Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nestapa Korban TPPO, Cuan bagi Aparat dan Bandar

Bandar dan calo memanfaatkan berbagai jaringan merekrut calon pekerja migran ilegal. Bagaimana modus mereka?

2 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah WNI korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menaiki bus setibanya dari Filipina di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 26 Mei 2023. ANTARA/Fauzan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Azirah merupakan salah satu korban selamat dari 11 calon pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang diberangkatkan melalui pelabuhan tikus di Batam ke Malaysia.

  • Batam ditengarai jadi pintu masuk penyelundupan.

  • BP2MI menyerahkan daftar lima bandar yang disertai modus sindikat TPPO.

JAKARTA — Takut dan kedinginan, begitulah yang dirasakan Azirah Assyaatul Baqiyah kala mengingat kejadian yang dialami pada 17 Januari lalu. Calon pekerja migran ini ingat betul bagaimana dia memeluk erat jeriken berukuran 50 liter agar tetap bisa mengapung di perairan Pontian Besar Johor, Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Speedboat fiberglass yang ditumpanginya pada malam itu tenggelam karena kelebihan muatan. Lebih dari 10 jam, Azirah mengapung di laut. ”Dari jam 10 malam hingga 11 siang keesokan harinya mengapung. Sempat ingin menyerah, tapi saya ingat anak," ucap Azirah saat dihubungi Tempo pada Kamis, 1 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azirah merupakan satu dari 11 calon pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang diberangkatkan melalui pelabuhan tikus di Batam. Pelabuhan tikus bukan nama lokasi, melainkan jalur tersembunyi yang digunakan untuk menghindari pengawasan. Saat menuju Malaysia, kapal yang ditumpangi Azirah dan calon pekerja migran lainnya terbalik. Enam calon pekerja migran meninggal, sedangkan lima orang lainnya dan dua tekong atau nakhoda kapal selamat.

Baca: Darurat Perdagangan Orang di Nusa Tenggara

Perempuan asal Indramayu ini menuturkan dirinya hendak pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Cerita ini bermula saat Azirah diajak bekerja ke Malaysia oleh teman yang dikenalnya lewat media sosial Facebook. Azirah tidak pernah mengenal teman Facebook-nya itu di dunia nyata. Interaksi hanya dilakukan di dunia maya selama Januari lalu. “Saya ditawari gaji 1.300 ringgit atau sekitar Rp 4,2 juta," ujar perempuan berusia 23 tahun ini.

Azirah menerima tawaran itu. Kebutuhan ekonomi menjadi faktor utama dia menerima tawaran tersebut. "Suami saya yang bekerja sebagai nelayan tidak pasti selalu mendapat rezeki," ucap ibu dua anak ini.

Azirah lantas diminta memenuhi beberapa berkas syarat administrasi, seperti kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), surat nikah, dan ijazah. “Katanya, untuk dibuatkan paspor,” ucapnya. Azirah menyerahkan berkas-berkas persyaratan itu kepada seseorang bernama Nining, yang belakangan diketahui sebagai perekrut pekerja migran. Tiga hari berselang, setelah berkas diterima, Azirah diminta mempersiapkan diri untuk berangkat ke Malaysia. “Prosesnya sangat cepat.”

Keesokan harinya, Azirah bersama tiga orang lainnya, juga dari Indramayu, dijemput menggunakan mobil. Sebelum berangkat, Azirah diberi Rp 5 juta. Menurut dia, uang itu katanya untuk fee. “Kami tidak diberikan pelatihan," ujar Azirah. Dia bersama tiga calon pekerja migran lainnya diberangkatkan dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, ke Bandara di Batam. Sesampainya di Batam, Azirah dijemput lagi menggunakan mobil. “Saya tidak ke pusat kota di Batam Center, melainkan dibawa ke pinggir laut," ujarnya.

Di sana, Azirah bertemu dengan tujuh calon pekerja migran lain dari Jawa Tengah, Lampung, dan Sumatera Selatan. Mereka lantas dibawa menggunakan speedboat fiberglass bertenaga mesin 200 HP (horse power) menuju ke pulau-pulau kecil di sekitar Batam.

Saat pemberangkatan pertama, Azirah tiba di sebuah pulau yang tidak diketahui namanya. Di sana mereka tinggal di bedeng yang sudah disiapkan selama tiga hari. Para calon pekerja dilarang keluar bedeng. Pada malam hari, mereka kembali naik kapal tersebut menuju pulau yang penuh hutan. ”Kami berganti-ganti tempat. Kami di sana juga selama tiga hari," ucapnya.

Azirah mulai curiga saat ditempatkan di pulau kedua. Dia ingin melarikan diri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kemudian mereka kembali diberangkatkan ke pulau ketiga, yakni Pulau Terong. Di sana, Azirah bersama calon pekerja migran lainnya tinggal selama empat hari. Baru setelah itu, mereka menuju perbatasan Malaysia. Mereka selalu berangkat pada malam hari. Saat di perbatasan Malaysia, kapal berhenti karena menunggu kapal lain yang menjemput mereka. “Saat menunggu itulah, kapal yang kami tumpangi tenggelam," ujar Azirah.

Tempo memperoleh surat keterangan dari Konsulat Johor Bahru Malaysia kepada Unit Pelaksana Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Jawa Barat. Isinya, Konsulat memberi tahu setelah menerima informasi bahwa enam warga Indonesia tenggelam di perairan Pontian Besar Johor, Malaysia, pada 19 Januari 2023. Dalam surat itu disebutkan kapal tersebut membawa 11 penumpang perempuan. Lima orang disebutkan selamat. Konsulat menyebutkan tiga dari enam penumpang kapal itu meninggal. Ketiga korban berasal dari Indramayu, Jawa Barat. Dalam surat tersebut juga tercantum nama perekrut Nining asal Indramayu.

Polisi membawa tersangka pengungkapan tindak pidana perdagangan orang warga negara Indonesia (WNI) ke Myanmar di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 16 Mei 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna

Nestapa korban pekerja migran tak hanya dialami Azirah. Muhammad Afrilian, 28 tahun, selalu cemas bila mendengar musik berbahasa Mandarin. Ketika mendengar itu, dia selalu teringat akan penyiksaan yang dialami di Myanmar. "Saat kami disiksa, mereka menyalakan keras-keras musik Mandarin agar jeritan kami tidak terdengar," ujar Afrilian saat dihubungi, kemarin.

Afrilian merupakan satu dari 20 warga Indonesia yang menjadi korban online scam di Myanmar yang dievakuasi pada awal Mei lalu. Online scam merupakan kasus penipuan ketenagakerjaan dan perdagangan manusia. Selama enam bulan di sana, Afrilian menuturkan, mereka dipekerjakan secara tidak manusiawi.

Afrilian awalnya diiming-imingi bekerja sebagai operator marketing online di Thailand dengan gaji Rp 12-15 juta. Afrilian ditawari lembaga penyalur pekerja asal Sukabumi. "Saya tidak curiga karena sudah setahun mendapat pelatihan bahasa Inggris di sana," kata Afrilian. "Syaratnya juga mudah, cuma perlu paspor."

Baca: Korban Perdagangan Orang ke Myanmar Bertambah

Akomodasi transportasi juga dibiayai oleh perekrut. Dia berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menggunakan pesawat Thai Airways menuju Thailand. Dia dijemput perekrut dan melalui jalan darat selama enam jam, lalu sampai di tepi sungai. Kemudian, dia naik perahu selama delapan jam. "Saya mulai curiga karena perekrut membawa pistol," ujar Afrilian.

Tensi kecurigaan Afrilian menurun setelah sampai di perusahaan tempat dia bekerja karena ada orang Indonesia. Afrilian lalu dipaksa meneken kontrak kerja berbahasa Mandarin. Dia meminta perusahaan menerjemahkan isi kontrak kerja itu. Namun, kata Afrillian, mereka menolak dan berbicara menggunakan bahasa Inggris. “Tanda tangani ini untuk keselamatan Anda," ucap Afrilian menirukan perekrut.

Afrilian bersama pekerja migran lainnya mulai bekerja. Dia diminta membuat fake account alias akun bodong sebagai seorang wanita di perangkat elektronik yang disiapkan. Saat membuat setting alamat di perangkat itulah, dia baru tahu ada di Myawaddy, Myanmar, lokasi konflik bersenjata antara militer Myanmar dan kelompok pemberontak. "Dari situ saya sadar, kita ini ditipu," ucapnya.

Afrilian pun baru tahu bahwa isi kontrak kerja yang diteken itu adalah kesepakatan yang justru merugikan dirinya. Mereka harus memenuhi target kerja. “Bila tidak, gaji dipotong. Bila minta pulang, dikenai denda Rp 200 juta."

Bersama pekerja migran lainnya, Afrilian menuturkan, telepon seluler mereka disita. Afrilian yang membawa dua telepon seluler hanya menyerahkan satu. Ponsel yang tidak diserahkan Afrilian itulah menjadi satu-satunya alat komunikasi yang digunakan untuk meminta bantuan ke Indonesia.

Kementerian Luar Negeri, setelah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Yangon, Myanmar, dan Kedutaan Besar RI di Bangkok, berhasil membebaskan 20 warga Indonesia yang menjadi korban scam online. Mereka dibawa ke perbatasan dalam dua kelompok. Kelompok gelombang pertama pada Jumat, 5 Mei lalu, sebanyak empat orang, kemudian pada Sabtu, 6 Mei lalu, sebanyak 16 orang. Setibanya di Indonesia, para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu langsung diperiksa oleh kepolisian.

Markas Besar Polri telah menetapkan dua tersangka, yakni Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi, yang diduga sebagai perekrut 20 warga Indonesia. Keduanya dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan Pasal 81 UU Nomor 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). 

Batam Ditengarai Jadi Pintu Masuk Penyelundupan 

Koordinator Advokasi Dewan Pengurus Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPN SBMI), Juwarih, mengatakan Batam merupakan salah satu pintu penyelundupan TPPO. Menurut dia, terjadinya TPPO juga karena minimnya pengawasan dan adanya aparat atau pegawai yang diduga “bermain”, seperti memudahkan pengiriman dari jalur ke Malaysia dan Singapura. "Banyak pekerja migran yang tidak berdokumen," ujar Juwarih, kemarin.

Juwarih mengatakan sebenarnya banyak terjadi kasus tenggelamnya kapal yang ditumpangi pekerja migran ilegal di perairan Malaysia. Pada akhir Desember 2021 hingga awal Januari 2022 saja, kata dia, terjadi rentetan peristiwa tenggelamnya kapal yang ditumpangi pekerja migran ilegal.

Dalam kasus Azirah, kata Juwarih, sebenarnya juga ada indikasi terjadinya TPPO. Unsur tindak pidana TPPO terpenuhi dari cara merekrut, proses, hingga tujuan. Korban diming-imingi bekerja di luar negeri. Mereka kemudian diberikan fee atau komisi. Padahal fee itu adalah utang. "Kalau sudah terima fee Rp 5 juta kemudian tidak mau berangkat, calon pekerja migran dituntut mengembalikan Rp 20-30 juta," kata Juwarih.

Pemberangkatan mereka juga cepat. Pelaku memberi pekerjaan tanpa ada dokumen lengkap, seperti kontrak kerja, visa kerja, dan pekerja tidak diasuransikan. Padahal syarat itu diwajibkan dipenuhi yang tertuang pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. "Bila tak dipenuhi, jelas mereka akan dieksploitasi."

Indikasi TPPO juga bisa dilihat dari cara keberangkatan. Pelaku bersama calon pekerja migran berpindah-pindah lokasi sebelum tiba di tempat. Cara seperti ini tak lain untuk mengelabui aparat.

Perihal kasus pekerja migran korban scam online di Myanmar, Juwarih mendesak Polri mengusut tuntas. Menurut dia, kedua tersangka diduga pemain lama yang terlibat kasus pengiriman pekerja migran ilegal.

Serikat Buruh Migran menduga ada auktor Intelektualis dalam kasus ini. Keduanya tidak mungkin bekerja sendiri karena dipastikan ada sejumlah kalangan yang terlibat dan bermain di berbagai daerah. "Saya juga menduga ada jaringan internasional," ujar Juwarih.

Dia menjelaskan, kasus TPPO dengan sindikat penipuan online pertama kali terjadi di Kamboja pada 2021. Kasus ini kemudian menyebar ke Myanmar, Laos, Thailand, dan Vietnam. Dia menduga pengelola perusahaan tersebut merupakan satu jaringan karena modus operandi juga hampir sama. Serikat Buruh mencatat 159 pekerja migran menjadi korban perdagangan orang pada 2021. Pada 2022, sekitar 200 pekerja menjadi korban. Pada 2023 hingga April, tercatat 50 pekerja migran menjadi korban.

Modus dan Bisnis Cuan Sindikat TPPO 

Dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka pada Selasa lalu kemarin, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, melaporkan adanya lima pelaku TPPO di wilayah Batam yang masih berkeliaran. Mereka disebut-sebut masih menyelundupkan orang ke negeri jiran sebagai pekerja rumah tangga hingga buruh di perkebunan sawit. “Lima bandar TPPO pemain lama itu sampai sekarang belum juga tersentuh hukum,” ujar Benny.

Presiden Joko Widodo (kiri)  menggelar rapat terbatas mengenai permasalahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bersama jajarannya di Istana Merdeka, Jakarta, 30 Mei 2023. BPMI Setpres/Rusman

Benny memberikan setumpuk data rekam jejak dan profil lima bandar TPPO tersebut ke polisi. Benny menyebutkan jaringan perdangan orang dari Batam tersebut mendapat perlindungan atau backing dari aparat hingga otoritas pelabuhan dan bandara untuk menyelundupkan buruh migran secara ilegal. Temuan itu diperkuat dengan adanya bukti kode manifes khusus bagi penumpang yang diberangkatkan oleh masing-masing sindikat perdagangan orang di Batam.

Dia mencontohkan, di bandar A sudah mempunyai kode manifes khusus yang menandakan adanya orang yang akan mereka berangkatkan. Mereka akan mendapat perlakuan khusus di pelabuhan dan bandara. “Bukti kode manifes sudah kami sampaikan kepada presiden dan Menkopolhukam.”

Sindikat perdagangan orang bisa dengan mengendalikan aparat karena punya nilai bisnis yang besar. Dari penelusuran BP2MI, kata Benny, seorang bandar memberikan modal kepada calo sebesar Rp 40 juta per kepala (calon) yang bisa diberangkatkan. Dengan modal itu, calo bisa untung Rp 5-10 juta. “TPPO ini kejahatan yang menggiurkan karena perputaran uangnya besar,” ucapnya.

Modus yang digunakan para sindikat perdagangan di Batam dari cara konvensional hingga propaganda di media sosial. Modus konvensional adalah meminta calo datang ke kantong-kantong calon pekerja migran di sejumlah provinsi, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Calo mencari korban dan menawarkan kerja ke luar negeri dengan gaji tinggi, cepat berangkat, serta semua biaya ditanggung mereka.

Dengan modal dari bandar, calo kemudian mengurus dokumen para calon pekerja migran dengan menyuap pejabat di tingkat desa atau kelurahan hingga imigrasi untuk pembuatan paspor. Bahkan keluarga yang ditinggalkan para calon pekerja migran diberikan uang sebagai satunan berkisar Rp 5 juta. Lalu korban para pekerja migran dibawa ke penampungan yang semua biaya, baik untuk makan maupun tempat tinggal, ditanggung calo. Dalam pembuatan surat perjalanan dan keberangkatan, mereka diarahkan membuat visa turis, ziarah, atau umrah, bukan sebagai pekerja.

Sampai di bandara atau di pelabuhan saat keberangkatan, kata Benny, sudah ada petugas dari otoritas resmi yang bekerja sama untuk membantu mereka hingga naik pesawat atau kapal. Sampai di lokasi tujuan juga ada agen yang akan membawa mereka. “Jadi, ini memang kejahatan transnasional dengan kerja sama semua pihak. Mereka terorganisasi,” ucapnya.

Benny menegaskan, Badan Pelindungan telah menyarankan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk memberlakukan pembelian tiket return atau berangkat dan pulang bagi yang menggunakan visa ziarah, umrah, dan wisata untuk mencegah terjadinya penyelundupan orang lewat jalur resmi.

BP2MI juga menyarankan pencabutan atau pembekuan paspor selama lima tahun bagi mereka yang hampir menjadi korban TPPO dan yang dideportasi dari luar negeri. “Karena, jika tidak dibekukan, sepekan kemudian mereka bisa kembali lagi,” ucapnya.

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani di ruang Command Center Kantor BP2MI, Jakarta, 28 April 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Benny meminta pemerintah meningkatkan pengawasan di jalur tikus dan jalur ilegal, seperti di perbatasan di wilayah Kalimatan Barat, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara, yang semuanya bakal menuju Malaysia serta Singapura. Di Kepulauan Riau, misalnya, perbatasan yang mesti diawasi dengan ketat karena sering menjadi jalur tikus perdagangan orang adalah Tanjung Balai Karimun, Batam, dan Tanjung Pinang.

Jika aparat berkomitmen memberantas kasus dan pelaku perdagangan orang, semestinya bisa dilakukan dengan mudah. Namun, kata dia, mereka memilih melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut. “Mereka yang ditangkap cuma calo. Padahal dari calo dan penelusuran aliran uang mudah sekali menemukan siapa bandar di balik kejahatan tersebut,” ujarnya. “Bandar sulit tersentuh karena mendapat backing dari aparat dan pejabat.”

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menguatkan pernyataan Benny. Berdasarkan penelusuran Migrant Care, para pelaku kasus perdagangan orang sulit tersentuh karena mempunyai modal besar untuk mendapatkan pelindungan. Mereka menjalin simbiosis mutualisme dengan aparat hukum, otoritas pelabuhan, bandara, hingga pejabat pemerintahan setempat untuk membantu menyelundupkan orang. Bagi aparat, kata Wahyu, para bandar juga seakan-akan menjadi “mesin ATM” sehingga tidak pernah ditangkap.

Kekuatan finansial para bandar kasus perdagangan orang terlihat dari penelusuran Migrant Care di pelabuhan. Menurut Migrant Care, petugas pelabuhan ditengarai mendapat bayaran Rp 300 ribu per kepala (calon pekerja migran) setiap kali bisa memberangkatkan kapal ke Malaysia. Setiap kapal yang berangkat bisa membawa 150 buruh migran ilegal. Dalam sehari, satu kapal bisa lima sampai enam kali memberangkatkan buruh migran ke negara tujuan. Artinya, dalam satu hari, di pelabuhan, bisa mengalir Rp 225 juta dari bandar TPPO. “Ini baru satu titik pelabuhan. Belum lagi titik lain seperti di daerah ada calo yang mencari korban.”

Migrant Care juga menelusuri rekam jejak para bandar di Batam. Mereka merupakan orang yang menguasai bisnis seperti jasa keamanan yang berbalut organisasi masyarakat dan penyelundup bahan bakar minyak ilegal ke negeri jiran. “Latar belakang para bandar TPPO adalah pengusaha. Pengaruh mereka besar di sana sehingga disegani,” ucapnya. “Buktinya, ada dua bandar di Batam. Sejak 2017 sudah jadi buron dan masuk daftar pencarian orang (DPO), tapi belum juga tertangkap.”

Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Djuhandani Rahardjo Puro, membenarkan informasi bahwa mereka mendapatkan data para pelaku TPPO dari BP2MI. Polisi telah menyelidiki lima pelaku yang disebut bandar TPPO dari Batam. Hasilnya penyelidikannya, kata dia, lima orang tersebut bukan sebagai bandar, melainkan sebagai pelaku utama yang mengatur pengiriman buruh ilegal dari Batam. “Kami sudah ingin melakukan penangkapan, tapi mereka sejak akhir April lalu sudah ke luar negeri yang terlihat di perlintasan imigrasi,” ujarnya. “Mereka berperan mengurus penyeberangan, bukan bandar.”

Benny menilai polisi semestinya tidak mengeluarkan keterangan terburu-buru dengan menyebut mereka bukan bandar. Benny menegaskan, lima orang yang datanya telah diserahkan itu adalah dalang kasus perdagangan orang di Indonesia. Dia mengatakan hal yang mesti dipahami bahwa sindikat mafia perdagangan orang ini adalah berjaringan. “Jaringan mereka itu antarnegara,” ucapnya.Wahyu Susilo juga meminta polisi tidak terlalu dini menyimpulkan bahwa mereka hanya perantara. Menurut dia, polisi sebaiknya berfokus menangkap mereka yang disebut telah kabur ke luar negeri.

HENDRIK YAPUTRA | IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus