Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Buku Terjemahan Pramoedya: Pemecah Kesunyian Kritik Kolonialisme Belanda

Buku terjemahan karya Pramoedya Ananta Toer memecah sepinya kritik terhadap penjajahan Hindia Belanda.

16 Februari 2025 | 08.30 WIB

Pramoedya Ananta Toer menandatangani buku karyanya untuk para penggemar di Jakarta, 20 Agustus 2002. Dok. Tempo/Rendra
Perbesar
Pramoedya Ananta Toer menandatangani buku karyanya untuk para penggemar di Jakarta, 20 Agustus 2002. Dok. Tempo/Rendra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kelahiran Pramoedya dirayakan di Belanda dengan pameran karyanya.

  • Berbagai komunitas internasional melawan pelarangan buku Pramoedya.

  • Karya Pramoedya di Belanda memecah sepinya kritik terhadap penjajahan di Hindia Belanda.

PADA sebuah meja panjang perpustakaan kampus Universiteit van Amsterdam, berjejer buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer dalam beberapa bahasa bersama sejumlah karya akademis yang mengulasnya. Menyambut seabad kelahiran Pramoedya, sejumlah pustakawan, termasuk penulis, di sana menyiapkan pameran kecil bertajuk “Pramoedya dan Kritik-kritiknya atas Kolonialisme” yang berlangsung sebulan sejak Kamis, 6 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hampir semua karya fiksi sejarah Pramoedya mengandung kritik tajamnya terhadap kolonialisme dan kelanjutannya di masa Orde Baru. Kritik ini menggema jauh sebelum riset-riset tentang dekolonisasi menjadi bahasan utama di Belanda dalam beberapa tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pada akhir 1980-an, karya-karya Pramoedya memecah kesunyian literatur karya penulis Indonesia yang dibaca publik Belanda. Ini merupakan kesimpulan tegas yang dikemukakan oleh ahli Indonesia dan profesor sosiologi dari Universiteit van Amsterdam, Willem Frederik “Wim” Wertheim (1907-1998), dalam bukunya, Pramoedya Ananta Toer, Mens en Schrijver, yang diterbitkan pada 1981 sebagai bagian dari solidaritas terhadap gerakan melawan pelarangan buku Pramoedya.

Wertheim memaparkan bahwa, pada periode akhir kolonialisme Belanda, publik Negeri Kincir Angin mengenal karya-karya penulis Belanda dan Eurasia, yang sering disebut juga dengan Indo-Eropa, yang mengisahkan tragedi kolonialisme di Hindia Belanda. Karya-karya ini memberikan sudut pandang manusiawi yang berbeda atau berlawanan dengan pemerintah kolonial, seperti Multatuli karya Max Havelaar dan De Stille Kracht karya Louis Couperus yang kini kerap menjadi acuan jika membahas kritik terhadap kolonialisme.

Pameran buku bertajuk "Pramoedya dan Kritik-kritiknya atas Kolonialisme." karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda di perpustakaan kampus Universiteit van Amsterdam, Belanda, dalam peringatan satu abad Pramoedya Ananta Toer. Rika Theo untuk Tempo

Pada masa di antara dua Perang Dunia, muncul juga beberapa nama penulis Indonesia dengan karya yang menembus dunia literatur Belanda, seperti Soewarsih Djojopuspito. Namun, seusai Perang Dunia II dan Indonesia merdeka, tak banyak karya sastra penulis Indonesia berisi kritik kolonialisme yang beredar di Belanda. Praktis, cerita mengenai kolonialisme, terutama di masa akhirnya yang dikenal di Indonesia dengan nama Revolusi Kemerdekaan dan Bersiap di Belanda, lebih banyak berasal dari sudut pandang Belanda. “Tidak banyak memang pada masa itu karya penulis Indonesia yang diterjemahkan. Belanda kalah dan mengambil jarak, itu salah satu sebabnya,” kata Cara Ella Bouwman, penerjemah sejumlah karya sastra Indonesia ke bahasa Belanda, seperti Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya, kepada Tempo pada Selasa, 11 Februari 2025.

Pada 1981, Hasta Mitra menerbitkan tulisan-tulisan Pramoedya. Upaya mereka, kisah buku, nasib pengarangnya, dan sensor Orde Baru atas peredarannya bergema sampai ke Belanda. Di masa itu, sudah banyak aksi solidaritas bersama bekas tahanan politik dan penentang sensor Orde Baru yang mendukung Bumi Manusia karya Pramoedya yang muncul di Eropa. Untuk menggalang aksi-aksi bersama ini, terbentuklah komite Pramoedya di Belanda atas prakarsa Wertheim, yang juga sahabat lama Pramoedya.

Selain menjadi intelektual yang kritis terhadap kolonialisme, Wertheim aktif dalam berbagai upaya menyokong Indonesia. Ia salah satu pendiri Komitté Indonesié, organisasi di Amsterdam untuk perjuangan kemanusiaan di Indonesia yang beranggotakan aktivis dan intelektual Belanda serta Indonesia, termasuk sejumlah eksil 1965.

Cover buku berjudul "Pramoedya Ananta Toer, Mens en Scchrijver" dalam pameran buku bertajuk "'Pramoedya dan Kritik-kritiknya atas Kolonialisme." di perpustakaan kampus Universiteit van Amsterdam, Belanda, dalam peringatan satu abad Pramoedya Ananta Toer. Rika Theo untuk Tempo

Komitté Indonesié dan Amnesty International menggelar banyak aksi solidaritas dan demonstrasi untuk mendukung Pramoedya. Mereka juga berhubungan dengan organisasi yang mengadvokasi tahanan politik 1965, Tapol, yang didirikan Carmel Budiardjo di London. Bersama-sama mereka membangun jaringan advokasi, termasuk berhubungan dengan grup penulis dan penyair internasional, PEN.

Menurut Wertheim, PEN International mengirimkan telegram protes kepada pemerintah Indonesia pada 5 Juni 1981 perihal pelarangan karya Pramoedya. Dalam pertemuan kongres PEN International di Lyon, Prancis, September 1981, sensor karya Pramoedya menjadi agenda penting diskusi para penulis dunia. Di London, tulisan Pramoedya, “Manuscript Banned and Destroyed”, juga mengambil bagian dalam edisi 10 tahun majalah Index on Censorship, yang menulis dan memperjuangkan penulis dunia yang karyanya terkena sensor negara.

Sementara itu, di Belanda, sebuah penerbit baru bernama Manus Amici mulai menerbitkan terjemahan karya Pramoedya dalam bahasa Belanda. Nama Manus Amici diambil dari bahasa Latin yang berarti “tangan sahabat”, sama dengan Hasta Mitra. Penerbitan ini dipimpin Suraedi Tahsin Sandjadirdja (1923-2003), seorang eksil 1965, jurnalis, dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Mali. Pada 1981, Manus Amici menerbitkan Aarde der Mensen, terjemahan Bumi Manusia, yang dikerjakan oleh peneliti perdesaan dan pertanian Indonesia, Ina Erna Slamet-Velsink.

Pameran buku bertajuk "Pramoedya dan Kritik-kritiknya atas Kolonialisme." karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda di perpustakaan kampus Universiteit van Amsterdam, Belanda, dalam peringatan satu abad Pramoedya Ananta Toer. Rika Theo untuk Tempo

Selanjutnya, buku sastra lain Pramoedya mulai lancar memasuki ruang baca orang Belanda. Setelah semua Tetralogi Pulau Buru terbit, tulisan lain Pramoedya, baik yang ia tulis setelah maupun sebelum ditahan di Pulau Buru, bermunculan. “Tepat sekali bahwa karya Pramoedya memecah kesunyian. Ia menjadi kado besar bagi orang-orang yang haus membaca karya sastra Indonesia dalam bahasa Belanda. Penulis-penulis Belanda membicarakannya, karyanya juga dibahas di televisi. Grup orang-orang Indo-Belanda pun ikut membicarakannya,” tutur Cara Ella Bouwman.

Bouwman menerjemahkan novel Keluarga Gerilya Pramoedya ke bahasa Belanda sebagai Guerillafamilie, yang terbit pada 1990. Dia sendiri yang meminta izin kepada Pramoedya untuk menerjemahkannya. Ketika itu ia sedang tinggal sementara di Indonesia karena suaminya, Profesor Nico G. Schulte Nordholt, sedang mengajar di Universitas Indonesia. Bouwman memberi Pramoedya contoh naskah terjemahannya. “Pram sangat streng. Bahkan kurang spasi pun ia cermati. Penerjemahan bukunya merupakan sebuah pembelajaran yang baik buat saya,” ucapnya.

Bouwman berharap karya terjemahannya ini bisa menyambungkan Belanda dengan Indonesia. “Di sini banyak buku Belanda tentang perjuangan Belanda dan ‘Bersiap’, tapi tidak ada sisi Indonesia di situ,” katanya. “Di samping sisi kolonial dan dekolonialnya, Keluarga Gerilya sebenarnya mengisahkan konflik antargenerasi, bagaimana generasi muda menginginkan kemerdekaan dan generasi lama ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya.”

Bouwman juga mengagumi karya Pramoedya yang, menurut dia, sangat manusiawi bahkan ketika bercerita tentang perang. “Ceritanya indah dan tragis. Juga karena Pram memberi tempat dan posisi kepada perempuan dalam cerita-cerita itu.”

Konsistensi Pramoedya pada sisi humanismenya juga menjadi satu hal juga yang disoroti Wim Wertheim dalam bukunya. Ia mengutip jawaban Pramoedya ketika ditanyai oleh jurnalis Belanda, Pete Schumacher, di Pulau Buru tentang apakah indoktrinasi Orde Baru sepanjang ia berada di kamp Pulau Buru berhasil mengubah ideologinya. Pramoedya menjawab singkat dalam bahasa Belanda, “Ik ben die ik ben (Saya adalah saya).”

Pramoedya, Wertheim mengungkapkan, tidak mengatakan bahwa ia seorang Marxis, tapi, “Seorang yang berpikir sangat manusiawi. Karena kekuatan semangatnya, perjuangannya yang berani dan konsisten untuk hak-haknya sebagai penulis, dan untuk penegakan prinsip-prinsip umum kemanusiaan. Singkatnya, perlawanan budaya terhadap tirani yang bebal itu yang perlu didukung.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pemecah Kesunyian Kritik Kolonial

Rika Theo

Rika Theo

Arsiparis di International Institute of Social History, Amsterdam

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus