Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Max Lane dikenal sebagai penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Dia juga menulis banyak analisis tentang Pramoedya dan Indonesia.
Max Lane menuturkan pengalamannya menerjemahkan buku Pramoedya.
MAXWELL Ronald Lane masih sangat aktif dan gagah di usia 74 tahun. Peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, itu dikenal sebagai penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan buku mengenai Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun doktor filsafat politik dan sejarah dari University of Wollongong, Australia, ini merasa masih banyak yang belum ia lakukan. “Saya merasa berdosa sudah lama tidak menulis tentang naskah Pramoedya sendiri,” kata suami sutradara teater Yogyakarta, Faiza Mardzoeki, itu di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Ahad, 9 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama dua jam Max Lane—begitu dia biasa disapa—menuturkan kepada wartawan Tempo, Iwan Kurniawan, pengalaman bersama Pram—panggilan Pramoedya—dan penerjemahan karyanya.
Biasanya diplomat menjauh dari politik, mengapa Anda malah menemui Pramoedya?
Saya bekerja di Kedutaan Australia selama 1980-1981. Tapi sejak 1969 saya sudah bolak-balik Indonesia-Australia saat saya masih 18 tahun dan menjadi mahasiswa jurusan studi Indonesia di University of Sydney yang belajar tentang bahasa, sejarah, dan budaya Indonesia.
Karena itu, saya punya banyak teman. Entah kenapa teman-teman saya di Indonesia manusianya jenis tertentu. Saya kenal dekat sekali dengan W.S. Rendra dan bahkan saya mengajar ilmu politik di Bengkel Teater. Mas Willy—panggilan W.S. Rendra—juga memperkenalkan saya kepada mahasiswa-mahasiswa yang tersangkut Malapetaka 15 Januari (Malari), seperti Hariman Siregar, Daniel Dhakidae, dan Aini Chalid.
Hal itu tak berdampak kepada Anda?
Saya juga disangkut-sangkutkan dengan Malari. Dalam dakwaan terhadap Aini, jaksa bilang Aini mengirim surat kepada “penganut Marxis Australia yang menjelek-jelekkan Indonesia”. Yap Thiam Hien menjadi pengacara saya dan saya mengancam jaksa itu bahwa, kalau dia tidak mencabut omongannya di pengadilan Aini, saya akan menuntutnya telah melakukan fitnah.
Anda melihat naskah Bumi Manusia?
Naskah Bumi Manusia yang diketik Pram di Pulau Buru diperlihatkan kepada saya. Tidak ada margin karena kertas di Pulau Buru sangat langka. Yang lebih gila, tidak ada coretan. Memang editornya, Joesoef Isak, melakukan beberapa perbaikan, tapi dari Pram itu sudah utuh, sudah selesai. Saya belum pernah membayangkan orang duduk di dalam penjara di meja dengan mesin tik yang kumuh mengetik ratusan halaman tanpa koreksi dan tanpa margin.
Mengapa Anda memutuskan menerjemahkannya?
Saya selesaikan pembacaannya dalam satu malam saking asyiknya. Saya pikir penting sekali orang di luar Indonesia bisa membaca ini, karena dengan membacanya bisa mengenal Indonesia yang sesungguhnya. Pada waktu itu citra Indonesia di luar adalah Soeharto, Orde Baru, korupsi, penjajahan di Timor Leste. Buat saya, itu bukan Indonesia. Itu hanya satu aspek yang tidak mewakili Indonesia. Buat saya, minimal yang mewakili Indonesia yang saya kenal, ya, Bumi Manusia.
Apa isi Bumi Manusia sebenarnya?
Ia menggambarkan sebuah masyarakat ketika Indonesia belum ada. Kata Indonesia tidak ada di Tetralogi Buru. Minke itu embrio manusia yang di kemudian hari menjadi manusia di Indonesia. Orang Indonesia di awal abad itu adalah makhluk yang sama sekali baru.
Dia bisa menggambarkan proses makhluk-makhluk baru ini. Minke itu bukan orang Jawa lagi, tapi juga belum orang Indonesia. Minke tidak sibuk dengan masalah identitas, seperti yang orang perdebatkan sekarang. Tidak sekali pun Minke berpikir, kalau bukan orang Jawa, saya itu orang apa? Karena siapa peduli identitasmu. Yang menarik adalah apa yang kamu perbuat.
Apa yang sulit dalam penerjemahannya?
Yang mungkin sulit saya ungkapkan adalah nada, semangat, atau filosofi masyarakatnya. Suatu konsep kemanusiaan berdasarkan gelombang pencerahan, suatu konsep perlawanan yang sangat kerakyatan.
Di Bumi Manusia bukan hanya Minke dan Nyai Ontosoroh yang melawan, tapi juga Darsam dan teman-temannya. Cara perlawanan mereka diilhami pencerahan, kemanusiaan, ilmu pengetahuan, juga perlawanan kerakyatan terpadu. Saya setuju dengan Pram bahwa Indonesia yang kita kenal sekarang hanya ada karena perlawanan yang berkiblat kepada kemanusiaan. Tanpa itu, Indonesia tidak ada. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo