Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Darurat Pelecehan Seksual di Angkutan Umum

Penumpang kereta Commuter Line kembali menjadi korban pelecehan seksual. Jumlah kasus meningkat tiap tahun dan hanya menurun tahun lalu seiring dengan pembatasan jumlah penumpang pada masa pandemi.

8 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penumpang wanita menunggu di seberang gerbong khusus perempuan KRL Commuterline di Stasiun Manggarai, Jakarta, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelecehan seksual kembali terjadi di kereta Commuter Line.

  • KAI meminta maaf atas respons negatif petugas dan akan memperbaiki sistem pengaduan.

  • Pemberlakuan gerbong dan kompartemen khusus perempuan bisa menekan kejahatan ini.

JAKARTA – Kasus dugaan pelecehan seksual di kereta Commuter Line kembali menjadi sorotan. Seorang penumpang kereta rel listrik tujuan Cikarang dikabarkan mendapat perlakuan tak senonoh dari penumpang lain pada Jumat malam lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Tiasri Wiandani, menyesalkan terus terjadinya kejahatan susila tersebut di angkutan umum. Menurut dia, kasus berulang tersebut menjadi indikasi situasi darurat kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi publik. “Pengawasan dan pencegahan masih sangat minim,” kata Tiasri, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus pelecehan seksual terbaru itu terungkap setelah rekan korban melaporkan kejadian tersebut ke akun Twitter KAI Commuter @commuterline. Sayangnya, respons administrator akun Commuter tersebut tidak menaruh empati kepada korban.

Tiasri mengatakan operator angkutan umum semestinya lebih bijak menghadapi kasus seperti itu dan menggunakan perspektif korban. KAI pun diharapkan mempunyai standar operasional pencegahan, penanganan, dan pemulihan dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Tujuannya untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapa pun yang berada di angkutan umum. “Perlu ada dukungan bagi korban untuk upaya pelaporan dan pemulihannya,” ujar dia.

Penumpang memadati KRL commuterline di Stasiun Manggarai, Jakarta, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Sebelum kejadian yang menimpa penumpang perempuan berinisial S pada Jumat kemarin, pelecehan seksual juga pernah terjadi dua tahun lalu. Pada Agustus 2019, gadis di bawah umur menjadi korban pelecehan saat naik KRL di Stasiun Manggarai. Pelaku yang berstatus sebagai pegawai di rumah sakit itu ditangkap.

Dua bulan berselang, pelecehan kembali terjadi dan menimpa penumpang berusia 13 tahun. Pelakunya Hilman Noverli, pegawai harian lepas di kantor Wali Kota Jakarta Barat. Saat mendapat tindak pelecehan, korban berteriak sehingga menimbulkan perhatian, dan pelaku ditangkap polisi.

Anggota Koalisi Ruang Publik Aman, Rika Neqy, mengatakan angka tindak pelecehan seksual di angkutan umum terbilang tinggi. Berdasarkan survei Koalisi, transportasi publik menjadi lokasi pelecehan seksual di ruang publik tertinggi kedua setelah jalan umum. “Padahal seharusnya menjadi ruang aman,” katanya.

Berdasarkan catatan KAI, jumlah laporan pelecehan seksual terus meningkat sejak tiga tahun lalu. Pada 2017 terdapat 18 laporan, 2018 menjadi 35 laporan, 2019 sebanyak 35 laporan, dan 2020 berkurang menjadi tujuh laporan karena pembatasan jumlah penumpang selama masa pandemi.

Menurut Rika, operator angkutan umum harus bisa memperbaiki layanan pengaduan bagi korban pelecehan karena frekuensi yang terus meningkat. Dalam beberapa kasus, dia menilai respons lingkungan justru menyalahkan korban. “Artinya, penyedia layanan lepas tangan atau tidak bertanggung jawab terkait dengan keamanan para penumpang,” ujar dia.

Penumpang menaiki KRL Commuterline di Stasiun Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat, 19 Oktober 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Melihat respons KAI dalam menerima laporan pelecehan seksual kemarin, menurut Rika, operator mesti meninjau dan memberi pelatihan bagi semua petugas, termasuk administrator akun media sosial mereka. “Bikin pelatihan atau webinar tentang kekerasan atau pelecehan seksual,” katanya.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban bagi korban, operator bisa memberikan jasa konsultasi psikologis untuk menghilangkan trauma. “Hal-hal lain justru sifatnya operasional, seperti menempuh jalur hukum atau memberikan sanksi ke pelaku,” ucap Rika.

Juru bicara PT KAI Commuter, Sylviane Purba, mengatakan bakal meningkatkan layanan pengaduan setelah kejadian dugaan pelecehan seksual kemarin. Perusahaan pelat merah itu pun meminta maaf atas respons negatif petugas sosial media mereka serta menyatakan akan mendampingi korban dalam proses hukum dan menyampaikan seluruh dukungan data yang diperlukan.

Sejak tiga tahun lalu, KAI menggelar kampanye perlindungan seksual dengan tema “Komuter Pintar Peduli Sekitar”. Para pengguna diajak berani melapor dan melakukan intervensi apabila melihat peristiwa pelecehan. Kampanye dilakukan melalui konten-konten di seluruh platform media sosial KAI Commuter dan pemasangan banner di 80 stasiun yang melayani KRL Jabodetabek. Sylviane mendorong setiap penumpang yang menjadi korban segera melapor ke petugas, termasuk via media sosial.

Di MRT, pencegahan kasus seperti itu dilakukan lewat Pos Sahabat Perempuan dan Anak sejak akhir 2019 dengan petugas pelayanan yang terlatih menangani korban pelecehan seksual. “Di setiap area stasiun juga ada CCTV untuk membantu mengawasi,” kata pelaksana tugas Sekretaris Korporat PT MRT Jakarta, Ahmad Pratomo. “Sejauh ini belum ada laporan.”

Juru bicara PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), Angelina Betris, mengajak penumpang tak ragu melaporkan tindak pelecehan dan kekerasan. “Bisa juga melapor langsung ke petugas kami atau di 23 Pos Sahabat Perempuan dan Anak di Halte Transjakarta yang tersebar di seluruh koridor,” kata dia. Angelina yakin laporan akan ditindaklanjuti, termasuk dari kamera pengawas yang tersebar di bus dan halte.

Seksolog Zoya Amirin menuturkan gerbong perempuan di kereta Commuter Line dan kompartemen perempuan di Transjakarta bisa mengurangi ancaman tindak pelecehan seksual. “Pemisahan ini bisa melindungi korban dari pelaku parafilia,” kata dia. Parafilia adalah perilaku seks menyimpang, di mana individu merasa terangsang dengan menggesekkan kelaminnya saat kondisi berdesakan di tempat ramai, seperti di dalam bus, antrean, hingga konser.

Menurut Zoya, operator angkutan umum bisa bekerja sama dengan kepolisian agar terbentuk sistem pelaporan cepat kasus pelecehan seksual. “Bisa berupa nomor khusus pelaporan atau lewat ponsel bisa langsung merekam atau foto kejadian dan dikirim lewat aplikasi khusus dari kepolisian buat pelaporan cepat itu,” kata dia.

IMAM HAMDI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus