan di nomor lain ada yang disewakan ke sipil sejak 2006. Ardo menyewa empat slot seharga Rp 60 juta yang masing-masing berukuran 3,5 x 11 meter untuk membangun ruang bersama yang dinamakan Spasial.

Dibantu teman dan beberapa orang yang magang kerja, Ardo awalnya membuka lahan di dalam gedung tua itu untuk kelas-kelas pelatihan, seperti jurnalistik, fotografi, dan event organizer. “Ruang yang bisa dipakai bersama itu enggak spesifik ke ruang kreatif,” kata dia.

Ardo melihat Kota Bandung tidak punya ruang untuk memfasilitasi aktivitas anak muda yang bisa digunakan secara bersama. Ruang Spasial kemudian juga dipakai untuk kegiatan apa pun, dari demo memasak hingga pertunjukan balet.

Ardo mengaku terinspirasi oleh kegiatan Common Room yang bergulir sejak 2000-an. Setahun pertama, dia mencari bibit-bibit berbakat untuk tampil di Spasial. Pada tahun kedua, kalangan komunitas yang berdatangan. Mereka bebas menggunakan ruang seharian dengan membayar Rp 500 ribu.

Pertunjukan musik band cadas maupun penampilan disc jockey disambut dengan tangan terbuka. Pemasukan lain dari sebagian lahan yang disewa kantor arsitek seharga Rp 15 juta per tahun, lalu ada beberapa toko clothing dan kedai kopi. Penghasilan terbesar, kata Ardo, dari pemakaian Spasial untuk syuting iklan maupun film layar lebar. Tarif per hari Rp 35-40 juta. Selain itu, ada kegiatan bersama sponsorship.

Selama empat tahun itu, kata Ardo, tercatat sekitar 400 acara digelar di Spasial. Bahkan dalam seminggu bisa minimal ada 2-5 acara. “Ironisnya, di tahun keempat ketika enak, lagi seru-serunya, Spasial harus tutup,” ujarnya. Sejak buyar pada 2019 hingga sekarang, Ardo masih berusaha mencari tempat pengganti. Di antaranya mendatangi PT Pos Indonesia, PT Kereta Api, juga pasar-pasar, termasuk Kosambi. Dari semuanya itu, Ardo masih terbentur masalah harga sewa yang dia nilai tinggi, kelayakan tempat, dan sistem birokrasi yang kaku.

ANWAR SISWADI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunu Dyantoro

Sunu Dyantoro

Memulai karier di Tempo sebagai koresponden Surabaya. Alumnus hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini menjadi penanggung jawab rubrik Wawancara dan Investigasi. Ia pernah meraih Anugerah Adiwarta 2011 dan 2102.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus